Pencerita Subuh



Foto : Wall Masry

Gelap masih menguasai bumi. Dingin masih menebar ke segala penjuru. Sementara lampu tetap berpijar. Suara yang terdengar hanyalah suara-suara alam. Sekali-kali suara kendaraan lewat. Berikutnya, suara adzan subuh berkumandang. Begitupun suara air yang mulai bergemercik. Saatnya membasuh diri dengan niat bersuci.

Sebuah motor tiba di depan rumah, tepatnya di rumah tetangga. Tak perlu memeriksa pemilik kendaraan itu, sebab aku sudah menghafalnya. Seakan tradisi, ia tak pernah luput untuk berada disana. Disana untuk sebuah cerita baru. Cerita yang tak pernah habis. Cerita penghabisan gelap (malam), di perbatasan sinar bulan dan matahari.

Ambo Ham tak pernah berhenti menceritakan apa saja. Meski tak jelas apa yang ia ceritakan. Aku hanya mendengar dan menyaksikannya saat keluar berwudhu. Di temani pemilik warung, ia tak pernah merasa sepi. Made seperti tandem yang cocok. Cocok melayani cerita-cerita Ambo Ham. Sedikit saja pengantar darinya, Ambo Ham telah mengalir bercerita. Berkisah. Bernostalgia.

Made setiap subuh bangun menyapu halamannya yang tak luas itu. Mengatur sana-sini barang jualannya. Begitu bersihnya, warungnya bak barisan militer yang berbaris sempurna dari depan. Hanya saat kita berjalan kesamping rumahnya, pecahan botol-botol tergeletak bersama sampah tak lapuk. Ia tak pernah berhenti mengelap. Mulai dari biskuit, snack, mie, dan minuman.  Ia melakukan hal itu sejak subuh sampai sinar matahari mulai mengjangkau jualannya. Disela-sela itulah, sembari membersihkan, ia meladeni Ambo Ham bercerita.

Suara Ambo Ham bercerita memang cukup keras terdengar. Dengan intonasi yang khas. Kadang-kadang aku menangkap kalimat dengan jelas. Tapi karena tidak berfokus mendengar isi cerita seutuhnya, maka aku tak pernah bisa mengetahui topik pembicaraannya. Hanya satu yang pasti bahwa setiap subuh  ia akan bercerita disana. Hanya disana ia mampu bercerita. Hanya di waktu itu ia bisa bercerita. Setelahnya cerita milik orang-orang masa kini. Dunia kekinian.

***

Siang ini, aku disergap cerita sepakbola. Katanya, euforia mereka berlambang nasionalisme. Taruhan pun tak dapat dielakkan anak sesama bangsa. Dimana nasionalisme ? Barangkali diantara ego : kantong, kesempatan dan keuntungan. Karena ini bukan sama rasa, tapi maksudnya sama berpeluang. Bola itu bundar, bundar pula pilihan. Akhirnya, nasionalisme yang digadai. Orang-orang yang sering dikecewakan atas nama nasionalisme –atas nama dukungan tim Negara- punya pelipur lara saat menang taruhan. Saat tim nasional kalah.

Cerita bola memang tak kalah seru. Di tempat ramai yang di huni laki-laki, ia semacam makanan pembuka. Di sekolah, siswi tak kebagian tempat bercerita sepakbola. Bukan tak sanggup begadang. Tapi terstigma “tak baik” perempuan begadang, nonton bola, nonton diluar, ke tempat hiburan. Dunia malam punya gairah maskulin, yang banyak bercerita disiang hari. Selebihnya, seliweran gosip yang tampil mengelabui, memancing dan menggoda.

Meski defenisi “dunia malam” bukan soal jam yang menunjukkan waktu tertentu. Tapi jam-jam malam yang mudah dicurigai adalah ketika waktu melewati 00.00, dan kira-kira jam 04.30 adalah waktunya mendapati spritualitas dan subjek-subjeknya. Itulah waktu subuh yang mengizinkan mereka bangun mengerjakan yang wajib. Karenanya menjadi pintu waktu memulai cerita baru. Cerita yang maskulin.

***

Ambo Ham kembali bercerita dengan Made. Kali ini kedengarannya terjalin interaksi yang sepadan. Keduanya punya kesempatan yang sama-sama bercerita. Walau tak jelas siapa yang akan menutupnya. Aku abaikan dan tidur, setelah melakukan rutinitas di setiap subuh. Yang pasti rumah Ambo Ham bukan disitu, artinya ia yang harus menghabiskan cerita. Karena kalau tidak, atau habis bahan nostalgia dan kisahnya Ambo Ham, maka cerita-cerita gosip akan meluncur di mulut ibu Lia (Made). Atau Made mengakhiri ceritanya dengan memandikan Lia.

Siang selalu menjadi kehampaan Ambo Ham. Aku pun tak tahu aktivitasnya dimana pada siang hari. Yang kutahu ia bertani dan menyadap pohon enau. Tapi seperti petani lain yang bergantung pada pohon ekonomis itu, mereka kelihatan kala malam kembali menyambut. Atau adzan maghrib menjadi jam tangan. Waktu pulang.

Jam 19.00 sampai dengan 00.00 adalah waktu Ambo Ham dipapar layar televisi. Jendelahnya melihat kemutakhiran ala kekinian. Tapi entah, ia selalu akhirnya dinonton oleh televisi pada siaran sepakbola dan iklan yang tak berwajah : rokok. Sementara istrinya lebih awal mengambil posisi yang siap dibangunkan. Nanti subuh mereka lagi bersama ke masjid. Setelah menemani istrinya kembali ke rumah, Ambo Ham kembali bercerita sembari minum kopi di warung Made.

***

Akhirnya, subuh ini saya mulai tahu ternyata Ambo Ham bercerita tentang generasi yang tak lagi mendengar ceritanya.  Setelah subuh tak ada lagi waktu untuknya bercerita. Aku mendengarnya.

Esoknya, ia tak lagi muncul. Ambo Ham tahu, ada yang mulai mendengarkan ceritanya selain Made.  Kebiasaan Made pun berubah, dan ia lebih sering memutar dangdut dan berkaraoke. Ia tidak hirau sekeras apapun musiknya, tidak menghargaiku sebagai tetangga.

Karena Made tahu bahwa aku tuli.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *