Sebagai pengantar, tulisan ini dihadirkan dalam kapasitasnya sebagai upaya membangun sinergi dalam gerakan literasi. Terutama bahwa kehadiran Pendidikan Luar Sekolah (PLS) STKIP Muhammadiyah Enrekang yang menyajikan mata kuliah Budaya Baca dan Pengembangan Perpustakaan, menjadi daya tarik bagi penulis untuk mencoba menguatkan integrasinya. Integrasi ini tidak berpretensi mengjangkau keilmuan (internal) PLS secara mendalam, tetapi ulasan ini mengapresiasi dan menyambut PLS yang menjadikan membaca dan perpustakaan sebagai kajian dan visinya. Berangkat dari sini, saya kemudian mencari informasi secara singkat mengenai PLS itu sendiri.
Salah satu urgensi pendidikan luar sekolah (PLS) yang relevan untuk ditelaah yaitu orientasinya dalam memfasilitasi pendidikan nonformal dan informal. Geraknya yang berada diluar sistem pendidikan formal, menjadi linear dengan eksistensi perpustakaan. Dalam artian, ruang baca (perpustakaan) sebagai ruang belajar masyarakat sepanjang hayat menjadi satu bentuk pendidikan luar sekolah. Sementara dalam kaitannya dengan budaya baca, maka meniscayakan adanya akses ruang baca. Pada titik ini, jelas kiranya bagi kita untuk menaruh amanat pengembangan perpustakaan dan budaya baca pada PLS.
PLS dalam ruang lingkupnya pada institusi Islam, perlu kiranya menggali khazanah Islam. Tanpa melupakan semangatnya, integrasi itu juga perlu berkelindan, yang nantinya terinternalisasi dalam kuliah. Secara mendasar, membicarakan perpustakaan dalam konteks Islam, akarnya senantiasa terinspirasi dari perintah membaca (iqra’) yang termaktub dalam surat Al-Alaq (ayat 1-5). Inilah landasan agama yang mengajak manusia untuk membaca dan menulis (literasi).
Falasafah iqra’ memang tidak menunjuk secara eksplisit objek bacaaan, karena perintah membaca maknanya meliputi obyek yang luas. Namun, tanpa bermaksud mengabaikan pentingnya membaca konteks, bagi kita membaca teks adalah keterampilan dasar yang harus ditunaikan (dan dituntaskan). Karena membaca teks (buku dan medium lainnya) adalah membaca transkripsi konteks (objek yang luas), baik itu tentang manusia (psikologi, sosiologi, antropologi), alam (kosmos) maupun Tuhan (spritualitas). Buku (tercetak) adalah sebentuk teknologi yang menyederhanakan (menampung) berbagai hal. Sama halnya kalau kita membaca fenomena (bentang) alam dan waktu melalui teknologi bernama arloji atau google map. Di sini, buku benar-benar adalah jendela dunia (materi dan spiritual).
Lebih jauh, wacana Islam berkemajuan yang diusung secara “sistemik” oleh STKIP Muhammadiyah Enrekang, merupakan aras yang korelatif dengan falsafah (menara) iqra’. Narasi nostalgik tentang kejayaan Islam dalam ilmu pengetahuan pada masa Bani Abbasiyah, setidaknya merefleksikan bahwa kemajuan Islam ditandai dengan eksistensi perpustakaan (Khizanah Al-Hikmah). Artinya, prinsip gerakan literasi tidak terlepas dari Islam sebagai semangat dan landasan keilmuan. Sehingga tertanam identitas yang bergerak simultan pada diri mahasiswa (alumni) yakni untuk (kecerdasan) bangsa dan agama (beramal).
Argumen ini pada gilirannya mengajak mahasiswa PLS untuk mengkhatamkan diri pada aktivitas membaca. Sebab inilah senjata (nilai) fundamental yang penting dimiliki sebelum mengajak orang membaca dan bergerak dalam bidang literasi. Karena membaca adalah ‘sekolah’. Di sekolah harus membaca. Di luar sekolah, membaca adalah bersekolah. Tidaklah mustahil kiranya, jika kelak PLS mencetak pegiat literasi. Dan sebagai agen of change, kerja (kuliah) nyata yang independen dan energik musti muncul dari mahasiswa. Agen yang merdeka, yang berada dalam kutub dinamis dan kelas menengah tercerahkan. Sebab itu, identitas mahasiswa haruslah akrab dengan aktivitas membaca, menulis, dan berlembaga-berdiskusi.
Di era informasi ini, buta aksara memang tak lagi berdefinisi tidak mampu mengeja huruf –meski tetap harus diberantas PLS dan insan kepustaka(wan)an- tetapi ialah mereka yang illiterate (tidak literat atau tidak melek aksara) atau malas mencari informasi. Sehingga kondisi mutakhir, usaha beraksara tidak hanya termediasi dalam format tercetak, tetapi juga dalam format digital-elektronik. Implikasi dari dunia digit (internet) membawa transformasi bagi perpustakaan konvensional kearah Perpustakaan Hibrida dan Digital. Tantangan barunya, lautan informasi ialah lautan pilihan yang mengandalkan analisis dan sikap kritis –yang diistilahkan literasi Informasi. Dan secara khusus, generasi Islam harus memiliki keterampilan literasi informasi (Islam), agar tidak terlena oleh ingar-bingar ajakan ekstrem cum radikal berparas agama.
Proses aktualisasi yang akan dikerjakan tidak cukup dengan intenalisasi diatas, tetapi hendaknya kita menyapa konteks lokal Enrekang. Dengan berbagai kompleksitas lokal, gerakan literasi mesti diramu dan melahirkan adaptasi dan kreasi. Enrekang yang bertumpu pada pertanian mesti diterjemahkan dalam basis gerak yang padu dengan aktivitas literasi. Penulis membilangkan gerak ini dengan istilah agroliterasi : bertani sembari berliterasi dan atau sebaliknya (bagi kaum intelektual yang petani). Perpustakaan harus menyediakan akses bacaan yang sesuai kebutuhan masyarakat agraris. Sebab daya tarik (minat baca) itu cenderung bermula dari kebutuhan dan kesukaan. Disamping itu, mengoptimalkan durasi layanannya (hingga malam), sebagaimana kita maklumi bahwa aktivitas produktif (bertani) dikerjakan di waktu pagi hingga sore.
Posisi perpustakaan berbasis lingkungan/komunitas -khususnya yang beroperasi di akar rumput seperti perpustakaan desa, taman bacaan masyarakat, rumah baca dan sejenisnya- memiliki konstribusi dalam pembangunan. Wacana dari desa membangun bangsa yang digelorakan pemerintah, justru semakin menegaskan peran perpustakaan hari ini. Tentu saja transformasi perpustakaan (di desa) tidak lagi hanya sebatas ruang membaca dan meminjam buku, tetapi menjadi pusat belajar dan berkegiatan yang melibatkan seluruh elemen masyarakat. Pada saat yang sama pemberdayaan (pengembangan) dan nuansa demokrasi adalah efek samping perpustakaan. Sekali lagi disini relevansi perpustakaan sebagai bentuk pendidikan luar sekolah.
Saatnya Membaca ?
Kalau kita telah yakin betapa urgennya membaca, lantas apa kita akan senang membaca ?
