Perjalanan Mencari Jiwa Kepustakawanan



Sebuah Cerita Safari Perpustakaan Sulawesi Selatan 2013

Waktu terus berputar seperti mendikte perjalanan manusia. Jika tidak memanfaatkan waktu dengan baik, maka kehidupan ini akan terus berjalan, seakan menghilang tanpa jejak dan tanpa goresan karya. Dalam kondisi tertentu, manusia memiliki waktu luang dari rutinitas, bahkan mungkin cukup banyak. Diantaranya, waktu liburan mahasiswa yang lumayan panjang, sekitar 2-3 bulan. Biasanya saat menjelang penerimaan mahasiswa baru.

Saat sedang terdesak oleh penyelesaian studi, pikiran saya kemana-mana, melompati beberapa perpustakaan dan mencari seluk beluk masalah yang barangkali menarik dituangkan dalam skripsi. Barangkali sejam lebih, saya ‘berdiskusi’ seorang diri di sekretariat BEM yang sunyi, sekali-kali memandang keluar jendela dan ke bawah parkiran. Ditengah-tengah kesibukan program BEM yang padat dan segera akan dilaksanakan, saya membulatkan tekad pada satu tujuan “saya harus mengelilingi perpustakaan di seluruh Sulawesi Selatan sebelum wisuda”, seraya berkomitmen dalam hati.

Rasanya saya tidak pernah tenang pada hal yang belum terwujud, tetapi saya berpikir, apakah hal ini bisa dengan seorang diri. Sebenarnya saya tipe orang yang suka menikmati kesendirian, walau sulit untuk membiarkan diri berjalan sendiri. Sambil membuka halaman Kompas, saya mencoba menghubungi Wawan tentang kegiatannya. Posisi Wawan sebagai Ketua Himpunan Mahasiswa Ilmu Perpustakaan (HIMAJIP) pada saat itu, tentu saja akan selalu menarik perhatiannya untuk mendiskusikan tentang kegiatan perpustakaan.

Boleh dibilang, Wawan begitu semangat mengadakan kegiatan. Di awal periode yang baru saja dilantik bersama pengurusnya, ia langsung menggelar serangkaian program kerja. Agenda besar yang sedang mereka persiapkan yaitu pertemuan mahasiswa perpustakaan dan informasi se Indonesia Timur. Kelelahan mereka mempersiapkan kegiatan, nampaknya tidak ingin berhenti sesegera mungkin. Setelah berdiskusi lepas di rumah Chua –salah seorang pimpinan HMJ-, mereka kemudian tertarik untuk memanfaatkan masa liburan semester genap dengan kegiatan yang saya usulkan yakni Safari Perpustakaan Sulawesi Selatan. Pemilihan kata safari menjadi asumsi yang kami anggap cocok untuk menggeser kata tour yang sudah lazim, juga barangkali relevan dengan nuansa Islam yang sedikit menunjukkan identitas kampus kami.

Tidak butuh persiapan yang begitu panjang untuk obsesi ini. Setelah merampungkan surat-surat dan proposal yang terbilang terbatas, dan dengan waktu tidak cukup seminggu, tiba saatnya kami berkumpul pada malam hari, sehari sebelum memulai bersafari. Motor, ransel berisi pakaian, dan spanduk telah siap menjadi teman setia untuk mengikuti perjalanan nanti. Hanya saja malam itu kami lupa membuat baju kaos kegiatan yang akan dikenakan. Barangkali sembilan orang yang akan berangkat, memikirkan hal yang sama denganku, “baju itu penting, sebagai identitas dan semangat kita”, begitu semangat mereka melontarkan hal itu. Tetapi waktu yang mengimpit, membuat kami tidak yakin bisa menyelesaikan baju dengan secepat itu. Namun karena semangat yang begitu tinggi, waktu seakan melambat dan memberi kesempatan untuk segera mencetak baju. Terlebih desain yang simple dan seorang teman bernama Imam, sedia bergegas membereskannya.

***
ALAMAT PERPUSTAKAAN

Fajar mulai menyingsing, dengan menampakkan sinarnya yang cerah. Pukul 10.30 WITA (14/2/2013) semua persiapan telah di kemas dengan baik. Kami berkumpul, seraya membaca doa bersama. Pagi yang cerah, sepertinya menjadi pembuka semangat kami memulai perjalanan. Apalagi sejam sebelumnya, kami merasa senang bahwa baju sudah di cetak (sablon), meskipun dengan kain hitam yang sederhana. “Tidak menjadi soal, ini juga sebanding dengan biayanya”, ucapku dalam hati.

“Apakah semuanya sudah siap ?” kata Wawan sambil memanaskan motor maticnya.

Terlihat Chua, Suriadi, Saddang, Sule’, Agus, Adi, dan Ridwan, mereka mulai memacu kendaraannya dengan berpasangan. Sementara saya bersama Uca’ merapikan kalender Kompas yang diberikan oleh Sirkulasi Kompas Makassar kepada kami sebagai bentuk dukungannya. Tidak ada bantuan uang atau biaya dari sponsor yang kami peroleh untuk kegiatan ini. Hanya saja, membawa kalender mini itu juga tidak memberatkan hati kami, termasuk sehari sebelumnya ternyata Kompas telah menyiapkan 50 eksemplar Koran Kompas untuk dibagikan. Berharap kegiatan kami diliput, juga mungkin hanya mimpi di tengah pemberitaan Kompas yang berskala nasional. “Kita ingin membantu dan setidak-tidak menjadi plakat kecil nanti kepada perpustakaan yang akan kami kunjungi”, begitu gumamku kepada Uca’.

Sekitar pukul 11.00 WITA kami memulai perjalanan, dimana saat-saat seperti itu Kota Makassar padat dengan kendaraan. Beberapa titik yang sering macet, seperti pertigaan tugu Tallo hingga depan M’Tos benar-benar membuat gerah dan panas di tengah terik matahari. Jalan yang macet kemudian memisahkan rombongan kami. Bahkan, saya harus menunggu yang lain beberapa menit sambil beristirahat. Lepas dari kemacetan, kami kemudian melanjutkan perjalanan.

Kantor Perpustakaan dan Arsip Kabupaten Maros menjadi kata kunci pertama yang sedang kami cari. Dalam perjalanan kami yang tanpa pemandu alamat, bertanya menjadi andalan kami. “Malu bertanya sesat dijalan”, barangkali kalimat yang harus berlaku untuk beberapa perpustakaan yang akan dikunjungi. Bertanya pada google pun tidak selalu berarti, sebab akses jaringan mungkin tidak semua menjangkau lokasi yang akan kami tuju. Ditambah perangkat pencarian di handphone kami tidak mampu memberikan kemudahan akses.

Kesempatan bertanya alamat perpustakaan sepertinya menjadi salah satu riset dadakan kami. “Satu hal mutlak yang harus Anda ketahui adalah alamat perpustakaan”, demikian kalimat yang dipesankan Albert Einstein. Tapi apakah masyarakat yang akan kami jumpai akan tahu alamat perpustakaan ? Sebab diantara kami tidak satupun berasal dari kabupaten Maros. Yang ironi rasanya jika seseorang diantara kami yang berasal dari daerah itu, lantas belum tahu alamat perpustakaan di daerahnya. Walau sebenarnya mencari alamat Perpustakaan Daerah Kabupaten tidaklah sulit, selain letaknya berada di Ibu Kota, seringkali berkedudukan di pusat kota atau kompleks kantor-kantor SKPD.

Jika kami bertanya ke tukang ojek atau pedagang kaki lima, asumsi awal kami, mereka akan mengatakan “tidak tahu”. Namun tentu tidak salah kiranya mencoba bertanya kepada mereka, setidaknya mengukur pengetahuan masyarakat atas keberadaan perpustakaan. Maklum, karena perpustakaan umum daerah memang dibuka untuk masyarakat umum.
Walaupun pada kenyataannya, kami harus mencari orang-orang yang berpakaian dinas pemerintah untuk ditanyai alamat perpustakaan. Cukup mudah untuk menemukan mereka, sebab hari itu adalah hari kerja. Tiga orang PNS yang kami tempati bertanya, mengangguk tidak tahu. Namun, seorang PNS lainnya kemudian mengarahkan kami alamat perpustakaan Maros.

Pukul 12.08 WITA, sampailah kami di Kantor Perpustakaan dan Arsip Kabupaten Maros. Dengan percaya diri, kami segera masuk ke kantor itu membawa map yang berisi surat izin kunjungan dengan lampiran proposal. Setelah 3 menit Kepala KPAD Maros membaca surat dan proposal, kami akhirnya mendengar respon yang kurang antusias darinya. Dengan nada yang agak keras, ia menanyakan tanggal persuratan yang dianggapnya telat. Seketika itu aku menjawabnya : “Iya Pak, kami minta maaf karena tidak menyampaikan lebih awal suratnya, namun kami juga mengalami kesulitan untuk menyurati jauh-jauh sebelumnya ke semua kabupaten di Sulawesi Selatan”, begitu alasan yang kuberikan agar ia dapat memaklumi. Dengan sabar, saya dan Wawan yang menghadap masuk keruangannya, mendengarkan celoteh yang benada ceramah darinya. Ia bahkan sempat menyampaikan kekecewaannya kepada mahasiswa yang suka berdemo. Sangat jelas, ia tidak respek terhadap demonstrasi yang dianggapnya liar. “Tapi tidak semua mahasiswa seperti itu Pak”, Wawan mencoba membela stigma yang baru saja dikeluarkan seorang birokrat.

Sekira 15 menit kami berdiskusi dengannya, akhirnya sambil tersenyum, ia lalu mengizinkan kami untuk mengunjungi perpustakaan umum yang terpisah dari kantor ini. Melalui perintahnya, seorang staffnya menuntun kami menuju ke lokasi yang di maksud.

Jarak antara kantor KPAD dan perpustakaan umum sekitar 500 meter. Lokasi perpustakaan cukup strategis, berada di Jalan Jenderal Ahmad Yani Nomor 6 Maros, dekat dengan beberapa sekolah dan kantor-kantor pemerintahan. Segera kami disambut oleh pustakawan yang hari itu sedang berkumpul dan bersantai. Seorang pustakawan, Irham, yang kemudian menjadi penuntun dalam kunjungan kami. Ia lalu mempersilahkan kami duduk diruang baca –yang kebetulan sepi dari pengunjung. Meskipun terlintas di pikiran, apakah memang sering sepi.

Saya pun memulai menceritakan maksud kunjungan kami. “Safari Perpustakaan ini Pak, sebagai proses pembelajaran kami, dengan mengunjungi setiap perpustakaan daerah, kami dapat mengetahui kondisi aktual perpustakaan di Sulawesi Selatan”.

Irham merupakan alumni D3 Ilmu Perpustakaan Universitas Hasanuddin. Dengan senang hati, Irham menjelaskan secara serius pengelolaan perpustakaan daerah Maros. Barangkali karena berasal dari alumni perpustakaan, ia kemudian ditunjuk untuk melayani tim safari perpustakaan Se Sulsel. Disamping karena memang Irham banyak mengetahui secara riil kondisi perpustakaan Maros.

“Gedung ini masih baru, koleksinya sementara akan di kembangkan. Kedepannya kita juga akan membuka ruang baca di sekitar taman perpustakaan”. Semangat Pak Irham sesuai dengan usianya yang masih produktif.

Di samping tempat kami berdiskusi, beberapa orang sedang asyik menikmati kopi dan sanggara, di hadapannya juga terdapat buku. Pikirku, mereka pustakawan. Setelah mengamati ternyata ia juga merupakan pengunjung perpustakaan. Di sebelah kiri mereka, berkumpul 4 orang perempuan yang berpakaian dinas, mereka adalah staff di perpustakaan ini. Salah satu diantaranya kemudian datang menghidangkan kue dan minuman untuk tim kami.

Sekitar 2 jam kami berada ditempat ini, mendiskusi segala hal yang berkaitan dengan kondisi perpustakaan, khususnya perpustakaan daerah Maros. Data-data yang disampaikan oleh Irham kepada kami cukup menjadi catatan pertama. Kamipun telah mengamati sudut-sudut perpustakaan Maros yang masih dikelola secara manual.

Selepas itu kami berpamitan sekaligus meminta foto bersama di depan spanduk yang telah di siapkan. Terakhir, kami meminta tandatangan beberapa orang di balik spanduk. Kami kemudian bergeser untuk menempuh perjalanan baru menuju Kabupaten Pangkep.

***
MENJAGA LOKALITAS DI PERPUSTAAAN

Menyusuri perjalanan antar kota kabupaten memang sangat melelahkan. Jarak kota Maros menuju Kota Pangkep di jangkau dengan waktu sekitar sejam atau lebih, walaupun tergantung kecepatan laju motor. Adi yang memiliki motor merek Vizion, memiliki kecepatan yang tinggi, tentu dengan cepat akan tiba ke lokasi tujuan. Sementara tiga motor lainnya, semuanya matic; Mio, Mio JT, dan Spin. Tetapi kami sudah berkomitmen untuk melakukan perjalanan dengan hati-hati dan tidak terpisah satu sama lain, apalagi saling meninggalkan.

Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan yang akrab dengan singkatannya Pangkep, sepertinya langganan penghargaan Adipura. Beberapa tugu yang terlihat sudah mengabarkan hal itu. Tetapi, yang paling memberi informasi, tentu saja kota Pangkep yang sepanjang kami lalui terlihat bersih dan tertata rapi. Semenjak proyek pelebaran jalan dari Maros-Pare-Pare, jalan poros daerah-daerah itu semakin lebar dengan 2 jalur-arus berlawanan arah.

Memasuki kota Pangkep, kami mulai mengamati sepanjang jalan kantor-kantor pemerintahan. Begitu tiba di tugu Bambu Runcing, dengan mudah kami menemukan Kantor Perpustakaan dan Arsip Daerah (KPAD) Pangkep yang dari kejauhan berwarna hijau segar. Kami segera menuju kesana, tepatnya di Jalan A. Burhanuddin nomor 1 Pangakejene.

“Silahkan masuk”, kata Kepala KPAD Pangkep mempersilahkan. “Apa yang bisa kami bantu”

Dengan menghela nafas, saya kemudian menunjukkan surat dan proposal. Lalu ia membacanya dengan seksama. Belum habis ia membaca seluruh isi proposalnya, saya kemudian memotong aktivitasnya. Saya bertanya, “bolehkah kami bertanya-tanya tentang Kantor Perpustakaan dan Arsip Kabupaten Pangkep ini Pak ?

“Boleh, silahkan”, ujar Kepala KPAD Pangkep sambil menyandarkan punggungnya kekursi sofa yang empuk sambil menaikkan kedua tangannya mengikuti lingkaran kursi. “Jadi perpustakaan ini masih baru, terlihat dari gedungnya yang juga baru”.

Wawan mengeluarkan secarik kertas dan pulpen, kemudian mengikuti pembicaraan. Beberapa poin-poin yang disampaikan oleh kepala KPAD Pangkep lalu dicatatnya dengan baik, termasuk merekam pembicaraan. Chua sibuk dengan kameranya yang mengarah ke kami di balik pintu. Kawan yang lain juga ikut mendengarkan kepala KPAD Pangkep dengan seksama.

Tidak terlalu lama berdiskusi dengan kepala KPAD Pangkep. Ia kemudian mengajak untuk melihat-lihat koleksi, ruang baca dan pengolahan yang berada dilantai 2. Kerumunan orang di dalam perpustakaan mengalihkan perhatiannya ke tim kami. Mereka berseragam putih-biru tua, mereka adalah para pelajar yang berada didekat rak perpustakaan sedang mencari buku.

Kepala KPAD Pangkep dengan ramah menunjukkan laci katalog dan koleksi-koleksi perpustakaan. “Ini koleksi-koleksi lokal, tentang Pangkep”, sambil menunjukkan lemari rak yang terlihat masih baru. Koleksi di klasifikasikan atau ditempatkan sendiri, sehingga sangat mudah menemukan referensi lokal. Meskipun belum terlalu banyak, tetapi inisiatif untuk mengoleksi pustaka lokal harus diupayakan oleh Perpustakaan Daerah demi melestarikan kebudayaan lokal, sebagaimana di amanatkan dalam UU No 43 tahun 2007 tentang Perpustakaan.

Pelestarian koleksi lokal oleh perpustakaan daerah merupakan benteng peradaban lokalitas kedaerahan. Sebab itu sudah menjadi tanggungjawab bagi perpustakaan daerah Pangkep untuk menghimpun koleksi lokal, baik yang ditulis oleh orang Pangkep maupun yang bukan. Entah itu terbitan lokal, nasional maupun luar negeri.

Kami terus mengikutinya sambil mengutip beberapa momen. Rak-rak yang dipenuhi tempelan nomor klasifikasi, cukup membantu kami mengetahui koleksi-koleksinya. Apalagi ditambah beberapa tulisan yang dipress untuk menunjukkan lokasi-lokasi koleksi sesuai dengan klasifikasi Dewey Decimal Classification (DDC). Bahkan laci katalognya cukup baru, dengan pembagian yang rapi, mulai dari katalog pengarang, judul, dan subjek.

Sesudah melihat semua yang ditunjukkan para pustakawan yang ramah, saya segera mengajak kepala KPAD Pangkep beserta staf perpustakaannya untuk berfoto bersama di depan halaman perpustakaan. Kami lalu turun. Saya mendapati beberapa anak di depan meja sirkulasi sedang meminjam buku. Dengan mengerutkan dahinya, ia terlihat malu-malu saat di foto di depan latar kaca bertuliskan Public Library Pangkep.

Sebagai seremoni, beberapa orang pustakawan kemudian membubuhkan tanda tangan. Tetapi diantaranya kami tidak mengenali yang mana alumni perpustakaan. Namun memang kami juga sepertinya lupa menanyakan itu. Hanya dugaanku selalu sama dengan kawan-kawan yang lain. “Jika mungkin ada, pasti tidak lebih dari 5 orang”, begitu aku menduga-duganya.

Maklum, sebelum tahun 1999, hanya Universitas Hasanuddin yang menghasilkan alumni D3 Perpustakaan. Tetapi beberapa tahun belakangan, Universitas Terbuka juga ikut membuka D3 Perpustakaan. Selain itu, belum ada satupun alumni UIN Alauddin yang menjadi pustakawan di Maros dan Pangkep sejak melahirkan alumni pertamanya, tahun 2003. Barangkali memang karena Pemda di setiap kabupaten/kota kurang memprioritaskan formasi pustakawan di setiap penyelengaraan CPNS. Kebanyakan diantaranya justru pegawai yang berasal dari alumni bidang/jurusan non-perpustakaan.

“Menjadi pustakawan cukup dengan mengikuti pelatihan atau bimtek yang diselenggarakan badan yang berwenang”, ucapku kepada kawan-kawan. Mungkin itulah yang menjadi satu-satu ampak mengapa mereka bekerja di perpustakaan.

“Undang-Undang Nomor 43 tahun 2007 kan masih mengakomodir”, Sule menambahkan dan tertawa mengucapkan kata-katanya. Yang lain juga ikut menertawai ketawa Sule, sambil menikmati minuman pelepas dahaga mereka.

“Ayo kita berfoto di disana”, ajak Ridwan dengan semangat. Di seberang ampak runcing itu terdapat tulisan Pangkep yang cukup besar. Tempat ini selalu dijadikan sebagai tempat bersantai para kawula muda pada sore hari hingga malam. Tanggul yang bertangga di pinggir sungai yang bersih itu, selalu terang dengan cahaya lampu di sekitarnya. Di depannya berjejer beberapa gerobak dan lapakan para pedagang kaki lima yang ikut meramaikan suasana kota. Mereka seakan-akan kompak, dan tidak ingin tersaingi dengan toko modern seperti Alfamart atau Indomaret yang berada di sekitarnya.

Waktu menunjukkan pukul 16.00 sore. Kami memutuskan untuk mencari tempat menginap di sekitar pangkep. Setelah lama berdiskusi, tidak satupun teman yang kami kenali berasal dari Pangkep sedang berada di kampung ini. Namun, salah satu teman Saddang yang bernama Anti sedang berada di Barru – juga seangkatan dan sejurusan dengan Chua, Wawan, Ridwan, dan Suriadi– mengajak kami menginap di rumahnya setelah mengetahui perjalanan kami. Ini menguntungkan kami, sebab setelah berkunjung ke Perpustakaan Pangkep, tentu saja selanjutnya adalah Perpustakaan Barru.

Memasuki perbatasan Pangkep-Barru, sejenak kami singgah beristirahat sambil menikmati matahari tenggelam (sunset) yang terpancar di bibir pantai. Di sebelah jalan, terdapat tulisan “Selamat Datang Di Kabupaten Barru”. Cepat saja, Adi alias Botak, Uca’, Agus, Suriadi dan Sule dengan lincah mengambil posisi untuk mendapatkan beberapa kutipan kamera.

Rute menuju Barru lengang dari kendaraan. Kami menempuh perjalanan menuju Rumah Anti dengan kecepatan yang agak tinggi. Kabupaten Barru yang dikenal rutenya panjang, sangat menguras tenaga kami. Kami bahkan membutuhkan waktu sejam untuk tiba dirumah Anti, yang sekitar 10 km melewati Kota Barru.

Rasa lelah sangat ampak terlihat di wajah kami. Tetapi dengan sigat, Anti bersama orangtuanya menyambut kami dengan teh panas dan kue. Tidak lama kemudian, ia menghidangkan makan malam. Dengan lahap semuanya menikmati makanan, termasuk saya yang sedari tadi sebenarnya lapar. Setelah semua perut terisi, kami kembali keruang tamu berdiskusi tentang persiapan esok hari dan sekaligus mengevaluasi kunjungan hari pertama kami.

Hal yang paling mendasar dalam diskusi tersebut ialah bagaimana mengetahui kelemahan-kekurangan dari setiap perpustakaan yang akan kami datangi, agar menjadi titik anjak atau catatan dalam kunjungan ini. Disamping mencatat strategi, program dan kinerja seperti apa yang dikerjakan oleh perpustakaan dalam menciptakan tujuan ideal dari keberadaan perpustakaan.

Tidak banyak persiapan teknis yang di bicarakan. “Besok (15/2/2013), selanjutnya Barru, Pare-Pare dan Sidrap yang akan kita kunjungi”. Begitu semua mantap, selanjutnya menuju kamar yang berada di lantai dua rumah untuk beristirahat.

***
PERPUSTAKAAN BUKAN PEMBUANGAN

Pagi terasa cepat, kami sungguh terlelap pada malam harinya. Hari kedua kunjungan kami, dimulai dari Perpustakaan Kabupaten Barru. Semua sudah siap dengan baju kaos hitam.

Kami menuju ke Kota Barru. Setibanya disana, kami langsung menemui Kepala Kantor Perpustakaan, Arsip dan Dokumentasi Daerah Barru yang masih mengenakan pakaian training. Demikianlah pakaian yang digunakan pegawai setiap hari jumat. Seperti biasa, saya memulai dengan seberkas map yang berisi surat. Namun nampaknya Kepala KPAD Barru lebih ingin mendengar langsung tujuan kedatangan kami, ketimbang harus melototi surat. “Kami dari mahasiswa jurusan Ilmu Perpustakaan UIN Alauddin Makassar Pak, Kami sepuluh orang sedang melakukan kunjungan ke setiap perpustakaan daerah di Sulsel”.

“Dari mana adik-adik semua asalnya”, tanya Kepala KPAD Barru.

“Saya dari Bulukumba (Wawan), Enrekang (saya), Maluku (Sule), Takalar (Uca’)”, begitu kami satu persatu ditanya. Tidak semua tim masuk ke ruangannya, kawan-kawan lain berada diluar melihat-lihat plakat dan piala yang terpajang di lemari.

“Kehadiran kami untuk melihat kondisi perpustakaan-perpustakaan daerah sebagai bentuk pembelajaran bagi kami”.

“Hanya hari ini saja rencananya, ini hari jumat, sampai jam berapa ? apa sampai sore kunjungannya ?” selanya.

Aku menyelanya kembali, “Kita hanya meminta gambaran secara umum Perpustakaan Kabupaten Barru ini Pak”.

“Oh begitu”, serunya.

“Selebihnya kami ingin melihat-lihat setelah mendengar gambaran bapak”

Kepala KPAD Barru mengangguk, menandakan ia sudah paham maksud kami. Mulailah ia berbicara. “Jadi sebelumnya saya Kepala Kantor Perpustakaan, disini istilahnya Kantor Perpustakaan, Arsip dan Dokumentasi Daerah (KPAD). Khusus KPAD ini, membawahi 54 perpustakaan desa/kelurahan, ditambah 65 taman baca dan Insya Allah tahun ini kita akan tambah lagi 25 taman baca di semua kampung-kampung yang kita bawahi. Kemudian kita memberi honor 150 ribu perbulan bagi pengelola taman baca desa. Yang menjadi pengelola yaitu warga disekitar taman baca agar memudahkan pengelolaannya. Sasaran kita bagaimana meningkatkan minat baca masyarakat, dan termasuk karena disini masih cukup banyak buta akasara, maka kita juga memberantas buta huruf. Kemudian kita punya pustakawan yang terkadang bertindak seperti wartawan. Artinya ada informasi yang bagus kita ekspos kemudian kita kirim ke surat kabar, tetapi berita yang pasti. Disamping itu, disini memiliki mobil perpustakaan keliling dan 2 motor pintar Barru juga siap melayani masyarakat untuk membaca. Dimana kira-kira tempat yang jauh dari taman baca, di situlah kita melayani perpustakaan keliling, bergerak untuk seluruh kabupaten Barru. Tetapi tergantung dari keuangan. Tetapi bagaimanapun kita mengusulkan kegiatan ini, dan hampir semua yang kami usulkan di terima oleh DPRD”

“Menurut bapak, bagaimana dengan ungkapan selama ini bahwa ada kesan perpustakaan adalah tempat pembuangan ?”, saya kembali mengajukan pertanyaan.

“Oh kalau itu, disini tidak. Khusus di Barru tidak ada image seperti itu. Karena kita ini bersaing dengan instansi lain, baik dari segi cara kerja maupun kegiatan-kegiatan keluar. Memang dulu begitu kedengaran, tetapi sebelum saya masuk. Setelah saya masuk disini, image itu sudah tidak ada. Bahkan ada beberapa instansi lain yang meminta mengisi posisi yang kosong di kantor ini, padahal dia sudah punya jabatan di instansinya. Berarti kan sudah hilang image seperti itu”.

Dengan gamblang, H. Saharuddin, Kepala KPAD Barru sepertinya tidak bosan menjelaskan berbagai programnya. Termasuk programnya yang memfasilitasi anak-anak berupa snack atau makanan ringan sebagai pemancing mereka untuk datang membaca. “Setelah membaca kami menghadiahi mereka snack, jadi kami menganggarkan itu”, tandasnya.

Sebagaimana biasanya, Chua sibuk dengan dokumentasinya. Wawan dengan catatannya. Botak dan Agus yang suka melihat-lihat sudut ruang baca. Saddang, Ridwan dan Suriadi dengan serius mengikuti pembicaraan. Lalu Uca’ dan Sule yang paling junior, juga terlihat berkeliling mengitari rak-rak buku.

Kepala KPAD Barru kembali bercerita tentang dirinya. “Saya pengelola Ilmu Perpustakaan untuk UT, saya punya banyak mahasiswa D2 masuk di UIN Alauddin Makassar. Karena dulu saya dengan Pak Tawakkal kenal baik”.

Satu-satunya cara untuk menarik simpati para pustakawan yang terlihat lesuh dengan kedatangan kami adalah mengajak mereka berfoto. Alhasil, didepan halaman perpustakaan, mereka terlihat antusias mengikuti perintahku. Delapan orang pengelola perpustakaan yang tadinya hanya duduk, kini berada di samping kepala KPAD Barru mengambil posisi berbaris. Selesai berfoto, mereka lalu kembali setelah kepala KPAD Barru membubuhkan tanda tangan di spanduk dengan spidol.

Selesai berpamitan dengan mereka, beberapa kawan menuju gedung arsip yang berada di belakang kantor itu. Disana terdapat papan nama besi yang menjadi tempat foto bersama tim kami dengan menggunakan baju seragam. Kami silih berganti mengabadikan momen itu.

***
REKREASI PERPUSTAKAAN DI PINGGIR PANTAI

Setelah singgah melaksanakan shalat Jumat, kami melanjutkan perjalanan menuju Kota Pare-Pare. Namun di tengah perjalanan, hujan yang semula hanya rintik, tiba-tiba deras. Akhirnya kami memilih untuk singgah bernaung. Hampir 1 jam lamanya, hujan baru reda.

Jam menunjukkan pukul 14.00. Kuperkirakan, sekitar satu jam lagi waktu yang ditempuh untuk sampai di Pare-Pare. Biasanya kantor-kantor pemerintahan tutup pukul 15.00 WITA, demikian juga perpustakaan. Yang pasti tidak mungkin lagi menemukan perpustakaan Sidrap buka. Barangkali saya masih mengikuti suasana yang terjadi dikampus dan sekolahku dulu.

Tepat ketika suara adzan bergema di Pantai Pare-Pare, kami menemukan lokasi perpustakaan Pare-Pare. Terlihat beberapa orang pegawai yang nampaknya sudah bersiap-siap pulang. Kami bergegas menemui Kepala kantor perpustakaannya. Di perpustakaan ini, kami juga bertemu dengan 3 orang alumni UIN Alauddin Makassar yang telah terangkat sebagai pustakawan. Kak Uswa, dan 2 orang rekannya yang saya lupa namanya : satu perempuan dan satu lelaki kurus yang nampaknya dulu mahasiswa transfer (Istilah mahasiswa Non-reguler atau D3 lanjut ke S1). Perempuan yang satunya, saya belum pernah bertemu sebelumnya, tetapi saat pulang dia menanyakan kami akan kemana. Saya menjawab akan ke Enrekang. Mendengar itu, ia meminta tumpangan pulang. Ternyata ia berasal dari Maiwa, sebuah daerah Enrekang di perbatasan Enrekang-Sidrap. Saya mengatakan bahwa kami semua saling berbocengan, kami 10 orang dengan 5 motor. Saya meminta maaf, sekaligus membayangkan betapa jauh jarak yang ditempuh setiap hari untuk pergi dan pulang kantor. Ia memaklumi alasanku dan segera pamit, sebab ia baru akan mencari mobil angkutan daerah yang akan ditumpanginya.

Seorang pustakawan yang lain mengajak kami ke lantai 3 perpustakaan menemui beberapa pegawai. Di atas sana kami dapat melihat beberapa PKL yang sedang sibuk mendirikan tenda-tenda dagangannya. Setiap sore menjelang magrib, masyarakat mulai berdatangan di tempat itu. Saya membayangkan, “jika saja orang-orang yang berada di bawah sana, menjadikan perpustakaan sebagai tempat wisata dan rekreasi. Dan perpustakaan kota Pare-Pare layanannya buka hingga malam hari. Mungkin akan lebih menarik, apalagi jika perpustakaan punya kreativitas dalam menarik perhatian penikmat pantai”.

Memang kesan perpustakaan yang selama ini terstigma kaku dan penuh kebakuan layanan, hendaknya menghadirkan nuansa yang santai dan dinamis. Menyiapkan ruang khusus yang bisa membaca sembari berekreasi dan berbincang-bincang secara terbuka. Menjamurnya konsep café baca sebenarnya dapat ditilik sebagai strategi dalam mengajak orang datang membaca. Meskipun tujuannya awalnya bukan untuk membaca, tetapi rayuan bacaan dapat menjadi sajian yang dinikmati sambil minum kopi. Deburan ombak pantai Pare-Pare akan menambah suasana rileks. Bagai musik penghias aktivitas membaca dan pencuci mata yang lelah karena suntuk membaca.

“Gedung ini rencananya akan direnovasi dan akan menyeberangi jalanan depan pantai, dan membentuk terowongan. Di dekat bibir pantai itulah nanti akan di bangun ruang baca yang tersambung dengan gedung ini”, begitu salah seorang pustakawan (juga alumni) menjelaskan, sambil menunjukkan gambar konstruksi pembangunan yang tertempel di dinding. Perpustakaan Pare-Pare memiliki lokasi yang strategis dan ramai, berada di sepanjang pantai Pare-Pare.

Kepala kantor Perpustaakaan Pare-Pare, seorang perempuan yang cukup ramah menerima kami, meminta izin segera pulang selepas berfoto bersama tim dan para pustakawan. Demikian juga yang lainnya. Namun karena hujan yang nampak akan kembali turun, menunda kami beranjak meninggalkan perpustakaan.

Chua sudah berkomunikasi dengan kekasihnya. Ia menjelaskan posisi kami. Kedengarannya kami diminta untuk singgah di Sidrap. Yang lain menimpali dengan candaan. “Tanyai, adaji dimakan toh”, begitu suara yang saya dengar, entah siapa yang memulai. Tetapi saya turut mengiyakan.

Berapa menit kami menunggu, tanda-tanda akan hujan sepertinya berdiam lama dan belum membasahi bumi. Kami bergeser dan menuju rumah kekasih Chua yang waktu tempuhnya sejam. Begitu perkiraanku. Maklum aku sudah hapal betul jarak Pare-Pare ke Sidrap. Jadilah aku penunjuk jalan, mungkin karena diantara 10 orang, hanya aku orang yang berasal dari daerah Ajattapareng – sebutan wilayah meliputi Enrekang, Pinrang, Pare-Pare dan Sidrap.

Sejam kemudian, kami memasuki Pangkajene, Kota Sidrap. Suasana jalan pada sore itu cukup padat. Pangkajene terlihat ramai dengan bangunan ruko. Saya tahu itu. Kota ini memang terlihat sejahtera dengan lumbung padi dan mayoritas warganya pedagang. Barangkali pada saat masih SMA, Ibu saya selalu membawa ke Pasar Rappang. Disana begitu banyak orang menyapa Haji (juga panggilan untuk Hadjja) yang masih mudah dengan penanda diatas kepala. Walau kadang saya geli melihat beberapa diantaranya berpakaian yang tidak sesuai dengan syariat gelarnya.

Tepat di depan Mesjid Raya, sebuah mobil memberi kode. Terlihat kekasih Chua sedang menyetir dengan lambat, yang berarti memberikan petunjuk jalan yang harus kami lalui menuju rumahnya. Tiba di rumahnya, kami disambut dengan suguhan rambutan, teh kotak dan kue-kue. Rumah yang memiliki halaman yang luas.

Kami mendapatkan pelayanan yang cukup serius dari orang tuanya. Mereka mengajak kami ke sebuah warung makan yang terbilang ramai dikunjungi setiap malam. Entah berapa yang mereka bayar, yang pasti kehadiran kami malam itu, telah merogoh kocek mereka. Tapi sudahlah sepertinya mereka juga tidak mempermasalahkan. Kapan lagi mereka menerima tamu yang jauh-jauh dari Makassar. Cukup mendoakannya agar sehat dan diberikan rezeki.

Selesai menikmati makan malam di warung itu, sebenarnya beberapa teman inginnya numpang menginap di rumah kekasih Chua. Hanya saja Chua Nampak kurang enak dengan maksud itu, apalagi ia tadinya mengatakan sekedar singgah beristirahat.

Besok adalah hari sabtu, itu berarti perpustakaan daerah Sidrap tutup. Begitu informasi yang diberikan oleh orangtuanya. Lama berdiskusi di rumahnya, akhirnya belum ada ajakan untuk menginap. Kami akhirnya memutuskan untuk bergegas ke Enrekang, di rumahku. Terutama bahwa kawan-kawan juga sudah mulai mengantuk. Tetapi jarak yang akan kami tempuh sampai dirumah sekitar sejam lagi. Di tengah perjalanan saya mengirim pesan SMS kepada adikku untuk mempersiapkan tempat istirahat. Setiba di rumah, muka-muka yang kusam dengan badan yang lemas selanjutnya memilih berisitrahat.

***
PERPUSTAKAAN TANPA PUSTAKAWAN

Sabtu, pagi-pagi sekali, saya sudah membangunkan kawan-kawan untuk sarapan. Pagi itu juga kami berdiskusi tentang Perpustakaan Daerah Pinrang dan Enrekang. Meskipun kami belum tahu, apakah Perpustakaan Daerah Pinrang buka di hari sabtu atau tidak. Satu hal yang menjadi alasan kami tetap berangkat kesana, adalah jarak ke Kota Pinrang dari rumahku hanya membutuhkan waktu sekitar 45 menit. Kami mengambil jalan pintas Malagga-Malimpung yang jaraknya dekat, namun jalannya sempit dan separuh jalanannya sepi.

Jalan sepi dari kendaraan, tampaknya memudahkan perjalanan kami. Bahkan kawan-kawan menganggap jaraknya sangat dekat. Tetapi perpustakaan Daerah Pinrang yang berada di Jalan Jenderal Sudirman Nomor 58 nampak sepi. Hanya terlihat seseorang yang berpakaian kokoh dan songkok bersama seorang anaknya yang masih balita sedang membaca sebuah buku. Letak ruang baca itu berada di lantai 2. Di sana kami menemukan hanya 2 orang penjaga perpustakaan yang berpakaian sekolah Pramuka, keduanya siswi yang sedang magang. Melalui keduanya, seorang Ibu (pustakawan) secara khusus datang menerima kami setelah siswi itu melapor.

Kantor Perpustakaan, Arsip dan Dokumentasi Daerah Pinrang masih sangat baru. Gedung ini berlantai dua dan memiliki halaman depan dan belakang yang luas. Lokasinya strategis karena berada di tengah-tengah kota, berdekatan dengan beberapa sekolah. Nampak gedungnya yang bercat baru dan beberapa fasilitas baru seperti komputer dan ruangan kepala kantor perpustakaan. Koleksi-koleksinya juga cukup banyak, lengkap dengan klasifikasi, laci katalog, peraturan peminjaman dan beberapa kalimat motivasi dan peringatan yang tergantung di dinding. Di meja sirkulasi, tampak mencolok motto “Kembangkan Budaya Baca”.

Dalam percakapan yang cukup singkat dengan Ibu Marlina, pustakawan KPAD Pinrang, ia mengakui masih memiliki kekurangan dalam aspek tenaga pengelola yang professional. Marlina -yang cukup rendah hati- bahkan menyampaikan dan merasa masih belajar tentang dunia perpustakaan. Menurutnya kamilah calon ahlinya, yang kedepannya akan merubah citra perpustakaan. Sepanjang yang ia ketahui, tidak satupun seorang pengelola perpustakaan yang berasal dari alumni ilmu perpustakaan. Wajar, Marlina menitipkan harapan agar siapapun diantara kami yang berminat bekerja di tempat itu.

Di Ilmu Perpustakaan UIN Alauddin, beberapa mahasiswa yang berasal dari Pinrang. Dalam setiap perjalanan, kami memang selalu menyebut atau mengingat nama-nama yang berasal dari setiap kabupaten. Disamping bermaksud untuk mengajaknya untuk bersama-sama ke perpustakaan kalau mereka sedang berada di kabupaten yang kami tuju. Sekaligus ingin mengenalkan mahasiswa daerah yang belajar Ilmu Perpustakaan. Terutama untuk mendorong pemberdayaan “putra daerah” untuk kembali dan mengabdi di tanah kelahirannya.

Melihat realitas formasi pustakawan di setiap penerimaan calon pegawai daerah yang masih sangat kurang, maka wajar jika banyak perpustakaan belum memiliki pustakawan. Kalaupun ada, itu tidak tiap tahunnya bertambah, sementara pemerintah telah menyadari pentingnya perpustakaan dikelola alumni ilmu perpustakaan. Artinya, butuh waktu yang panjang agar semua jenis perpustakaan dikelola pustakawan berpendidikan ilmu perpustakaan. Sungguh ironi jadinya bilamana perpustakaan umum tidak memiliki pustakawan. Barangkali formasi pustakawan adalah yang diharap tapi tak dilirik.

Sebagai perpisahan dari pertemuan yang singkat, kami mengajaknya berfoto bersama dan membubuhkan tanda tangan di depan papan nama KPAD Pinrang.

***
MALAM KUNJUNG PERPUSTAKAAN

Jalanan yang berkelok-kelok menuju Kota Enrekang membuat perjalanan agak menantang. Saya menjadi pemandu, sebab saya sudah hapal betul jalan, bahkan titik-titik rawan sekalipun. Maklum selama 3 tahun lebih, setiap hari saya bersekolah di Kota, SMA Negeri 1 Enrekang, yang berjarak 15 kilometer dari kampung.

Setibanya di Kantor Perpustakaan, Arsip, dan Pengolahan Dokumentasi Elektronik (KPA-PDE) Kabupaten Enrekang, kami hanya mendapati beberapa pegawai yang sedang membuka layanan baca.

Alumni ilmu perpustakaan di KPA-PDE Enrekang ada 4 orang, 2 orang alumni Universitas Hasanuddin, dan 2 orang alumni UIN Alauddin Makassar. Alumni IP UIN Alauddin yang telah terangkat sebagai PNS bernama Ahmad Chabir dan Syahrimul Natsir. Namun di kesempatan itu, kami hanya bertemu dengan Syahrimul. Ia memandu dan mengenalkan beberapa fasilitas layanan perpustakaan. Berdiskusi dengannya tentang kegiatan perpustakaan di ruang baca anak-anak. Lalu menunjukkan kepada kami ruang pengolahan, ruang referensi, ruang baca umum dan sistem Online Public Access Catalog (OPAC) Ibra.

Di ruang baca umum, terdapat alat pendeteksi buku. Fungsinya untuk melacak buku yang keluar jika ada yang tidak melalui sirkulasi OPAC. Alat itu akan berbunyi dan menunjukkan tanda bahwa terdapat buku yang akan dibawa keluar pengunjung tanpa prosedur. Ini dilakukan untuk meminimalisir pencurian buku oleh oknum yang tidak menjadikan perpustakaan sebagai ruang pelestarian dan tempat belajar bersama.

KPA-PDE Enrekang berada di lokasi strategis. Di sampingnya berdiri Rumah Sakit Umum Massenrempulu, di depannya tempat menunggu angkutan, dan sekitarnya beberapa instansi pemerintah dan sekolah, mulai dari SD, SMP, SMA, Sekolah Tinggi.

Kami berbincang-bincang santai dengan Syahrimul, sambil menikmati rambutan yang disuguhkan di ruang baca anak. Syahrimul juga menunjukkan beberapa piagam penghargaan menghiasi lemari perpustakaan yang di peroleh dari Perpustakaan Nasional. Di sudut rak-rak buku, 5 orang siswa membaca dengan serius. Sementara 3 orang berada di depan komputer sedang mengakses internet. Ada juga yang membawa laptop dengan memanfaatkan jaringan WIFI perpustakaan.

Di KPA-PDE Enrekang terdapat 2 mobil perpustakaan keliling yang setiap minggu mengunjungi sekolah-sekolah. Di samping itu, KPA-PDE Enrekang membuka layanan baca sampai 22.00 WITA malam. Setiap pengelola perpustakaan yang berjaga terjadwal secara bergantian. Hampir setiap malam, perpustakaan Enrekang banyak dikunjungi siswa-siswa yang berada disekitar kota.

Perpustakaan umum Enrekang yang melayani pemustaka sampai malam hari merupakan suatu upaya yang baik. Hal ini memberikan kesempatan kepada masyarakat yang tidak memiliki waktu luang pada siang hari, seperti petani, buruh dan pegawai. Termasuk siswa/mahasiswa yang diberikan tugas oleh gurunya. Keunggulan lainnya, karena layanan baca dibuka pada malam minggu, sehingga perpustakaan hadir mengisi malam minggu masyarakat (utamanya kaum muda) kearah yang lebih produktif. Yah, bermalam mingguan di perpustakaan dengan membaca. Mengalihkan masyarakat ke perpustakaan pada malam minggu pada gilirannya menghadirkan nuansa yang bersahabat. Penciptaan ruang demikian juga semacam adaptasi pada tren yang berkembang. Memasuki arusnya, lalu perlahan-lahan menarik kearah yang bijak dan positif.

***
GAMANG TEKNOLOGI PERPUSTAKAAN

Minggu pagi menjadi waktu santai bagi kami, sekaligus mempersiapkan segala perlengkapan, termasuk tenaga. Sementara beberapa diantara kami mencuci pakaian kotor, terutama almamater dan baju safari yang beberapa hari kedepan akan kami kenakan lagi. Aktivitas kami seharian hanya menonton dan bercerita tentang apa saja. Sekali-kali Chua, Suriadi, Adi, Ridwan dan Agus sibuk dengan handphonenya. Saya justru di bale-bale menonton hingga siang hari.

Sorenya, kami membuat rencana untuk menikmati Buttu Kabobong. Saat yang sama, Wawan menelpon Fhara (mahasiswa perpustakaan) yang sedang berada di Duri. Waktu libur kuliah, banyak mahasiswa yang kembali di kampung. Sambil menunggu pakaian kering, kami mengemasi perlengkapan masing-masing. Sebelumnya saya telah menjelaskan ke kawan-kawan bahwa jarak dari rumahku ke Makale, kota Toraja cukup jauh. Biasanya 3 jam perjalanan. Maka kami berencana menginap di rumah Fhara jika memungkinkan. Jarak dari rumahnya dari perbatasan Tana Toraja sekitar 40 km, itu artinya sekitar 60 menit waktu yang akan tempuh.

Buttu Kabobong atau yang sering disebut Gunung Nona merupakan salah satu pemandangan eksotik yang dapat dinikmati secara cuma-Cuma. Di sepanjang jalan, berjejer kios-kios yang menjajahkan makanan khas Enrekang. Deppa tettekan, baje, dodol, dangke, kerupuk salak, dan lain-lain terlihat sangat ramai. Selain itu, warung makan menjadi tempat yang asyik mengisi perut sambil memandangi keindahan alam Enrekang.

Daerah Duri di kelilingi gunung dan bukit-bukit tinggi. Daerahnya dingin dan sejuk. Malam hari tentu saja sangat dingin. Kondisi seperti itu biasanya menyebabkan perut cepat keroncongan. Beruntung pelayanan yang diberikan oleh keluarga Fhara bergitu ramah. Baru sekitar 30 menit membawa teh hangat, segera disusul dengan sajian makan malam yang spesial. Lauknya yang melimpah bahkan membuat kami bingun memilih.

Pukul 04.00 pagi saya sudah terbangun. Walau masih dalam selimut yang tebal, rasa dingin menusuk tulang-tulang tubuh. Cuacanya, membikin saya tidak dapat melanjutkan tidur. Hingga pukul 05.00, saya hanya menonton TV sambil berbaring. Setelah itu membangunkan kawan-kawan untuk lekas shalat.

Usai mandi dan sarapan, kami melanjutkan perjalanan. Kami melewati banyak tikungan, tongkonan dan gereja. Sebagian dari kami belum pernah mengunjungi Tana Toraja yang terkenal dengan budaya dan wisata pemakamannya. Setibanya di Makale, kami langsung berdiskusi dengan para pengelola perpustakaan. Kami berbincang santai dengan seorang ibu yang berpakaian batik Toraja.

Gedung Kantor Perpustakaan dan Arsip Kabupaten Tana Toraja memiliki corak khas toraja. Mulai dari atapnya sampai pada ukiran-ukiran khas Toraja. Posisinya berada di pusat keramaian kota Makale. Dekat dari bundaran patung Pongtiku. Berada di Jalan Ichwan Nomor 1. Di sampingnya berdiri beberapa kantor pemerintahan, area perbelanjaan, dan pusat aktivitas kawula muda setiap sorenya.

Saat kami tiba disana, tidak satupun pengunjung perpustakaan selain kami. Hanya para pegawai yang sementara membentuk lingkaran bercerita tentang sesuatu. Perhatian mereka beralih ke rombongan kami setelah mendengar maksud kunjungan kami. Walaupun demikian, mereka menyadari masih banyak kekurangan di Perpustakaan Tana Toraja, termasuk tenaga pustakawan dan koleksi-koleksinya. Tidak banyak data yang kami peroleh.

“Tahun 2009 bulan juni, baru kita berkantor sendiri di sini (Tana Toraja) karena sebelum pemekaran kabupaten kita bertempat di Rantepao (Toraja Utara). Setelah itu kami mulai dari nol kembali. Jadi jika adik-adik minta data, yah itulah keterbatasan kami karena baru memulai dari nol. Tetapi kami akan tetap siapkan beberapa data yang anda butuhkan”.

“Baru-baru kami menerima bantuan dari pusat, berupa komputer 5 unit untuk menginput semua buku-buku yang ada di perpustakaan. Namun listrik disini belum mencukupi, karena sementara kita bersama dinas Kehutanan. Jadi nanti akan ada petugas yang mengurusi itu, termasuk OPAC”, kata ibu pengelola perpustakaan Tana Toraja.

Saat ia ditanya mengenai sistem temu balik yang digunakannya, ia lantas memanggil pengelola perpustakaan lainnya karena kurang mengusai hal tersebut. “Kalau ada buku yang di cari pengunjung tinggal di cari dalam ini…apakah ini namanya ?” katanya.

Wawan lalu berkata “Kalau yang lazim digunakan Bu, namanya sistem OPAC. Atau mungkin ada istilah tersendiri disini”.

“Mungkin ada istilah. Saya kurang paham betul ini”, jawabnya.

Seakan-akan tahu betul yang di maksud pengelola perpustakaan tersebut, Wawan kembali menjelaskan “Kalau yang lazim digunakan namanya sistem OPAK Bu”.

“Iya mungkin, itu sudah”, katanya dengan kelihatan pasrah karena ketidaktahuannya akan isitilah yang dimaksudnya.

Setelah menjawab, ibu itu memanggil temannya. “Manakah itu Ibu Aman. Saya tidak bisa bela menjelaskan betul secara detail”, gerutunya sambil tertawa kecil . Mungkin tertawa kecil -tapi sopan- karena merasa kurang memahami secara mendalam.

“Ribetnya kulihat ini” bisik Wawan sambil tertawa kearah Suriadi dan Ridwan.

Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi memberi dampak yang begitu nyata bagi perpustakaan. Dukungan otomasi perputakaan bernama OPAC memang menjadi medium yang membantu memudahkan kerja teknis perpustakaan. Secara positif memberikan kemudahan dalam menyediakan informasi, sirkulasi, dan database perpustakaan. Di samping memberi tantangan baru bagi pengelola perpustakaan untuk beradaptasi dengan kemajuan TIK. Akhirnya kalau kita tak mampu mengikuti ritme zaman, maka perpustakaan terhempas dari perannya.

Lama berselang, Ibu itu melanjutkan penjelasannya. “Jadi tujuan dan sasaran dari perpustakaan memberikan layanan informasi kepada masyarakat, meningkatkan gemar membaca, serta memperluas wawasan dan pengetahuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa”.

Sesudah mendengar penjelasannya, kami meminta untuk melihat sejenak koleksi-koleksi perpustakaan. Setelah puas mengambil gambar di sudut-sudut ruanganya, giliran selanjutnya para pegawai perpustakaan yang kami ajak berfoto di depan halaman Kantor Arsip dan Perpustakaan Tana Toraja. Dengan kompak mereka beberapa kali mengikuti instruksi Saddang yang memegang kamera.

***
APA ITU PERPUSTAKAAN ?

“Kita singgah di wisatanya diy Kanda”, ujar Sule yang sepertinya ingin memanfaatkan momen yang mumpun didapat. Setidaknya itu tergambar di wajah-wajah lainnya juga, seperti Adi (Botak), Ridwan, Uca’, dan Agus.

“Ok, kalau begitu kita ke Teke’ Kesu’ saja yah”, kataku.

Tetapi sebelum ke Teke’ Kesu’ kami terlebih dulu berfoto di bundaran kolam kota Makale. Tepat di belakang patung Pongtiku yang dibalut pedang dengan memegang bambu.

Kete’ Kesu’ sepi dari wisatawan pada hari itu. Asumsi saya, karena mungkin bulan desember dan januari telah berlalu dengan beragam acara besar seperti Natal, Lovely Desember dan Tahun baru. Kami menyusuri peti mati di bawah bukit berbatu yang berserakan banyak tengkorak. Satu dua terlihat makam yang di buatkan rumah beserta foto orang meninggal. Katanya mereka adalah kalangan bangsawan. Tidak lama kami berada disana. Setelah berfoto dengan latar rumah Tongkonan, lekas kami menuju ke Toraja Utara.

Berputar-putar kami bertanya alamat perpustakaan, yang ternyata berada disekitar Pasar Toraja Utara, Jalan Landorundun Nomor 1 Rantepao. Hampir saja Kantor Perpustakaan, Arsip dan Dokumentasi Toraja Utara tutup. Beruntung kami segera mencegat pengelola perpustakaan dan meminta sedikit waktu berbincang. Setelah membaca surat kami, Agus Pasandangi dan Mita Sumule (pengelola perpustakaan) mempersilahkan untuk masuk ke perpustakaan.

“Begini sebelum terbagi disini ada pustakawan dan arsiparis. Jadi yang banyak sekarang disini cuman tenaga kontrak, kalau PNS hanya 5 orang. Pengunjung di waktu tertentu biasa mencapai 200 orang, tapi biasanya dari kalangan mahasiswa, siswa SMA, SMP dan SD. Kalau masyarakat umum kurang. Biasa kami adakan sosialisasi ke kelurahan, tapi kesadarannya kurang. Perhatian pemerintah untuk perpustakaan masih kurang. Anggaran sudah ada sedikit karena kita itu sudah pengadaan buku. Lalu jumlah koleksi ada sekitar 10 ribu judul”, kata Agus Pasandangi.

“Disini juga ada layanan perpustakaan keliling yah ?” tanya Suriadi

“Kalau layanan perpustakaan keliling, dalam satu minggu 4-5 kali turun ke sekolah-sekolah. Masyarakat kurang kesini karena mungkin fokusnya ke area sentra ekonomi (pasar). Yah begitulah. Saya kadang mendengar dari luar, apa itu perpustakaan ?”, tutur Agus Pasadangi.

Posisi perpstakaan Toraja Utara memang berada di sekitar pusat perdagangan Rantepao. Lapak-lapak berjejer menjual aneka barang dan produk khas Toraja. Sebenarnya kondisi demikian dapat dimaksimalkan, hanya saja masyarakat belum tertarik memanfaatkan perpustakaan.

Saat hendak beranjak meninggalkan perpustakaan, rombongan siswa dari SD terlihat ramai masuk perpustakaan. Kami pun berpamitan, juga bertanya arah mana yang kami akan tempuh menuju Kota Palopo.

Jalan menuju Kota Palopo cukup ekstrim. Kami berada diatas ketinggian melintasi gunung. Kabut yang tebal disertai hujan rintik-rintik menghentikan laju kami. Hampir tidak ada jalan yang kami bisa lihat karena terhalang kabut. Saya ngeri membayangkan, jika sedikit saja diantara kami yang tergelincir di jurang yang begitu curam. Begitu curamnya kami tidak melihat ujungnya.

Sembari menunggu kabut lenyap, kami beristirahat sejenak. Udara sejuk yang kami hirup, bagai berada di ruangan yang ber-AC. Sungguh pemandangan yang eksotis. Bahkan dalam hati saya merenung kebesaran Pencipta yang mengatur alam. Membayangkan manusia-manusia yang beradaptasi dengan alam di tempat ini. Pikirku tidak ada yang menghuni wilayah ini, tapi asumsiku salah saat kembali berjalan selepas kabut menghilang. Justru sebagian kecil dari manusia itu, mengais ekonomi dengan berbagai warung makan. Beruntung kami mendapati itu ditengah rasa lapar dalam kedinginan. Tak henti-hentinya saya membayangkan jalan yang saya lalui barusan.

“Bagaimana jika kendaraan di sini meletus bannya”, pertanyaan yang jawabannya sangat menakutkan untuk di bayangkan.

Ucha menambahkan “Iya diy, deh bahayanya”.

Bahkan sepanjang jalan, sepengamatan saya hanya terdapat satu tempat press ban atau bengkel. “Wah, bisa-bisa kita mampus mendorong kendaraan, apalagi jika malam”, pikirku.

Baru 4 menit mie siram yang hidangkan pelayan, airnya mulai kehilangan panasnya. Hampir sejam kami berada di warung makan menunggu redah hujan. Sembari berpikir dimana malam ini kami akan menginap.

Tidak disangka, Adi Botak punya kerabat di Kota Palopo dekat Makam Pahlawan. Kami bersyukur mendengar hal itu. Letak rumah Om Adi masuk lorong. Kediamanannya tidak berada di kompleks yang ramai. Justru masih dalam suasana perkampungan. Hal ini membuat kami merasakan suasana desa, dengan banyak pohon disekelilingnya. Malam itu kami di suguhi rambutan oleh Om Adi. Meskipun ia lahir di Makassar, tetapi bersama keluarganya ia menetap di Tana Luwu.

Cuaca di pagi hari, dirumah Om Adi, begitu cerah. Di tambah minuman hangat yang menemani kesegaran kami yang baru saja mandi. Cuaca yang cukup bersahabat memberikan semangat kami di hari keenam (18/2/2013) safari perpustakaan se Sulsel.

***
OPTIMISME PUSTAKAWAN

Kota Palopo di pagi itu cukup dingin. Air serasa menusuk tulang-tulang kami saat mandi. Mungkin karena dinginnya, beberapa kawan menunda-nunda untuk segera mandi. Tetapi kami harus segera bergegas untuk kunjungan hari ini.

Jarak antara rumah Om Adi tidak terlalu jauh dengan Kantor Perpustakaan Umum dan Arsip Daerah Kota Palopo yang berada di Jalan Andi Djemma nomor 60. Saat kami tiba di tempat ini, banyak polisi yang sedang bersiaga. Polisi-polisi tersebut berjaga-jaga di sebuah kantor Partai Politik yang bercat kuning terang. Kami tahu bahwa kota Palopo sedang mencari pemimpin daerah yang baru.

Seperti biasanya, prosesi awal yang kami lewati yakni menemui kepala kantor untuk menggambarkan kunjungan kami. Walau tidak bertemu dengan kepala kantor karena sedang berdinas di Jakarta, kami masih mendapat sambutan dari beberapa orang pustakawan. Sekitar 30 menit kami bercengkrama dengan mereka.

“Perpustakaan Palopo ini belum terlalu lama, baru berdiri pada tahun 2005, sudah 7 tahun. Perpustakaan ini sebelumnya adalah Perpustakaan Luwu, setelah Palopo menjadi daerah otonom dengan sendirinya perpustakaan Palopo berdiri sendiri, kemudian Perpustakaan Luwu pindah ke Belopa”, kata R. Ikhsan.

Sementara Nurnaningsih Handayani dan Irma Oktavia, dua pustakawan yang merupakan alumni ilmu Perpustakaan saling bergantian menyampaikan deskripsi kemajuan perpustakaan Palopo. Keduanya mengakui bahwa Perpustakaan Palopo masih butuh pengembangan, khususnya dalam koleksi bahan pustaka. Alasan ini memang benar, ruang bacanya belum terlalu luas dan koleksi bukunya masih sedikit. Tetapi mereka tetap rutin mengadakan program-program peningkatan minat baca di Kota Palopo.

Dalam mendengarkan penjelasan kedua pustakawan ini, kami di suguhi makanan tradisional. Dengan santai kami berdiskusi tentang nasib profesi pustakawan yang seringkali dipandang sebelah mata. Saat menanyakan hal itu, nampak kedua pustakawan itu tertawa, seakan menunjukkan pengakuan yang benar. Tetapi baginya -juga seperti bahasa yang kami dengar dari beberapa pustakawan di kabupaten sebelumnya- menjadi pustakawan merupakan tanggungjawab yang tidak mudah seperti di bayangkan banyak orang. Bagi mereka, meskipun memang pelayanannya belum memperlihatkan hasil secara langsung, tetapi keberadaan pustakawan sangat membantu bagi mereka yang membutuhkan bacaan.

Rasa optimis dari pustakawan menjadi modal yang baik untuk melangkah lebih baik. Hal ini pula yang terlihat dari pustakawan Palopo. Secara tidak langsung itu juga memberi motivasi bagi kami. Tak lama bercerita, kami pamit kepada seluruh pegawai perpustakaan. Dan tak lupa mereka menitipkan semangat melanjutkan perjalanan. Barangkali bukan sekedar perjalanan lewat kendaraan, tetapi perjalanan kepustakawanan.

Di atas kendaraan, saya sempat bergumam kepada Uca’. “Andaikan ada calon walikota atau bupati yang mau menjanjikan pemberdayaan perpustakaan sebagai program unggulan”. Begitu kataku sambil berharap. Kami berdua terdiam setelah melontar hal itu. Tetapi bayanganku tentang ucapan ini menjadi teman perjalanan menuju Luwu Utara, meninggalkan Kota Palopo yang masih hijau dan segar.

***
SOSIALISASI PERPUSTAKAAN

Luwu Utara merupakan daerah otonomi yang baru. Ibukota Luwu Utara yaitu Masamba. Sepanjang jalan, kami mengamati kabupaten ini sedang membangun berbagai infrastkruktur. Tepat di Jalan Jenderal Sudirman nomor 1, Masamba, Kantor Perpustakaan dan Arsip Daerah Kabupaten Luwu Utara berdiri. Gedungnya berada di belakang dan disamping gedung PKK Luwu Utara. Lokasinya memang belum permanen, sehingga untuk menemukan perpustakaan ini cukup sulit. Demikian pula ruang bacanya tidak terlalu luas dan rak-rak bukunya masih sedikit. Tetapi menurut salah seorang alumni JIP UIN Alauddin, yang juga merupakan pustakawan, Harmawati mengatakan bahwa akan di bangun perpustakaan yang baru.

“Kami mengapresiasi kunjungan adik-adik, ini adalah salah satu bagian bagaimana bergerak untuk kecerdasan bangsa. Itu tagline mungkin. Dan Kami juga menyampaikan tagline kami disini bahwa jadikan perpustakaan sebagai sahabat pintar anda. Hal yang seperti ini harus kita sampaikan kepada masyarakat bahwa perpustakaan itu adalah bagian yang tak terpisahkan dari proses pencarian sebuah ilmu. Tentu ketika kita mau belajar tentang bagaimana dunia ini” begitu sambutan resmi yang di sampaikan Jasrum Kepala KPAD Luwu Utara.

Sambil mendengarkan sambutan kepala kantor dan mengisi buku tamu, kami di bagikan pin berlogo Perpustakaan Nasional oleh pegawai-pegawainya. Demikian pula beberapa siswa yang sedang membaca, mereka mendapatkan pin itu secara cuma-cuma. Dan sepertinya memang setiap pengunjung akan mendapatkan yang sama. Hal itu kami anggap cukup kreatif untuk memotivasi para pengunjung. Ada yang memasangnya di tas, sementara saya memasangnya di baju, mungkin ini menandakan kita semua adalah duta baca untuk siapa saja, minimal untuk pribadi.

“Kami 18 orang disini. Dengan keterbatasan yang kami miliki, apa yang adik-adik butuhkan kami akan berikan sesuai apa yang kami miliki. Terus terang perpustakaan itu adalah ujung tombak pendidikan, tetapi banyak diantara kita yang tidak memahami bagaimana itu perpustakaan. Begitulah tantangan adik-adik nantinya dalam memberikan pemahaman kepada masyarakat yang ada di sekitar kita, bagaimana perpustakaan menjadi sahabat pintar. Kami akan mensosialisasikan tagline tersebut dalam bentuk spanduk-spanduk. Alhamdulillah, 2 bulan terakhir ini, pengunjung sudah hampir 1.300 orang”, kata Jasrum Kepala KPAD Luwu Utara yang baru sekitar 4 bulan terangkat.

Sosialisasi yang dilakukan oleh KPAD Luwu Utara memang sederhana. Tetapi inisiatif itu cukup efektif dalam mengenalkan masyarakat akan pentingnya membaca. Sebab, paradigma masyarakat terhadap perpustakaan dapat diubah dengan pendekatan persuasif. Melalui sosialisasi berupa pin, stiker, spanduk dan sebagainya, hal ini dapat membantu mendekatkan masyarakat dengan perpustakaan.

Sekiar sejam kami berada di perpustakaan Luwu Utara. Kami di temani 2 orang pustakawan yang sangat ramah dalam memberikan data-data yang kami butuhkan. Bahkan keduanya mengajak kami menikmati es kelapa muda di depan kantor perpustakaan. Tempatnya cukup rindang dan tepat berada di belakang patung seorang pejuang. Kemungkinan tempat ini merupakan alung-alung kota. Kami merasa dekat dengan keduanya karena mereka merupakan alumni perpustakaan. Harmawati adalah senior kami di JIP UIN Alauddin dan Sattariah merupakan alumni D3 Perpustakaan Unhas.

Sekitar pukul 15.00 WITA, kami berpamitan kepada seluruh pegawai Perpustakaan Luwu Utara. Sebelumnya kami mendapat pesan dari kepala KPAD Luwu Utara. Beliau mengharapkan agar apa yang menjadi tujuan dalam kegiatan ini tidak hanya sampai disini, tetapi terus dapat mengembangkan perpustakaan agar lebih maju.

***
SIMPATI KEPALA KANTOR PERPUSTAKAAN

Menyusuri jalan menuju Luwu Timur dengan terik matahari yang membakar kulit, kami mendapati bahwa perjalanan menuju kota Malili cukup panjang. Terasa lelah duduk berjam-jam diatas motor. Punggung saya terasa sangat kaku dan pantat mulai terasa membeku. Namun saya tidak sendirian merasakan, hampir semuanya merasa kelelahan. Hal itu nampak sekali dari wajah yang begitu kusam dan mata yang berwarna hitam seperti panda.

Walau demikian, kami sudah memutuskan akan beristirahat di rumah Sani, seorang adik junior dari jurusan BSI yang juga merupakan anggota Komunitas Seni Adab dan Kader HMI. Beberapa kali kami singgah bertanya letak desanya. “Masih Jauh dek”. Yah begitulah jawaban yang kami terima dalam kondisi lelah.

Hanya rasa lelah itu terbayar ketika kami tiba di rumah Sani. Hidangan minuman dingin seketika membasahi tenggorakan kami. Di tambah suguhan buah durian yang besar dan lezat, seakan memberikan suasana hati menjadi lebih bersemangat kembali. Setelah sekitar sejam kami berada di rumah Sani beristirahat, kami pun memutuskan untuk kembali melakukan perjalanan ke kota Malili yang masih jauh.

Kami tiba di Kota Malili sekitar pukul 20.00 WITA. Pencarian perpustakaan cukup menyita waktu. Berhubung karena tidak ada teman yang dapat kami hubungi di kota ini, maka kawan-kawan yang lain memutuskan untuk mencari tempat untuk menginap. Wawan dan Saddang bahkan singgah di kantor BASARNAS meminta izin untuk menginap, namun tidak bisa karena tidak mampu menampung jumlah kami. Setelah itu, kami memutuskan untuk kembali mencari perpustakaan umum, yang ternyata berada di Jalan Soekarno Hatta, kompleks SKPD atau kantor-kantor pemerintahan. Lokasinya cukup jauh dari pusat keramaian di Kota Malili, apalagi kompleks pemerintah tersebut masih baru, seumur dengan kabupaten Malili yang mulai berdiri pada tahun 2004.

Saat kami sampai di Kantor Perpustakaan dan Arsip Daerah Kabupaten Luwu Timur, kami mendapati seorang pustakawan yang juga sering menjaga dan menginap di Perpustakaan itu. Setelah kami menyampaikan bahwa kami ingin menginap di perpustakaan, ia segera menghubungi kepala KPAD Luwu Utara, A. Suheriah. Beruntung, Ibu Kepala KPAD Luwu Utara mengizinkan kami menginap di perpustakaannya. Kami kemudian di bawakan karpet tipis oleh pustakawan yang sedang menjaga malam itu. Kami lupa namanya, tetapi sepertinya dia orang jawa, terdengar dari logat dan intonasinya. Bahkan ia menyempatkan diri untuk memasak nasi dan mie untuk kami di dapur perpustakaan.

Kami cukup nyaman dengan pelayanan pustakawan itu. Meski tempat kami tidur hanya berlapiskan tikar tipis, kami sudah merasa sangat beruntung, apalagi sebenarnya gedung perpustakaan tersebut masih cukup baru. Belum lagi keramahan yang di berikan kepada kami, bahkan mempersilahkan untuk memanfaatkan ruang baca untuk membaca dan komputer yang di lengkapi jaringan internet. Segera saja, Suriadi, Saddang, dan Sule memilih memanfaatkan fasilitas internet. Hingga larut malam, mereka masih tampak asyik dengan media sosialnya.

Keesokan harinya, sekitar pukul 5.30 pagi, kami sudah bergantian mandi dan berpakaian, sebab setiap harinya pegawai akan masuk pukul 07.00 pagi. Sambil menunggu kepala KPAD Luwu Timur dan pustakawan-pustakawan, kami memutuskan untuk berjalan-jalan di depan halaman perpustakaan yang sangat luas dan di penuhi bunga-bunga dan pohon pinus. Di depannya juga terdapat dua gazebo yang menjadi tempat kami berkumpul.

Sekitar pukul 08.00 WITA kami menemui kepala KPAD Luwu Timur di ruang kerjanya. Setelah kami menjelaskan tujuan kunjungan kami, ia kemudian mempersiapkan data-data yang kami butuhkan. Seorang pegawai bernama Ibnu, segera melaksanakan perintah dari Kepala KPAD Luwu Timur.

Hampir dua jam lamanya kami menunggu data-data yang kami minta kepada mereka. Kawan-kawan lain sudah terlihat bosan menunggu. Tepat pada pukul 10.20 pagi kami baru memulai berdiskusi dengan kepala KPAD Luwu Timur dan beberapa pustakawan, setelah mereka menjilid data-data yang mereka susun selama 2 jam. Kami tidak menyangka bahwa mereka mengumpulkan semua data yang kami minta dengan rapi. Jilidan yang di berikan, juga menunjukkan pelayanan yang diberikan kami sangat maksimal.

Ibnu, pustakawan Luwu Timur dengan sangat antusias menjelaskan kondisi perpustakaan dan beragam fasilitas pendukung layanan perpustakaan. Bahkan ia menunjukkan OPAC yang di gunakan Luwu Timur. Sementara pustakawan lainnya, Marlina, juga ikut menunjukkan koleksi-koleksi yang dimiliki perpustakaan Luwu Timur.

Sepanjang kami berada di perpustakaan itu, para pustakawan sangat antusias melayani kami, hingga saat kami mengajak mereka untuk foto bersama. Yang paling mengesankan bagi kami, ketika Kepala KPAD Luwu Timur memberikan amplop kepada kami. Walau demikian, mulanya kami tidak pernah memikirkan hal itu. Tetapi amplop yang berisi uang itu sangat membantu perjalanan kami selanjutnya.

Lucunya, di sepanjang jalan, kami menebak-nebak jumlah uang yang ada di amplop tersebut. Suriadi menebak Rp. 100.000, Ridwan memperkirakan Rp. 200.000, sementara yang lainnya tidak memastikan perkiraanya tetapi sangat penasaran mengetahui jumlahnya. Wawan yang kebetulan mengantongi, memperkirakan jumlahnya Rp. 200.000, demikian juga saya. Setelah beberapa saat memperkirakan, tiba saatnya membuka amplop tersebut. Akhirnya kami semua mengetahui jumlah uang yang diberikan Kepala KPAD Luwu Timur. Jumlahnya ternyata Rp. 500.000. Jumlah yang melebihi isi kantong kami masing-masing. Suntikan dana itu juga menjadi semacam suntikan semangat melanjutkan perjalanan yang masih panjang. Maklum di hari ke 5 perjalanan kami, keuangan kami mulai menipis.

Setelah melakukan kunjungan di Perpustakaan Luwu Timur, kami tidak langsung menuju ke Perpustakaan Luwu Raya. Terutama bahwa jarak menuju Luwu Raya sepertinya tidak memungkin untuk mendapati perpustakaan Luwu Raya itu masih buka. Mengingat Jam Handphone saya telah menunjukkan pukul 13.00 WITA. Kami juga mendapat ajakan dari Fadli (mahasiswa BSI dan kader HMI) untuk singgah di rumahnya di Masamba, Luwu Utara. Fadli yang saat itu sedang di perjalanan menuju ke rumahnya dari Makassar, sudah berada di kota Palopo saat kami masih berada di Luwu Timur.

Sejam setelah Fadli sampai di rumahnya, kami pun tiba di rumahnya sekitar pukul 14.30 WITA. Hanya beberapa menit, buah durian yang telah di kupas menjadi hidangan pembuka dari Fadli dan kedua orang tuanya. Kami kemudian di izinkan untuk menginap dan orang tua Fadli menyarankan kepada kami untuk melanjutkan perjalanan keesokan harinya.

***
RUANG DISKUSI UNTUK PEMUSTAKA

Pagi hari sekitar pukul 10.00 WITA, kami berpamitan dengan Fadli dan orangtuanya. Kami tiba di Kantor Perpustakaan Umum dan Arsip Daerah Luwu yang berada di Jalan Jenderal Sudirman nomor 1 (berada di kompleks perkantoran pemda Luwu), sekira pukul 11.30 WITA.

Gedung Perpustakaan Umum dan Arsip Daerah Luwu yang berlantai 6 ini memiliki koleksi yang berjumlah 24.050 eksmplar dari 7.959 judul. Perpustakaan ini berdiri sejak tahun 1998 dan memiliki pegawai yang bekerja sebanyak 49 orang.

Saat kami berkunjung di perpustakaan Luwu, kami tidak bertemu dengan Kepala KPAD Luwu, Hj. Halijah Baso, S.Sos., M,Si. Walaupun demikian para pustakawan menerima kami dengan baik, terutama data-data yang di berikan. Saya selalu merasa senang dengan pelayanan pustakawan yang ramah. Demikian kawan-kawan lainnya, seakan kunjungan-kunjungan kami tanpa hambatan.

Di lantai 2, seorang pemustaka yang sedang membaca, tiba-tiba saja mengajak saya untuk berdiskusi. Barangkali mengetahui kami adalah mahasiswa, ia lantas memanggil saya. Mungkin juga karena baju PDH yang saya kenakan melambangkan identitasku. Awal perbincangan, pemustaka itu mengeluarkan kalimat-kalimat yang agak risih dengan identitas mahasiswa yang diasumsikannya kadang sombong. Entah apa yang ada di benaknya, saya merasa pemustaka ini sedang punya masalah atau semacam pengalaman dengan mahasiswa. Saat bersamaan saya juga mengamati dirinya. Saya berasumsi bahwa ia juga sepertinya seorang mahasiswa atau juga alumni sebuah kampus di sekitar Palopo. Tebakanku tidak berarti, sebab pemustaka menutup identitasnya.

“Baca buku filsafat, berat juga bacaannya”, begitu tanggapan awal saya terhadapnya setelah memberi pengantar pertemuan kami yang saya nilai pembukaan yang cukup memancing emosi, setidak-tidaknya ingin menepis paradigmanya itu yang seolah-olah menyudutkan kedatangan kami sebagai mahasiswa. Tetapi saya mengikuti arusnya, sembari menunggu maksud jelas yang ingin di sampaikan.

Tebakan saya mulai tepat. Sepertinya memang pemustaka itu adalah seorang mahasiswa. Tetapi hingga berakhirnya pertemuan kami, ia tidak membeberkan identitasnya. Walau demikian, dia sempat menuturkan sebuah gerakan/aksi mahasiswa di STAIN Palopo. Tetapi pada akhirnya, ia seakan melunak setelah beberapa diskusi yang saya narasikan. Saat itu juga, saya menepis stigmanya terhadap rombongan kami.

Selama berada di Perpustakaan Luwu, saya hanya sampai di lantai 2, bahkan tertahan dengan pemustaka yang mengajak berdiskusi. Tetapi saya mensyukuri kesempatan itu, sebab sebenarnya saya juga merasa beruntung` menjadi teman diskusi seorang pemustaka yang setia duduk berlama-lama dan sendiri di ruang baca. Katanya, Ia selalu menjadi pengunjung yang kesepian, sebab hanya buku yang menjadi ‘teman’ berdiskusinya sepanjang berada di ruang baca itu. Memang benar, saat kami berdiskusi, tak satupun pengunjung yang lain yang berada ditempat ini. Yang terlihat hanya siswa-siswa SMA yang turun dari lantai 3, yang kemungkinan telah mengerjakan tugas sekolah dan menikmati fasilitas wifi.

Memfasilitasi ruang diskusi bagi pemustaka memang perlu agar budaya diskusi dapat berkembang di perpustakaan. Selama ini perpustakaan melekat dengan ruang yang sunyi, sehingga untuk bercengkrama harus dibatasi. Sebab itu penting menyediakan ruang diskusi di perpustakaan. Ini memberi kesempatan bagi pembaca untuk mendiskusikan hasil bacaannya. Di samping menjadikan perpustakaan menjadi tempat yang nyaman dan tidak kaku.

Perbincanganku berhenti beberapa saat ketika Wawan dan Uca’ turun dari lantai 3, yang berarti dia telah berbincang dengan seorang pustakawan tentang perkembangan perpustakaan Luwu. Sementara di balik rak buku, Agus dan Suriadi sedang membuka buku dan tentu saja itu dalam momen berfoto. Dalam hal ini, membaca sekilas di sela-sela kunjungan setidaknya membiasakan mereka untuk mencintai buku. Dan tentu yang paling utama bahwa mereka masih serius mengamati klasifikasi dan desain ruangan baca beserta koleksi-koleksinya. Sekali-dua kali mereka juga bergantian bertanya tentang pengelolaan dan pelayanan perpustakaan. Seperti Sule dan Ridwan, terkadang ia menyibukkan pustakawan mencari data-data pengunjung karena pertanyaannya. Lalu Chua, Saddang, dan Botak sedang menjelajahi gedung perpustakaan. Terakhir, mereka menyempatkan diri masuk keruang baca anak-anak yang cukup ramai oleh anak-anak bersama ibunya.

Sebelum meninggalkan perpustakaan Luwu, setelah kami berfoto bersama dengan para pustakawan, kami sejenak beristirahat didepan perpustakaan yang sejuk dengan berbagai pohon hias. Dari situ, banner berlatar foto Andy Noya dengan tulisan “Buku langkah pertamaku menggapai cita-cita” terpampang di depan pintu masuk. Cukup menarik melihat banner itu, meski terbayang oleh pertanyaan berapa banyak orang yang membaca dan kemudian menginspirasinya. “Ah, sudahlah, tetap optimis”, begitu gumamku sambil menghayal.

***
SIAPA KEPALA PERPUSTAKAAN ?

Hari ini tanggal 22 Februari 2013, hari ketujuh kami bersafari. Pagi itu, di bale-bale rumah Satma –seangkatan dengan Wawan, Suriadi, Chua, Saddang dan Ridwan- saya merasakan suasana desa yang cukup terjaga lingkunganya. Ini juga membuktikan bahwa, di usia 14 tahun jurusan Ilmu Perpustakaan UIN Alauddin Makassar, sudah banyak mahasiswanya yang berasal dari berbagai daerah kabupaten di Sulawesi Selatan, bahkan di pelosok sekalipun. Di sekitarnya, masih sangat nampak rumah-rumah panggung (tradisional) dengan halaman luas di depan rumahnya. Yang lazim, di pangung-panggung rumah mereka, berlangsung interaksi dan aktivitas bersama sanak famili.

Dari Atapange desa Rumpia kecamatan Majualeng ini, jarak ke kota Sengkang 27 km. Waktu yang kami tempuh menuju ke Kota Sengkang sekitar 40 menit. Pukul 10.25 kami sudah berada di Kantor Perpustakaan dan Arsip Daerah Kabupaten Wajo, ditemui oleh salah seorang pustakawan bernama Abdul Hamid. Ia adalah alumni D3 Perpustakaan UNHAS yang bekerja ditempat tersebut. Selama berada di Perpustakaan Wajo, Abdul Hamid begitu setia menemani kami berdiskusi dan menunjukkan keadaan perpustakaan.

Ruang baca Perpustakaan Wajo terpisah dengan KPAD Wajo, namun masih satu area di dalam kompleks kantor bupati. Saat kami mengunjungi ruang baca tersebut, tak satupun pemustaka yang kami dapati. Ketika melihat daftar pengunjung, selain siswa-siswa yang tercatat, ruang baca ini juga sering dimanfaatkan oleh satpam yang berada didalam kompleks pemerintahan ini.

Ukuran ruang baca KPAD Wajo tidak terlalu besar, didalamnya hanya terdapat 2 meja baca dan setikar karpet tebal. Cukup padat melihat ruang baca ini, jarak antara rak yang satu dengan rak yang lain cukup sempit. Meski terlihat minimalis, tetapi ruang baca ini nampak rapi dan bersih. Beberapa poster yang tertempel di dinding ikut meramaikan ruangan, ada foto bangunan kuno, Soekarno, Bupati Wajo dan tokoh-tokoh nasional lainnya.

Di dalam ruang baca ini, Sitti Besse, pegawai KPAD Wajo sekali-kali menunjukkan fasilitas yang dimiliki perpustakaan. Sementara Abd Hamid, juga ikut menjelaskan kondisi perpustakaan, yang mungkin menurutnya kurang stategis. Harapan darinya agar pemerintah memperhatikan perpustakaan.

Letak perpustakaan merupakan salah satu faktor yang perlu di pikirkan oleh para pemegang kebijakan. Terutama bahwa perpustakaan harus dirasakan kehadirannya dan dekat dengan masyarakat. Sangat wajar kiranya jika letak perpustakaan yang berada di lingkup kompleks pemerintahan hanya akan di datangi oleh orang-orang tertentu. Sewaktu kami menanyakan lokasi perpustakaan Wajo ke beberapa masyarakat, bisa ditebak mereka kurang mengetahui. Asumsi lain bahwa masyarakat cenderung segan dan kaku untuk keperpustakaan yang berada di kompleks kantor pemerintahan. Disamping masih banyak alasan masyarakat tentang mengapa mereka tidak memanfaatkan fungsi perpustakaan.

Kadang kita bertanya mengapa perpustakaan berada di kompleks SKPD. Bukankah keberadaannya akan terkesan kurang luwes. Masyarakat mungkin canggung untuk masuk kesana. Juga sebabnya karena perpustakaan memang masih menjadi lembaga struktural (SKPD) yang geraknya didominasi pejabat struktural ketimbang fungsional. Padahal perpustakaan seharusnya menjadi lembaga kebudayaan yang secara fungsional dikelola oleh komunitas pustakawan. Seperti halnya sekolah, rumah sakit, dan kampus yang merupakan lembaga pejabat fungsional. Olehnya amanah UU 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan pada pasal 30 belum mampu diwujudkan sesuai redaksinya; “Perpustakaan Nasional, perpustakaan umum pemerintah, perpustakaan umum provinsi, perpustakaan umum kabupaten/kota, dan perpustakaan perguruan tinggi dipimpin oleh pustakawan atau tenaga ahli dalam bidang perpustakaan”.

Jika dicermati, perpustakaan umum kabupaten/kota selama ini belum dipimpin oleh pustakawan. Karena statusnya masih bernama kantor/badan yang mengurusi bidang perpustakaan, arsip dan dokumentasi sebagai satuan perangkat kerja daerah (SKPD). Karena kantor/badan lekat dengan aktivitas jabatan struktural maka yang mengepalai tentu pejabat struktural. Sementara untuk istilah perpustakaan umum kabupaten/kota seharusnya statusnya sebagai lembaga fungsional. Dilemanya karena perpustakaan umum kabupaten/kota tidak memiliki kepala perpustakaan, yang ada justru dipimpin oleh kepala bidang/seksi perpustakaan. Di sini kepala seksi/bidang perpustakaan tidaklah sama dengan kepala perpustakaan, yang satu memang mengurus bidang perpustakaan secara struktural dan satunya lagi mengurus perpustakaan umum sebagai kegiatan di lingkungan fungsional. Barangkali ada benarnya yang menganggap di kantor/badan perpustakaan hanya ada hanyalah ruang baca atau katakan saja perpustakaan umum tanpa kepala perpustakaan. Meskipun ia ruang baca semestinya dipimpin oleh tenaga yang ahli dibidang tersebut.

Kunjungan yang singkat tersebut, kami akhiri setelah adzan shalat jumat sudah berkumandang. Dua pengelola perpustakaan yang menjamu kami, mengembang senyumnya untuk mengakhiri pertemuan itu. Kami meyakini bahwa setiap pertemuan yang diakhiri dengan senyum menyiratkan harapan di pundak kami dan penerimaan pada pertemuan di masa mendatang.

***

Lepas shalat jumat sekira pukul 13.30, di bawah pohon besar depan kantor Bupati Wajo kami memikirkan tujuan selanjutnya. Jarak ke Kota Soppeng cukup jauh, di tambah bahwa kami memprediksi tidak tiba di perpustakaan Soppeng sebelum layanannya tutup. Belum lagi kelelahan yang membekap kami seakan-akan menahan waktu perjalanan. Akhirnya kami memutuskan beristirahat depan pagar halaman kantor Bupati Wajo. Sembari beristirahat sejenak dibawah pohon-pohon teduh dengan beralaskan koran. Walau dikemudian hari saya menyadari perilaku yang menelantarkan koran-koran, sekalipun itu koran bekas, sangat kurang bijak untuk seorang calon pustakawan. Ini mungkin sepele bagi banyak orang, mungkin juga kaum intelektual dan pustakawan.

