Penulis Pemula



Dalam beberapa bulan terakhir yang penuh dengan kesibukan kantor, tradisi membaca agak terkuras. Membaca buku bergenre pemikiran tidak mungkin dilakukan saat-saat demikian. Butuh ketenangan dan kesunyian untuk itu. Terakhir, saya membaca Republik karya Plato, tetapi belum khatam. Itupun belum banyak pengetahuan yang bisa kuserap dari buku itu. Konsentrasi membaca jadi buyar. Momen-momen aktual di depan mata hanya sepintas berlalu di pikiran. Tidak berhasil digoreskan ke dalam ketikan.

Syukurnya, minggu ini saya bisa mengisi waktu libur ditemani buku yang baru saya beli. Buku itu saya beli lewat online dan kuterima di perpustakaan. Judulnya Aku, Buku, dan Sepotong Sajak Cinta (2016) karya Muhiddin M. Dahlan. Pekan ini, hasrat membeli buku memang semakin digoda oleh kantong yang berisi, tetapi jadwal membaca direbut oleh rasa lelah mengisi kantong. Maka jadilah buku sering menunggu waktu untuk dibuka. Buku mengantri. Tapi saya yakin setiap buku ada waktunya. Karena kumpulan buku adalah pengingat sekaligus perjanjian.

Sebenarnya sering juga buku yang baru saya beli dapat dituntaskan hari itu juga. Demikian yang terjadi dengan buku Aku, Buku, dan Sepotong Sajak Cinta. Buku ini mulanya saya beli karena saya gandrung pada buku yang berbicara tentang perbukuan. Begitulah bagi orang yang bergelut dengan dunia pustaka. Seperti hidangan yang lezat, saya pun melahap buku itu dalam sehari. Melihat aksara berjam-jam. Tanpa memberi kesempatan mata bekerja untuk hal lain.

Membaca buku ini, saya menemukan kisah yang bersahabat. Membacanya seperti merangkai ingatan yang kemarin-lalu saya kerjakan. Meski sang Aku pada buku itu jauh lebih unggul. Si Aku dalam buku adalah pengarang. Indikasinya bermula dari pencocokan si Aku yang bercerita tentang Ayahnya yang mantan anggota Kahar Muzakkar, berasal dari SS dan berpindah ke batas SS dan ST di kota P. Lalu kisahnya berlembaga di PII dan menulis di beberapa media. Tentang si Aku yang kuliah di UNJ dengan jurusan yang linear dari STM, dan masuk di UIN Sunan Kalijaga. Itu semua dapat dicocokkan pada halaman tentang penulis. Barangkali buku ini sebentuk autobiografi penulis.

Apa yang membuat saya larut dalam bacaan ini ialah beberapa potongan kisahnya sedang kulakoni. Seperti pengalaman mengirimkan tulisan di media massa, hingga menerbitkan buletin atau majalah. Tak sedikit pengalaman pahit yang dirasakan oleh si Aku. Dari penolakan tulisan yang berkali-kali, hingga biaya hidup yang terkatung-katung. Seakan menyampaikan panduan bagi penulis pemula. Bahwa menulis itu butuh keuletan dan pantang menyerah. Dari situ kita mungkin terpacu melakukan hal yang sama, jika bisa lebih dari itu. Lagi pula si Aku menyerukan manifes menulis yang berbunyi: “Ingat-ingatlah kalian hai penulis-penulis belia. Bila kalian memilih jalan sunyi ini, maka yang kalian camkan baik-baik adalah terus membaca, terus menulis, terus bekerja, dan bersiap hidup miskin. Bila empat jalan itu kalian terima dengan lapang dada sebagai jalan hidup, niscaya kalian tak akan berpikir untuk bunuh diri secepatnya.”

Si Aku sedari STM sudah mulai membaca buku yang lazimnya dibaca kalangan mahasiswa. Keterasingan yang menghantamnya di asrama lantas mengarahkan dirinya memilih masuk organisasi ekstra, Pelajar Islam Indonesia (PII), organisasi yang terlarang pada periode pemberlakuan asas tunggal. Ia membaca buku-buku Islam dan ideologi. Membaca Ali Syariati. Mendatangi Perpustakaan Daerah di kotanya. Menyelenggarakan diskusi setiap minggu bersama komunitasnya. “Buku yang begitu berpengaruh dalam kehidupan remajaku,” dakunya. Kemudian mulai belajar menulis di buletin PII, hingga tercebur aktif di PII dan sempat menjabat Sekretaris Umum.

Memasuki dunia kampus, si Aku menempa diri belajar menulis. Bergabung dengan Majalah Kampus, di situ ia mulai serius menulis. Beragam pengalaman yang diperoleh dan dinamika yang dilaluinya. Walaupun pada akhirnya tercoret karena konflik kepengurusan di Majalah Kampus. Selepas itu, si Aku memokuskan diri mengirim tulisan di media massa. Beberapa tulisannya pernah dimuat. Namun di masa-masa itu juga, penolakan dari redaksi media seringkali memilukan hatinya. Ia terus mengirim opini, artikel dan resensi di Kompas, Gatra, Ummat, Majalah Tempo dan lain-lain. Dan berkali-kali tidak mendapatkan tempat untuk dimuat, karyanya dikembalikan. Tetapi ia tak lekas berhenti menulis.