Bagi penulis, cukuplah rasanya kita merujuk-menerbitkan statistik tentang minat baca Indonesia. Mesti indikator ini bisa menjadi salah satu bahan advokasi dan evaluasi. Atau, malah menjadikannya kambing hitam atas kompleksitas kebangsaan. Karena keresahan kuantitatif ini tidak banyak mendorong kita menunjuk ihwal kualitatif. Akhirnya, solusi yang tersedia, juga solusi berbasis kuantitas. Dimana perluasan layanan membaca, masih mengarus-utamakan keterjangkauan-kuantitatif (setor muka ala facebook). Lagipula, impact membaca bukan soal mengisi aksara dalam otak. Entahlah kalau paradigma itu sudah kita kategorikan efektif. Namun, lepas dari itu, optimismenya bahwa kuantitas gerakan adalah bagian dari menyemarakkan aksi, sembari terus belajar menunjukkan kualitas. Semacam membiarkan kuantitas menyeleksi dan melahirkan kualitas. Intinya, polaritas ini tetap berkorenpondensi.
Memang berbicara minat baca adalah pertanyaan yang tidak pernah konkret. Maksudnya, agak sulit rasanya menawarkan membaca sebagai hobi dan kebutuhan pokok, manakala struktur dan kultur tidak kondusif. Sebab minat untuk membaca bertaut dengan nuansa-lingkungan yang mengepungnya. Kalaulah di suatu tempat akses untuk membaca tidak tersedia, apakah dalam internal Anda tiba-tiba terbesit membaca. Sedangkan dalam lingkungan belajar (lautan buku) –sekolah dan kampus- masih saja sulit di temui mahasiswa senang membaca.
Diluar itu, atau dalam lingkungan agraris, kita bahkan kesulitan merangsang minat baca, tidak cukup hanya dengan berdirinya ruang baca disana. Artinya dibutuhkan “intervensi” berbentuk program (kolaborasi) dari berbagai pihak. Dengan mempertimbangkan tipelogi masyarakat agraris kita yang membaca untuk sejahtera. Maka, bacaan aplikatif dan tutorial adalah kebutuhan dominan. Itu relevan dan realistis. Namun tetap menyuguhkan bacaan yang variatif.
Untuk itu, mengapa membaca itu baik? (Putu Laxman Pendit) memang harus disertakan penjelasannya. Menjelaskan aspek ontologi dan aksiologi akan menunjukkan implikasi kualitatif. Yang harapannya, ajakan-kampanye membaca tidak sebatas slogan dan nota kosong seperti dalam bungkusan merokok membunuhmu. Malah Putu Laxman Pendit, datang mengofirmasi apakah benar membaca mencerdaskanmu, bukankah seharusnya dimulai dari otak yang cerdas untuk membaca. Hanya memang intensitas membaca membuka cakrawala berpikir dan mengasah potensi (akal) untuk cerdas. Sama halnya gerak kuantitas diatas, yang lambat laun mengasah kualitas. Tinggal memilih gaya membaca. Apakah kita membaca diam (deep reading), membaca nyaring, membaca berkelompok (reading group), atau mendengar bacaan dan menonton bacaan (audio-video book)
Mencari Relawan Literasi
Di Enrekang, aktivitas literasi telah mulai dikerjakan oleh beberapa komunitas, salah satunya Komunitas Literasi Massenrempulu. Meski kegiatannya masih berfokus pada mengajak masyarakat dekat dengan perpustakaan melalui kegiatan literasi di Perpustakaan Umum Kabupaten Enrekang. Tetapi ini merupakan tahap awal untuk menggalang individu-individu yang ingin turut serta dalam aktivitas literasi. Disamping kerja kolaboratif dilakukan agar partisipasi masyarakat dalam nuansa literasi semakin semarak. Hal ini yang juga mendasari diadakannya kelas literasi, kemah pustaka, diskusi dan belajar menulis secara offline dan online lewat situs kulimaspul.com.
Karena itu, sebagai komunitas yang masih baru dan bersedia menampung relawan-relawan literasi, maka dibutuhkan sinergitas. Asumsinya bahwa salah satu elemen yang berpotensi mendorong nuansa dan aksi literasi ialah para kaum intelektual (mahasiswa) di Enrekang. Dengan partisipasi ini, kedepannya mahasiswa PLS dapat memperoleh bekal dan pengalaman dalam bidang literasi atau dalam memfasilitasi akses belajar masyarakat.