Saya mengingat, dulu ketika masih duduk di bangku SMA saya sangat rajin mengoleksi majalah Bola. Setiap minggu selepas pulang sekolah, saya selalu mencari Koran Bola di Kota Enrekang. Meski uang jajan kadang tertahan, tetapi saya merasa ‘kenyang’ dengan berita-berita sepakbola, yang halaman-halamanya tak satupun yang saya lewatkan. Bahkan hingga lanjut kuliah di Makassar, saya masih sempat mengklippping beberapa momen-momen besar dalam sepakbola pada saat itu. Namun koran dan majalah yang saya koleksi dalam 3 dos ukuran sedang, habis menjadi pembungkus kue dan kacang.

Peristiwa itu cukup membantu saya untuk lebih menghargai karya manusia dalam bentuk apapun. Sayapun mengakui kesalahan saya pada kejadian-kejadian seperti itu.

Sebenarnya oplah dan eksmplar koran yang tersebar dalam dewasa ini sangat besar, sehingga menemukan arsipnya cukup mudah. Apalagi dalam kemajuan teknologi informasi sekarang ini, Koran cetak sudah dialihmediakan kedalam bentuk koran elektronik (e-paper). Walau tidak mudah bagi masyarakat kecil dan di pelosok desa untuk memiliki perangkat teknologi yang dapat mengakses e-paper. Jangankan e-paper, koran cetak pun tak sanggup di langgang atau sampai di lingkungan sekitar mereka. Itulah mengapa orang-orang desa yang pergi dan pulangnya dari bekerja, hanya di temani oleh media baru bernama televisi dengan beraneka acara yang sensasional.

***
PERPUSTAKAAN DAN ISLAM

Hingga menjelang matahari mulai tenggelam, kami masih berada di depan kantor Bupati Wajo. Saat yang sama kami memtuskan untuk berangkat ke Sidrap, sebab kami belum mengunjungi KPAD Sidrap. Pilihan ini masuk akal, karena rute yang akan tempuh selanjutnya tidak akan lagi kembali melewati daerah Ajattapareng tetapi rute Bosowa –sebutan untuk daerah Bone, Soppeng, Wajo dan Sinjai.

Sebenarnya kami mencari kawan atau kenalan yang bisa kami tumpangi untuk menginap di Sengkang dan Soppeng, mengingat jarak ke Soppeng lebih dekat daripada Sidrap. Sempat seorang teman yang saya hubungi bernama Dahniar mengajak kami untuk singgah. Tetapi sesampai dirumahnya, kami urung meminta izin. Kami khawatir merepotkan mereka. Setelah menikmati hidangan -yang benar-benar mengisi perut kami yang tadinya kosong-, kami pun pamit kepada Dahniar dan keluarganya,.

Saat saya berada di atas motor menuju Sidrap, saya menerima SMS dari Sihabuddin Syah mahasiswa Ilmu Perpustakaan yang sedang be-KKN di Sidrap. Ia mengajak kami untuk menginap di sana. Hanya saja karena kawan-kawan tidak ingin merepotkan mereka. Maka untuk yang pertama kalinya, kami menginap di mesjid di kota Pangkajene. Beruntungnya, setelah meminta izin kepada petugas mesjid, ia kemudian mengizinkan kami bermalam di mesjid yang berlantai 2 itu.

Kami sangat terkesan dengan kebaikan petugas mesjid itu, apalagi sebelum melanjutkan safari, ia menyempatkan diri menyuguhkan teh panas dan kue alakadarnya. Kami sungguh merasa akrab dengannya. Saya membayangkan orang-orang seperti ini sangat tenang hidupnya. Sambil menunggu antrian kawan-kawan yang mandi di WC mesjid, saya bercengkrama dengan penjaga mesjid itu.

Saya membayangkan, andai setiap mesjid memiliki perpustakaan atau ruang baca. Mesjid akan menjadi tempat belajar yang tenang bagi para jamaah yang ingin memperdalam ilmu agama. Namun tidak semua pengurus mesjid punya kesadaran menciptakan mesjid sebagai ruang belajar. Sebagian mungkin sudah tertanam bahwa mesjid sebagai tempat beribadah semata. Padahal dalam sejarah peradaban Islam, perpustakaan mesjid sangat berkonstribusi bagi kemajuan umat islam dalam ilmu pengetahuan, akan tetapi semangat itu sepertinya surut.

Seiring berpindahnya kompleks kantor pemerintahan (SKPD) kabupaten Sidrap ke pinggiran kota Pangkajene, maka Kantor Perpustakaan dan Arsip Daerah Kabupaten Sidrap juga turut pindah. Gedung-gedung kantor SKPD yang berada di kompleks tersebut masih sangat baru. Karena baru, maka mungkin belum banyak masyarakat yang mengetahui kemana pindahnya KPAD Sidrap. Akan tetapi, seperti asumsi biasanya soal perpindahan, perpustakaan bagi masyarakat tidak seperti pindahnya rumah sakit atau layanan lainnya. Kalau rumah sakit, mau tidak mau masyarakat akan mencarinya karena mereka membutuhkan. Nah, bagaimana dengan perpustakaan, apakah sudah menjadi kebutuhan mendesak masyarakat ? Yah, sebuah pertanyaan yang harus dijawab dengan kerja keras perpustakaan (pustakawan) dan sinergi semua unsur pendukungnya.

Ruang baca di KPAD Sidrap seukuran kelas, di dalamnya berjejer rak yang masih memiliki sedikit koleksi ketimbang perpustakaan-perpustakaan daerah sebelumnya yang kami kunjungi. Apalagi saat kami berada disana pelayanan pemustaka belum terlalu aktif semenjak kepindahannya. Yang kami temui pada hari itu, hanyalah kepala Tata Usaha KPAD Sidrap yang juga cukup mengerti tentang kondisi perpustakaan Sidrap.

Ia hanya menggambarkan kondisi perpustakaan KPAD Sidrap yang masih dalam masa transisi, selebihnya menyampaikan harapan-harapannya terhadap pemanfaatan perpustakaan. Dalam penjelasannya, ia menceritakan bagaimana umat islam di masa klasik dapat maju dalam ilmu pengetahuan, salah satunya karena keberadaan perpustakaan. Pengetahuannya tentang sejarah perpustakaan di masa klasik islam cukup baik, sebab katanya ketika mahasiswa ia pernah aktif dalam lembaga kemahasiswaan Islam. Begitu ia selesai berbicara tentang pentingnya sebuah perpustakaan, kami lekas berpamitan.

***
GAIRAH LAYANAN PERPUSTAKAAN

Suasana kota Soppeng cukup unik, di sepanjang pohon besar yang menjadi payung kesejukan kota, terdapat banyak kelelawar menggantungkan pada siang hari. Kota Soppeng memang terkenal dengan hewan yang satu ini. Selain itu, dulu di kabupaten ini terdapat perusahaan rokok tradisional yang menjadi ikon. Namun kejayaannya luntur semenjak muncul perusahaan rokok modern, terutama yang berasal dari Jawa. Hingga perlahan-lahan menggusur pangsa pasar rokok tradisional.

Sekitar jam 12.30 kami tiba di KPAD Soppeng, saat pegawai di KPAD Soppeng sedang beristirahat. Dalam suasana yang gerah, kami di sambut oleh para pustakawan yang berkumpul di salah satu meja baca perpustakaan. Di sini, kami berkenalan dengan seorang mahasiswa perpustakaan yang berasal di STISIPOL Petta Baringeng. Namanya Ahmad. Melalui Ahmad, kami menitipkan surat undangan kepada mahasiswa perpustakaan STISIPOL Petta Baringen untuk menghadiri kegiatan Temu Mahasiswa Perpustakaan dan Informasi Indonesia Timur yang akan diadakan pada bulan depannya oleh HIMAJIP. Kami juga secara langsung bertemu dengan dosen mereka di kampus STISIPOL Petta Baringen.

Di kesempatan itu, kami berdiskusi dengan salah satu pustakawan yang juga mengajar di kampus tersebut. Dalam keprihatinannya pada dunia perpustakaan, pustakawan tersebut menyampaikan masukan-masukan kepada kami selaku mahasiswa perpustakaan. Tidak banyak hal yang dapat kami peroleh dari kunjungan tersebut, sebab sepertinya para pegawai yang kami temui kurang siap dalam melayani kami. Tetapi melihat tata ruang dan desain gedung perpustakaan, kami cukup maklum dengan hal itu.

Kurangnya gairah yang ditunjukkan perpustakaan dalam pelayanan merupakan suatu persoalan yang tidak boleh dibiarkan. Bukan hanya dari fasilitas dan sarananya yang harus didesain menarik, tetapi juga yang utama ialah pustakawan dan pengelola perpustakaan. Ketertarikan masyarakat untuk memanfaatkan perpustakaan sangat ditentukan dari pengelola dan sistem pengelolaannya (termasuk fasilitas).

Saat hendak berpamitan, tak terduga saya mendapati tulisan (opini) saya di muat di Koran Tribun Timur. Tulisan itu menjadi kejutan yang menyenangkan hari itu. Membangkitkan gairah dan semangat bagi saya melanjutkan perjalanan. Saya kemudian meminta Suriadi untuk mendokumentasikannya.

Saat kami akan melanjutkan perjalanan, tiba-tiba seorang teman, Chua, mendapat telepon dari orang tuannya. Ia diminta pulang ke Sinjai, karena ibunya sedang sakit. Di saat yang sama, ternyata kawan yang lain, Sule, mengalami dehidrasi dan wajahnya kelihatan pucat. Karena mengingat kondisi keduanya, kami meminta agar Chua sebaiknya segera ke Sinjai untuk menjenguk orang tuanya dan Sule ikut dengannya sembari beristirahat dirumah Chua. Selanjutnya, kami mengambil jalan yang berbeda dari Chua dan Sule setelah melewati Pasar Cabenge Soppeng. Chua dan Sule menempuh jalur kekanan menuju Sinjai, dan bersama kawan lainnya menuju ke kabupaten Bone.

***

Di Bone, kami menumpang dirumah sepupu Saddang selama sehari. Disana kami berkesempatan mencuci pakaian yang sudah seminggu lamanya belum dibersihkan. Hari libur itu kami isi dengan istirahat penuh. Sorenya, kami diajak oleh sepupu Saddang melihat pertunjukkan free style komunitas motor dan latihan pebalap di terminal Bone.

Menjelang maghrib, kami kemudian menuju kerumah Sidik (seorang mahasiswa perpustakaan asal Bone) untuk menginap. Di sana, kami diajak ke taman bunga yang menjadi alun-alun kota Bone. Tampak patung Arung Palakka berdiri gagah, mengingatkan kita narasi Kejaraan Bone dimasa lampau. Tidak jauh dari Taman Bunga, disana berdiri Perpustakaan Umum Kabupaten Bone.

Esoknya, perpustakaan yang masih menempati bangunan bersejarah ini, sudah didatangi beberapa pemustaka saat kami berkunjung. Pustakawan yang sedang beraktivitas, lalu menyambut dengan baik dan menanyakan tujuan kegiatan kami. Salah seorang pustakawan kemudian mengarahkan kami menuju sudut baca, lantas menyampaikan kondisi perpustakaan Bone. Dalam pemaparannya, ia secara terbuka ingin berbagi pengetahuan dengan kami. Terutama karena, di perpustakaan Bone, masih sangat minim tenaga pustakawan yang berasal dari alumni JIP. Demikian yang disampaikannya, bahkan menurutnya justru kami yang lebih tahu daripada mereka. Kami menepisnya dengan mengatakan bahwa kami masih belajar dan menggali pengalaman darinya.

Bone merupakan daerah yang memiliki sejarah panjang di masa lampau dengan kerajaannya. Nuansa peninggalannya, masih bisa di temukan dalam berbagai referensi. Hanya saja banyak referensi tentang daerah-daerah di Sulawesi Selatan yang terbit namun belum terkoleksi. Perihal ini sebenarnya bukan hanya belaku untuk Bone, tetapi semua perpustakaan kabupaten, yang memang bertanggungjawab dalam pelestarian hasil kebudayaan setempat.

Seringkali letak perpustakaan yang strategis, tidak serta merta banyak dikunjungi oleh masyarakat sekitar. Hal ini dimungkinkan bahwa ketika perpustakaan daerah tidak aktif menarik simpati maka kunjungan masyarakat pun kurang.  (irs)

Bersambung… (unduh pdf.nya disini perjalanan-mencari-jiwa-kepustakawanan) atau nonton videonya di sini

 

dsc03021

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *