Tentang Tugas Bercerita



Foto : Wall Masry

Cuaca hari ini sangat bagus. Hujan sempat turun tadi subuh, tapi terik matahari lekas menyegarkan. Aku ingin bilang padamu, kalau kamu suka menikmati kabut di atas bukit datanglah hari ini di sini. Tapi maaf, aku tak akan punya banyak waktu untuk menemanimu. Apalagi untuk menemanimu berswafoto. Ajak saja temanmu, sebelum kabut menghilang. Karena pagi ini aku segera mencari daun pisang kering di kebun.

Kamu mungkin berpikir mengapa aku mencari daun yang kering di pagi yang baru saja dilewati hujan. Tapi begitulah, daun kering itu akan kujemur dan kurapikan dengan potongan-potongan selebar buku. Lalu kususun seperti menjilid lembaran buku. Kamu tahu kan, aktivitasku akrab dengan daun. Seperti dirimu yang suka mengoleksi buku. Jadi ini bukan hobi. Dan kamu juga tahu, bahwa itu kusiapkan untuk ibuku yang menunggu di dapur kebun. Sembari ibuku menyalakan api ditungku tanah, ia menunggu ayah selesai mengambil manyang (tuak) dari pohon aren. Jadi ibuku menunggu ayahku, dan ayahku menunggu aku meminta uang jajan. Tentu setelah aku bekerja.

Kusarankan padamu, tunggu aku nanti malam. Nanti pada saat ibuku telah siap dengan buatannya. Spesial katanya untukmu. Tapi kamu bilang ingin membuatnya bersamaku. Oh, maaf bukan saya yang membuatnya. Itu Ibu yang mengerjakannya. Lagipula tanganmu disiapkan untuk mencoba menikmati baje buatan ibu. Maaf pula karena aku tak sempat bergabung dengan kawan-kawan sekelas hari ini menyiapkan tenda untuk pembukaan acara pramuka sore nanti. Memang wajib katanya, tapi aku tak punya kewajiban selain membantu orangtuaku di luar jam bersekolah.

Tempat dilangsungkan acara Pramuka sebetulnya tak jauh dari rumahku. Sudah lama kampung kita jadi tempat orang berkemah. Dan sejak duduk di SD sampai SMA hari ini, aku datang di tempat itu. Bukan sebagai peserta. Kamu pasti tahu, aku memanfaatkan momen itu dengan menjual. Kadang aku bertemu dengan guru dan teman-teman disana, tanpa merasa malu. Barangkali rasa malu yang ada pada diriku telah dihanguskan oleh keterbatasan ekonomi. Apa kamu malu bertemu denganku nanti di sana ?

Aku pun akan berkemah disana nanti malam. Sekali lagi, bukan sebagai peserta. Jadi, kalau kamu mau, kita bisa bersama-sama melihat api unggun. Eh, kamu kan punya buku yang judulnya Melihat Api Bekerja ? Yang pernah kamu bawa di kelas saat kita dipaksa mencari buku yang pengarangnya asal Sulawesi. Katanya supaya menginspirasi anak-anak lokal seperti kita ini. Boleh aku minta kamu bacakan puisi-puisinya disana nanti ?

Aku ingat ini tadi saat ibuku menyalakan api di dapur. Tak jauh beda yang akan kita lihat disana nanti. Hanya di dapur, aku tak sekedar melihat api, juga melihat tangkuli yang dimasak, yang akan berubah menjadi so’ri hingga menjadi gula merah. Jadi, ini semua dimulai dari pohon aren, pohon kehidupan bagi warga kampungku. Rasanya tak sulit menemukan pohon itu, karena dikampung ini masih cukup banyak tumbuh. Para passari’ (penyadap aren) baru menampakkan diri pada malam hari. Mereka hanya ditemani radio yang jadul agar tak kesepian. Barangkali hari ini mulai ada yang mendengar radio lewat handphone.

Harus aku bilang, yang paling aku sukai dari semua proses yang ibu kerjakan adalah menghirup wangi so’ri dan memakan biskuit atau roti dengan olesannya. Gula-gula yang tak ada duanya, setidaknya itu menurutku. Kalau saja nanti aku jadi pengusaha, aku punya keinginan membuat so’ri. Tenang, kamu juga akan mencobanya malam ini. Termasuk baje buatan ibuku.

***

Kulihat kamu membawa api. Di malam yang tidak dingin itu, kamu menjadi pengantar obor. Sungguh takjub rasanya melihatmu dari kejauhan. Seolah-olah olimpiade telah berpindah kesini. Lingkaran yang kalian bentuk begitu hikmat disertai ikrar-ikrar yang disaksikan kehangatan api. Entah apa yang hendak kukerjakan, selain memandangimu yang melihat api.

Sesungguhnya, jika aku ingin jujur, kamu lebih cocok jadi penyair. Saat melihatmu mengiring obor, imajinasiku menangkapmu sedang membaca puisi layaknya W.S Rendra di depan para penonton yang membawa obor. Gerakan dan ikrarmu tidak pas untuk tertanam di pramuka. Tapi tak apa, karena tak ada ruang yang menampung bakatmu selain di situ, termasuk aku. Simpan saja imajinasimu di facebook. Dan malam ini, mari kita melihat api sebagai ruang merenung. Satu-satunya ruang membebaskan diri dari gerak-sentris baris-berbaris.

Kutemui dirimu. Saat semua sibuk ber-swafoto pada latar kobaran api. Kuberikan so’ri padamu. Kita pun sama-sama mengunyahnya. Dan saat itu, aku mulai mengatakan padamu bahwa gula-gula ini bukan sekedar gula. Yang pasti kamu tidak bisa menebak maksudku. Karena imajinasiku tak dapat kau tangkap. Bahkan kamu mengira aku mencintaimu. Perkiraan itu baik untukmu, tapi aku tidak punya kamus berbicara hati yang saling mengintai. Karena, aku hanya mempromosikan so’ri. Sorry yah !

***

Terakhir, akan kusampaikan padamu bahwa ceritaku ini begitu datar dan tak mungkin mengejutkanmu dengan konflik atau klimaks. Aku hanya ingin menyetor cerita sebagai seorang anak yang berusia labil. Jadi kamu jangan menyangka bahwa yang kusampaikan itu adalah suatu hal menarik seperti cerpen. Karena ini hanyalah tugas dari guru kita yang ingin kalau aku bercerita tentang pengalaman pramuka. Katanya agar aku mulai menulis karena pramuka.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *