Dangke merupakan produk khas kabupaten Enrekang. Konon, pembuatan dangke sudah ada sejak tahun 1900-an, pada masa pendudukan Belanda di Enrekang. Wahniyathi Hatta dalam Survei Potensi Pengembangan Dangke Susu Sapi Sebagai Alternatif Dangke Susu Kerbau di Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan menyebut dangke sudah ada sejak tahun 1905. Beberapa artikel menyebutkan bahwa istilah dangke bermula dari bahasa belanda yakni dank atau dank u well (Wahyniyathi Hatta) yang berarti terima kasih. Ucapan dank (terima kasih) ditujukan kepada warga yang menyuguhkan susu (dangke).
Kalau merujuk dari situ, hal demikian mengasumsikan bahwa orang Enrekang maleqcung na mabassa (ramah dan dermawan). Namun apakah kata terima kasih yang diutarakan dalam bahasa Belanda (dank) itu menjadi gesture, ekspresi dan bentuk implisit yang selaras untuk penghargaan dan ketulusan menerima (susu) itu, tidaklah dapat ditangkap secara jelas. Kecuali jika narasi demikian menyampaikan peristiwa ‘psikologis-biografi’ pengucap kepada penerima kata dank yang pertama kalinya. Tapi siapa yang mampu menebak suatu ekspresi-rasa, sebab kehadiran sang pengucap dank berada pada nuansa kolonialisme.
Luna Vidya dalam artikel “Berterimakasih Tanpa Terimakasih”, menerangkan secara antropologis cara orang Bugis-Makassar mengartikulasikan rasa terima kasih. Baginya, orang Bugis-Makassar adalah etnis yang tidak punya kosakata terima kasih. Ucapan tarima kasi yang diserap dari terima kasih barulah di kemudian hari datang menghiasi percakapan keseharian. Namun ada juga yang mengatakan bahwa kata kurru suamange’ adalah kata yang mengekspilisitkan rasa terima kasih. Luna Vidya melihat ekspresi terima kasih (Bugis-Makassar) sebelum diekspresikan dan disepakati lewat kata, mulanya diartikulasikan melalui laku/tindakan yang “hangat”. Namun bukan berarti bahwa kehadiran kata, lantas memutus tradisi ekspresi terima kasih yang berbentuk “membalas setimpal-lebih” laku/tindakan baik seseorang. Sebab hal ini masih kita temukan di lingkungan Bugis-Makassar, termasuk Enrekang.
Nah, barangkali penerimaan kata dank yang diserap kedalam istilah dangke –kedalam bentuk bendawi- semacam monumen/memori pelestarian peristiwa ‘kehangatan’ orang Enrekang yang memberi susu kepada orang Belanda tersebut. Di sisi lain bahwa, istilah yang kemudian digunakan untuk menyebut keju (susu), diasumsikan belum ditemukan dan digunakan masa itu. Sehingga barangkali saat itu muncul serapan ‘spontan’ terhadap kata dank, yang selanjutnya diadaptasi dan disepakati menjadi dangke.
Mungkin pula menjadi hikayat, bahwa ketika anda telah mencicipi dan merasakan dangke, maka pada saat itulah anda telah berterima kasih. Atau, anda tak harus memaksa diri memerankan laku yang setimpal untuk berterimakasih dalam cara (tradisi) Bugis-Makassar diatas. Cukuplah anda turut mencoba dan menikmati dangke sebagai kuliner khas masyarakat Enrekang. Yah, merasakan makanan yang dinikmati secara turun temurun masyarakat Enrekang. Sebab rasa nikmatnya pun tidak akan berbohong untuk sekedar pemanis kata terima kasih atas hidangannya.
Jadi, tarima kasi adalah dangke.
***
Pagi itu (10/9/2016), Irma Malik menyuguhkan susu segar yang dicampurnya dengan Milo. Sembari menikmati susu yang dihidangkan, kami berbincang tentang pengolahan susu Dangke. Saat yang sama, Irma Malik sedang membuat dangke. Saya diantar ke rumah produksi (home industry) yang bersebelahan dengan rumahnya. Rumah produksi ini bernama Dangke Melona Baba. Berada di dusun Baba, desa Cendana, Enrekang.
Sebuah panci besi terisi susu yang telah dicampurkan garam dan enzim papain dari getah pepaya. Susu dicampur dengan getah pepaya pada suhu optimal 75o C. Enzim papain ini memisahkan protein dengan air. Kelihatannya seperti tahu dengan tekstur yang kenyal dan lembut. Irma Malik lalu mengambil cetakan tradisionalnya yang berasal dari batok kelapa. Lalu menyaring airnya. Setelah menuangkan susu yang mengumpal kedalam cetakan, ia lalu mengangkut masuk ke lemari pendingin.
Pada liputan Metro TV “Keju Tradisional Dangke”, narasumber Prof Ratnawati Makala (Kepala Lab Bioteknologi UNHAS) menjelaskan proses pembuatan Dangke. Berdasarkan data Prof. Sudirman (Dekan Fakultas Peternakan UNHAS) yang dilansir di liputan Metro TV itu,Prof Ratnawati Makala menunjukkan standarisasi pengolahan dangke dengan suhu optimal dangke 75o C, ditambah getah papaya kering 0,5 %, protein 17,94 %, lemak 24, 295 %, laktoba 14,12 %, PH 5,93 %, dan asam laktat 0,296 %.
Sambil mencetak dangke, Irma Malik, menceritakan pengalamannya bergelut dalam usaha dangke miliknya yang telah ditekuninya sejak tahun 2003. Lewat usaha ini, ia sudah sering mengikuti pameran kuliner di Makassar. Ia pun pernah mengikuti pelatihan persusuan di Balai Besar Pelatihan Peternakan Persusuan di Batu, Malang. “Saya pernah ikut pelatihan di Malang, sekitar tahun 2008. Selama 13 hari saya disana”.
Saat ini ia memiliki 25 ekor sapi. Beberapa sapi berasal dari bantuan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Kandang sapi perahnya tak jauh dari rumahnya. Sejumlah 12 ekor sapi perah indukan mampu menghasilkan 100 liter susu per hari (tabloidsinartani.com). Dalam sehari, suaminya, Nasruddin (53), menyiapkan satu karung awang untuk sapi perah laktasi miliknya. Nasruddin yang biasa dipanggil Bapak Kembar juga merupakan ketua Kelompok Ternak Sapi Perah Tallang Baba. Tahun 2015, kelompok ternak Nasruddin memenangi Lomba Kelompok Agribisnis Sapi Perah tingkat Provinsi pada Hari Susu Nasional (1 Juni 2014) yang diselenggarakan Kementerian Pertanian dan Pemrov Sulawesi Selatan.
Di Kabupaten Enrekang, kecamatan Cendana memang merupakan penghasil susu terbesar, salah satu pusat produksinya ada di desa Cendana. Dari data Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Enrekang pada tahun 2014 menunjukkan sapi perah di kecamatan Cendana berjumlah 488 ekor dan menghasilkan 1.539 liter susu per hari.
Susu yang telah diperah dari sapi tersebut, selanjutnya menjadi bahan baku untuk membuat dangke dan kerupuk dangke. Rata-rata setiap harinya, usaha Dangke Melona menjual 50-100 dangke. Harga yang dipasarkan oleh dangke Melona Rp. 20.000. Untuk ketahanan dangke ini bisa sampai sebulan dalam lemari pendingin.
Biasanya pemesan dangke berasal dari warga Enrekang yang ingin keluar daerah. Mereka membawa dangke sebagai oleh-oleh. Sering, jika ada pameran kuliner yang diadakan instansi pemerintah, mereka memesan di tempat Irma Malik. “Rata-rata instansi kalau ada pamerannya pasti beli disini”, katanya. Yang sering memesan adalah Dinas Peternakan dan Pertanian Kabupaten Enrekang. Memang, Melona Dangke Baba merupakan binaan dari Dinas Peternakan dan Pertanian Kabupaten Enrekang, LIPI dan UKM Universitas Hasanuddin sejak tahun 2005.
Selain menjual di kedainya yang masih satu atap dengan rumah produksi, ia pun menjual dangke dan kerupuk dangke lewat online. Untuk pemasaran online ini, Irma Malik dibantu oleh anaknya, Firkatul, yang kuliah di salah satu perguruan tinggi negeri Makassar.
Dalam hasil penelitian Survei Potensi Pengembangan Dangke Susu Sapi Sebagai Alternatif Dangke Susu Kerbau di Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan (2013) yang dilansir Wahyniyathi Hatta, S.Pt. M.Si (mahasiswa program doktor P.S Kesmavet FKH-IPB) dikatakan bahwa dangke merupakan pangan bergensi dan layak dikonsumsi oleh kalangan menengah ke atas. Dari surveinya pada kategori tingkat pendidikan menyimpulkan orang yang berpendidikan sarjana lebih dominan mengonsumsi dangke dari pelajar pada tingkat SD, SMP dan SLTA. Mengutip Ariningsih, menurutnya ada korelasi antara pendidikan seorang dengan pengetahuan konsumen tentang pangan dan gizi. Sebab itu potensi dangke dapat disebar di kalangan yang berpendidikan tinggi.
Disamping itu, barangkali akses mahasiswa (sarjana) terhadap dangke dominan karena dangke sering dijadikan oleh-oleh khas mahasiswa Enrekang kala merantau ke luar daerah, khususnya Makassar. Lewat itu pula, mahasiswa Enrekang mengenalkan dangke dan kerupuk dangke kepada banyak orang. Mulai dari dosen, mahasiswa dan penghuni asrama atau pemilik kontrakan.
Di Makassar, Firkatul sering menerima pesanan dangke dari teman-teman mahasiswa di kampus. Bahkan sering ia membawakannya secara cuma-cuma. “Sering saya bawakan oleh-oleh teman dikampus, karena kalau pulangka pasti minta dangke” ungkapnya.
Seiring banyak yang tahu Firkatul memiliki usaha dangke, maka banyak mahasiswa yang memesan untuk keluarganya. Apalagi, identitas Enrekang telah melekat pada dangkenya, selain salak dan produk khas Enrekang lainnya.
Syamsul Rahman (2014) dalam Studi Pengembangan Dangke sebagai Pangan Lokal Unggulan dari Susu di Kabupaten Enrekang, mengidentifikasi kelemahan pengembangan produk dangke di Enrekang, temasuk desa cendana. Diantaranya, kemasan produk dangke yang tidak menarik, tidak adanya promosi produk, dan pemasarannya masih terbatas (lokal) dan sebatas oleh-oleh.
Firkatul sendiri telah mendapatkan pelatihan pengemasan produk di Bandung. Untuk kerupuk dangke, kemasan yang digunakan menggunakan label Melona Dangke. Baru-baru ini ia juga mengikuti pelatihan pemasaran online yang difasilitasi Kantor Perpustakaan, Arsip dan PDE Kabupaten Enrekang yang menggandeng bukalapak.com. Lewat pemasaran di bukalapak.com dan media sosial, kini ia menerima pesanan kerupuk dangke dari toko kuliner khas di Makassar. Hanya saja kemasan tersebut belum disertai nomor Industri Rumah Tangga (IRT), meskipun ia bersama ibunya telah mendaftar di Dinas Kesehatan Kabupaten Enrekang. Kedepannya Firkatul dan ibunya akan berusaha membuat produk lainnya yang berbahan dasar dangke.
Melona Dangke memiliki kedai dan Rest Area yang berada didepan rumah Irma Malik. Terdapat meja dan tenda yang dapat digunakan beristirahat sambil menikmati gorengan dangke, susu segar dan kerupuk dangke. Rest Area ini difasilitasi oleh LIPI. “LIPI telah membuat halaman dengan batu cetak (paving blok). Rencananya ini gardu mau na diperbaiki atapnya, ganti pintunya, mau na kaca seperti minimarket. Dan sudah semua sudah na ukur”.
Menikmati dangke bisa dengan cara digoreng atau dipanggang. Untuk saya, biasanya memilih menggoreng dangke. Mudah saja sebenarnya. Mulanya dangke dicampurkan dengan garam yang telah dilarutkan. Lalu Dangke digoreng diatas panci dengan menggunakan sedikit minyak goreng. Selanjutnya, tunggu dangke mulai matang dan berwarna agak kuning.
Saat ini pun mulai banyak warung persinggahan yang menyediakan dangke goreng. Kita bisa menemukan di sepanjang jalan Riso atau jalan menuju kota Enrekang. Dangke juga mulai disajikan sebagai makanan catering di acara-acara pernikahan dan seminar-seminar. Untuk lebih mempromosikan dangke, banyak anak muda Enrekang yang membuat kaos khusus dangke. Bahkan di kota Enrekang, terdapat patung sapi perah yang menampilkan bahwa Enrekang merupakan daerah penghasil keju tradisional bernama dangke.