Lewat kemampuan (menulis) yang dimiliki itu, ia mengekspresikan kisah cintanya. Baginya tak ada jalan yang dapat diandalkannya kala itu untuk mencurahkan cinta selain menulis. Ia pun menerbitkan buletin. Empat kali ia menerbitkan buletin yang mewakili perasaannya. Yah, barangkali semacam “buletin cinta”. Buletin yang sederhana tetapi penuh kata-kata yang rumit. Serumit mengutarakan cintanya tanpa teks, tanpa sajak. Di Buletin edisi ketiga, ia menulis; …CINTA bukan teks. Oleh karena itu tidak bisa diinterpretasikan lewat tadabur kata-kata….

Sempat cinta mencabit-cabit dirinya. Berkurung diri dalam kesedihan. Mencatat galaunya hari-hari itu. Hingga datang ujian ideologi menjemputnya dan menjebak jiwanya yang sakit dengan bercinta. Setelahnya, ia bersuci dan “menghadap diri” pada Tuhan. Dan kembali melanjutkan perjalanannya pada dunia menulis.

Melangkah masuk ke penerbitan dan memulai kerjanya sebagai editor. Lewat penerbitan alternatif yang diurusnya itu, beberapa kali diskusi digelar bersama kawan-kawannya. Mengenal insan penerbitan dan sastra, serta menghadiri diskusi-seminar buku. Hanya masa-masa itu juga, ia memutuskan keluar dari kampus meninggalkan IKIP Yogyakarta. Walaupun sempat kembali berkuliah, di kampus IAIN Sunan Kalijaga.

Si Aku memang terseret keluar dari kampus, karena memilih untuk suntuk dengan kekuatan aksara. Kata adalah kekuatan dan juga kekuasaan. Itu sebabnya, jika Anda ingin melestarikan kekuasaan dan memburu kekuasaan, maka kuasailah kata-kata. Demikian si Aku yang pada akhirnya memokuskan diri membaca, menulis, mengedit dan mencetak buku.

Bekerja hingga malam hari, bahkan pernah tak kembali ke kamar kontrakan berminggu-minggu lamanya. Kala dikejar target rampung ia menuntaskan dalam sehari-semalam. Memangkas waktu pengeditan ideal yang semestinya.

Hasil kerjanya di penerbitan itulah yang mengongkosi kesehariannya. Tak lupa menyisihkan uangnya untuk membeli buku. Meski ia menyadari hasil keringatnya tidaklah berlebih. Sialnya, ia tidak berani mempertanyakan laba atau upah hasil penerbitan. Kelak ia pun “terusir” dari penerbitan Kelasi. Dirinya merasa dikungkung dan dibekap oleh ketidakadilan. Bersama seribu bukunya yang terkumpul, ia pergi mencari hunian baru.

Saat-saat di kosnya yang baru, ia menghabiskan malam dengan membaca dan menulis. Larut dalam Gadis Pantai karya Pramoedya Ananta Toer. Membayangkan nasibnya seirama Karl Marx. Mereka-reka apa mestinya dilakukan dalam kepungan sunyi itu. Monoton. Lalu membaca buku lagi. Hingga kabar datang mengajaknya kembali bergelut di dunia penerbitan.

Untuk yang kedua kalinya, ia bekerja sebagai editor, di Bengkel Penerbitan. Digaji secara freelance dengan hitungan halaman buku yang diedit. Namun  tak ayal masalah internal muncul mengguncang keharmonisan penerbitan. Jenuh dengan aktivitasnya selama satu semester, si Aku mengambil cuti selama tiga bulan. Selama itu ia kembali membaca buku dan mengasah diri menulis, sebab ia merasa pengetahuannya mandek. Sudah sering kukatakan bahwa mengedit buku itu tidak langsung membuat kita pintar sebagaimana kerap orang salah pahami, malah katanya justru semakin bodoh.

Sekembali dari jalan sunyi, tak disangka ia tidak mendapat respon yang baik dari penerbit. Menyadari ada sesuatu yang salah, maka ia mengingat ucapan yang dilontarkan pada Arkazh Kahin (pimpinan penerbit) kala meminta cuti. Dan rupanya pimpinan itu menyimpan amarah di balik kritikan yang dimintanya sendiri kepada si Aku. Dengan rasa bersalah, si Aku tetap bekerja dan melawan dalam kepatuhan sekitar dua tahun. Toh, akhirnya si Aku mundur setelah menyaksikan masalah yang membelit penerbit. Pimpinannya terduga korupsi dan pembajakan buku. Si Aku nantinya memilih jalan yang tak diharapkan yakni tak bekerja. Tapi manifesto menulis terus dipegangnya untuk melangkah ke utara.

Demikian kisah sunyi seorang penulis. Membaca buku ini memberi kode kepada para penulis pemula bahwa tidak mudah menempuh jalan menjadi seorang penulis. Diperlukan kesabaran dan keuletan untuk terus mengasah diri menulis. Tulislah tentang apa saja dulu! Begitu kalimat yang sering kudengar sebagai motivasi. Tentu yang terpenting, penulis adalah pembaca. Dari keterampilan membacalah, kemampuan menulis berkembang. Sebab membaca senantiasa mengasah kemampuan berpikir dan berimajinasi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *