Nating is Something. Adalah kalimat yang menghiasi kardus-kardus berbungkus plastik merah, juga menjadi tema perjalanan. Kardus berisi buku, perlengkapan sekolah dan berbagai peralatan yang akan dibawa ke Dusun Nating, Desa Sawitto, Kecamatan Bungin, Kabupaten Enrekang. Nating berada di ketinggian 1.400 mdpl dan merupakan dusun terujung yang berbatasan dengan kabupaten Luwu.
Sabtu siang (22/10/2016), cuaca yang mendung dan gerimis menyertai perjalanan kami. Menuju Bungin, terdapat jalan yang putus karena longsor. Melewatinya, mesti mengambil jalan alternatif yang berlumpur, ditambah melintasi aliran air yang cukup deras. Itu tantangan awal dalam perjalanan yang kami lewati. Jarak Nating dari ibukota kecamatan Bungin sekitar 8 kilometer. Saat memasuki wilayah Sawitto, jalannya curam, terjal dan licin, sehingga harus dilewati dengan sangat berhati-hati. Mendekati dusun Nating, jalannya sudah dibeton walaupun masih sempit, sementara disamping kirinya jurang sangat dalam. Saya khawatir membayangkan, kalau sedikit saja tergelincir dari jalan itu.
Pukul 19.00 WITA, kami tiba di Nating, di rumah seorang tokoh masyarakat bernama Pak Kamaruddin. Setibanya di sana, kawan-kawan Galeri Macca segera menyampaikan kepada warga bahwa akan ada pemutaran film di sullung bola (kolong rumah) warga. Galeri Macca sengaja mempersiapkan genset, karena di dusun ini listrik dari PLTMH dayanya terbatas. Proyektor , layar (spanduk) dan speaker juga dibawa dari kota Enrekang.
Meski hujan menyelimuti malam, warga antusias datang menonton. Mereka datang berselimut sarung, tanda malam di Nating begitu dingin. Tak ada kursi yang tersedia seperti di bioskop, tetapi bapak-bapak dan ibu-ibu beserta anaknya setia berdiri hingga film usai. Suasana kekeluargaan dan kesederhanaan begitu tampak. Malam itu film Uang Panai menjadi tontonan yang menghibur warga.
Sebelumnya, warga juga diputarkan video proses pembuatan kopi dan informasi tentang kopi di Indonesia. Melalui Muh. Yusran Nur atau yang akrab dipanggil Dadang, Macca Café menunjukkan foto-foto cafe yang dikelolanya, lalu menjelaskan kepada warga setempat tentang suasana dan animo penikmat kopi di kota Enrekang.
Dadang mengajak warga untuk belajar proses pengolahan kopi agar menghasilkan kopi yang bercitarasa. Baginya, kopi Nating rasanya enak, dan kalau dikelola dengan baik pasti akan tambah nikmat. Pohon Kopi Nating sendiri berjenis Arabika Tipika. “Kopi Benteng Alla hampir sama rasanya dengan Kopi Nating, malah saya bilang ada spesialnya Kopi Nating ini. Kami datang ke Nating karena kopinya”.
Kopi jenis Arabika Tipika digolongkan sebagai salah satu kopi terbaik. Selama ini kopi Kalosi (Enrekang) Arabika Tipika dibawah bayang-bayang identitas Toraja. Sementara penghasil kopi (Kalosi) yang berasal dari Nating, Bone-Bone, Benteng Alla, Masalle dan daerah lainnya di Enrekang kurang dikenal. Hingga di luar negeri identitas kopi dari Sulawesi Selatan yang dikenal adalah kopi Toraja. Hal itu yang mendasari Dadang memotivasi warga Nating untuk serius belajar, mulai dari cara memupuk, memetik, menggiling, dan menyangrai kopi Nating. “Jadi, ayo sama-sama kita angkat daerah kita (Enrekang) melalui kopi, terutama kopi Nating yang luar biasa”.
Naim turut mengajak warga Nating untuk memproduksi kopi Nating dalam bungkusan. “Kalau misalnya kedepan mau punya brand, bapak-ibu bisa sangrai dan bungkus sendiri, kemudian dibawakan ke Macca Café. Nantinya kopi Nating dijadikan khusus di Macca Café, supaya bisa dinikmati dan bisa lebih terkenal”.
Hujan kembali berlanjut, dingin semakin menusuk kulit. Sekira pukul 01.00 WITA, seorang kawan tiba di halaman rumah Pak Kama dengan suara knalpot menggelegar. Sebagian orang terbangun dari tidurnya. Barangkali penghuni kampung lainnya ikut terbangun. Seorang lalu membukakan pintu rumah Pak Taufik. Saya tak menyangka ia nekat berkendara sendiri sampai ke Nating. Maklum, ia belum pernah ke Nating sebelumnya dan malam itu ia menjajal medan terjal dan berjurang. Malam semakin larut, sajian kopi terus berlanjut. Cerita Pak Taufik dalam perjalanan tadi dan cerita-cerita lainnya akhirnya menunda tidur kami.
Keesokan harinya, Dadang bersama kawan-kawan melangsungkan demo pengolahan kopi dengan menggunakan alat pembuat kopi yang dibawanya. Kopi Nating yang telah sangria oleh warga adalah bahannya. Warga secara langsung melihat proses penghalusan biji kopi hingga penyeduhan kopi. Satu persatu warga mencoba kopi yang dibuat dengan menggunakan peralatan yang modern. Mereka takjub dengan alat-alat yang digunakan untuk mengolah kopi.
Sembari warga menikmati kopi, Naim dan Taufik menuju ke sekolah Nating. Disana mereka sudah ditunggu oleh siswa-siswi SDN 188 Nating. Tampak keceriaan anak-anak terpancar dari raut mukanya. Suasana pagi yang segar di Nating menambah kesejukan untuk bermain-main dengan anak-anak Nating. Mereka menikmati permainan yang digelar dilapangan sekolah. Saat permainan digelar ada tiga orang guru yang tampak hadir mendampingi. Disana warga pun turut menyaksikan keceriaan anak-anak.
Bagi Naim dan beberapa anak muda Galeri Macca, kunjungan mereka merupakan yang keempat kalinya. Bermula dari perjalanan bersama pesepeda Enrekang Cycle Community (ECC), Naim pun mengajak kawan-kawannya menikmati aroma kopi Nating, sekaligus berbakti sosial. Setiap datang ke Nating, mereka selalu mengajak anak-anak bermain, menonton, dan membagikan buku tulis dan bacaan.
Meski hujan sempat mengguyur, tapi segera berlalu. Malah membuat arena bermain semakin seru karena tanah menjadi becek. Anak-anak justru semakin antusias mengikuti lomba berkelompok memasukkan bola pingpong kedalam pipa. Setelah bermain, anak-anak dibagikan buku tulisan, pensil dan pulpen. Sementara buku bacaan anak diberikan kepada gurunya untuk dikoleksi di perpustakaan sekolah.
Di SD Nating terdapat tiga kelas untuk belajar. Gedungnya terbuat dari kayu. Saat kami disana, satu gedung besar sedang dibangun, juga berbahan dasar kayu. Dengan dibangunnya gedung baru, tentu menambah ruang belajar siswa-siswi sesuai tingkatan kelasnya. Mereka tidak lagi bergiliran menggunakan ruang belajar.
Setelah itu, kami meninggalkan sekolah dan berpamitan. Begitu barang bawaan selesai dikemas, kami selanjutnya pamit dengan Pak Kamaruddin dan keluarganya. Di jalan anak-anak menyertai kepulangan kami, melambaikan tangan dan berpesan hati-hati dalam perjalanan. Seperti harapan Naim, kami meninggalkan Nating untuk kembali (datang tahun depan). Sebab, Nating is Something.