Jalan-jalan di luar rumah Adri Ahmad hari itu ramai. Puluhan orang berdatangan dengan tangan yang saling berjabat. Dengan pakaian yang baru, orang-orang melepaskan senyum dan tawa. Lepas. Cair. Seolah tak pernah terjadi apa-apa sebelumnya. Hari itu orang-orang memainkan peran baru seperti yang mereka dengar di mesjid: terlahir kembali. Meski ‘kelahiran’ mereka tidak menghilangkan memori. Bukannya mengiyakan teori pengingatan kembali Plato.
Cengkerama nostalgia menjadi topik pembicaraan. Maklum, mereka cukup lama tak bersua. Mereka bertukar cerita dan kisah suka-duka. Mulai dari soal pekerjaan, istri, anak dan hingga wajah yang menua. Seperti saling memuji atau juga tak mau “kalah”, kebanggaan tak pernah luput untuk dituturkan. Tentang keberhasilan anak-anaknya dalam karir, hingga kehebatan lainnya. Setidaknya semua itu dibingkai dalam foto ruang tamu. Selebihnya menunggu pertanyaan dari sana.
Adri Ahmad bukan tak suka dengan cerita-cerita perbandingan akan dirinya. Dalam batinnya, ia justru berusaha meyakinkan dirinya akan sesuatu yang bisa digapainya kelak tanpa perbandingan. Masalahnya, ia tak mampu keluar dari pintu rumahnya sendiri. Bagi Adri Ahmad, rumahnya telah menjadi istana dan terlampau menakutkan untuk keluar. Seakan mengelak kemapanan dengan bersembunyi.
Adri Ahmad berhari-hari membangun istana dalam pikirannya. Imajinasi selalu diasah. Tapi semuanya seperti pisau yang tak menemui irisan. Kadang ia putus asa dengan semua yang telah dilakukan. Ia ingin berbicara dan bertindak tetapi tak ingin mendengar. Pendengarannya semakin membuat jarak-jarak yang jauh daripada yang diharapkannya. Di tembok dalam kamarnya, konsentrasinya dikalahkan bayangan benih ekspektasi dari tamu-tamu orang dirumahnya. Ingin rasanya menghentikan celoteh itu, dan kembali diam-diam merajut imajinasi tanpa suara.
“Ayah, maafkan saya, tapi tolong janganlah terlampau bangga.” Entah sudah berapa kali kalimat itu dibisikkan untuk dirinya sendiri.
Ia tak ingin kalimat itu tidak hanya dirinya yang tahu. Karena sebenarnya tidak ingin menyakiti ayahnya. Tetapi semakin ayahnya bangga, itu semakin menghujam dirinya. Ia kadang menyesal pernah bercerita lebih. Tapi ia pun membaca mata ayahnya, yang haus akan kisah-kisah terbaiknya. Hingga saat ayahnya telah menemukan kepercayaan diri yang tak pernah diperoleh sebelumnya, ia pun seakan sedih dan menyesal. Sama sekali tak seorang pun yang mengerti Adri akan semua itu.
Kesederhanaan yang semula dicita-citakannya, seakan sirna demi cita-cita ayahnya. Ia tak pernah bermaksud menghalangi ayahnya. Justru berusaha untuk itu dengan cara yang menurutnya sederhana : “berbanggalah dengan lapang dada”. Kenyataannya, ia tak mampu menghalau persepsi dan ekspresi bangga yang selama ini diperankan di mana-mana dan oleh siapa saja. Termasuk di rumahnya. Tak ada medium yang paling mudah menyebarkan rasa bangga selain mulut. Lebih dari itu Adri juga tak suka dengan media massa yang dibajak lewat kolom iklan advertorial. Ia merasa dirinya bodoh kala membaca kebanggaan akan predikat-predikat yang dipolitisasi. Ia pun merasa dirinya adalah medium hari itu.
Lazim rupanya orang menapaki tangga derajat dengan bangga. Sebenarnya ekspresi kebanggan sering diperankan oleh Adri Ahmad. Tak beda dengan yang lain. Seperti piramida kebutuhan manusia ala Maslow, kebangaan atau dihargai adalah hal yang diharapkan. Namun lama-kelamaan ia merasa geli dan gelisah. Awalnya ia menyukai suntikan pujian seperti menikmati udara sejuk. Tetapi seiring waktu dimana ia lebih sering mendapati dirinya dalam kesunyian, ia pun berbeda. Di dalam kamarnya ia mulai mendengar kebanggan yang menganggu dirinya. Ia semakin merasa jauh dari orang-orang dikampungnya. Hal itu dilihatnya pada orang-orang yang bagaikan melihat keasingan di dalam dirinya. Ia berkali-kali mencoba untuk kembali melebur dan beradaptasi. Namun semakin dicoba, semakin ia mendapatkan jarak.
“Eksistensiku mesti dicemarkan oleh tanganku sendiri.” Bersama kegelisahannya, ia tak henti memikirkan cara itu.
Adri sesungguhnya iri pada Karman yang tak pernah menceritakan kesuksesannya. Meskipun Adri mengetahui kesuksesannya, sungguh tak menyangka Karman memilih diam dan merendah pada apa yang dikerjakannya selama ini. Bahkan orangtuanya mungkin tak melihat keistimewaan Karman. Karman seakan ingin dunia dan keringatnya saja yang dapat melihat dirinya.
Saat Karman mendapat musibah tak banyak orang yang tahu. Bahkan keluarganya sendiri. Suatu laku yang tidak mau mengkhawatirkan orang-orang terdekatnya. Meski musibah tentu bukan bentuk kesengajaan. Darinya, kesadaran Adri Ahmad tergugat. Khawatir dirinya tidak mampu mencapai keserhanaan. Seberapa besar pun kerangka kesederhanaan yang dibentuknya dalam pikiran, namun justru mempertebal jarak dari lingkungannya.
Hari itu Adri Ahmad bertekad untuk mengalahkan istana pikirannya.
“Saatnya keluar dan menerobos belenggu kebanggaan.” Diiringi tumbukkan tangan ketembok kamar, Adri Ahmad melesat keluar memasang senyum paling rendah hati. Lalu mengiyakan cerita-cerita ayahnya.
Hanya satu pilihan Adri Ahmad saat itu, bahwa biarlah ayahnya menjadi medium baru bagi dirinya. Tanpa menganggu perasaan ayahnya, Adri Ahmad berjanji memenuhi ekspektasi orang-orang.
Setelah itu, ia akan diam seribu bahasa. Ia memutuskan untuk diam sebagai masa depan. Tak menggubris lagi kritik tentang banyaknya masalah karena orang-orang baik yang ada hanya diam dan mendiamkan kejahatan terjadi. Adri Ahmad tahu diam adalah pencemaran diri.
Adri kembali kekamar. Menutup pintu dengan sentakan yang disertai pikiran yang diam. Diam.