Dialog Penciuman



Sejujurnya ada tiga bau yang aku suka tapi tidak disukai orang-orang tertentu. Pertama, karena aku beraktivitas setiap hari, maka aliran keringat jelas bercucuran, dan pada waktu itulah setiap ketiak akan berbau. Tapi baunya aku suka cium, sebab jika tidak kulakukan berarti aku tak tahu diri bahwa tubuh ini sedang berbau. Yah, disamping mungkin bau ketiak ini akan menjadi penanda bagi orang yang mencintaiku jika sewaktu-waktu aku tersesat di antara kerumunan orang yang berkeringat. Sebab aku yakin bau ketiak juga unik alias berbeda-beda baunya. Bau ketiak orang timur dan barat bahkan menjadi masalah identitas, dan seringkali memicu jarak di antara hidung timur dan hidung barat. Maka deodoran pun diciptakan menjadi senjata utama dalam memberantas bau tak sedap. Makanya jangan heran kalau televisi di rumah anda mempersoalkan ketiak.

Kedua, jika anda sering merawat kuku secara teratur, maka bau tahi kuku kaki mungkin agak jauh dari hidungmu. Bagi aku yang sering telat memotong kuku kaki, seringkali bertemu bau tahi kuku. Anehnya, malah aku sering mencungkilnya memakai kuku tangan atau pemotong kuku lalu mendekatkannya dengan hidung. Suatu laku yang tentu saja hanya ingin memastikan baunya. Alangkah bodohnya, tapi seringkali itu mengasyikkan atau membikin kegelian sendiri. Sebenarnya kadang aku juga membiarkan kukuku itu panjang, sebab aku trauma pada ujung kuku yang menusuk kulit hingga sakit dan bernanah. Dan itu sering terjadi, bahkan menyusahkanku duduk tashayud akhir kala melnunaikan shalat. Tapi karena aku termakan ungkapan yang bilang “lihatlah cowok dari kukunya, jika ia benar-benar bersih.” Tunggu dulu! maksudku karena kuku yang bersih itu artinya selalu berwudhu.

Yang terakhir, bau itu bernama “tahi gigi”. Sama halnya dengan kuku dan ketiak, seringkali kita memastikan perubahan baunya dari hari ke hari, seakan berharap suatu waktu jadi harum. Ini terjadi ketika gigi mulai keropos dengan lubang-lubang yang berbentuk gua sisa-sisa makanan. Hal kecil ini kadang mempengaruhi mood seseorang, dan menguntungkan orang-orang yang memiliki usaha tusuk gigi dari bambu. Dari sini pula, bau mulut terpancar keluar bersama udara. Agak lega juga sebenarnya karena katanya bau mulut orang yang berpuasa itu mulia di “mata” Tuhan. Tapi tenang, sekarang ada pasta gigi yang siap memproteksi terjadinya gigi berlubang. Mau cari pasta gigi apa yang ampuh? boleh nyalakan sendiri televisimu!

Tapi dari semua bau manusia yang sulit ditebak di tengah kerumunan adalah kentuk yang tak berbunyi. Malah sering memicu pembohongan publik, hingga berujung pada bubarnya kerumunan. Beda lagi kalau “buang air besar” alias BAB, anda mungkin sama pasrahnya denganku. Pasrah pada bau itu.

Demikian pengantar singkat tentang bau yang aku “suka”. Yang pada dasarnya, kukerjakan itu sebagai bagian dari memberdayakan dan melatih ketajaman indera penciuman.

***

Manusia dianugerahi indera yang menjadikan dirinya mampu mendefinisikan alam. Dunia dipijaki hari ini dengan cara menaklukkannya melalui bantuan inderawi manusia. Meskipun tidak semua filosof sepakat akan perolehan pengetahuan (aspek kebenaran) sepenuhnya ditentukan oleh penginderaan. Seperti misalnya Plato dan Aristoteles yang silih berganti mendiskusikan tentang pengetahuan dan kebenaran yang bermula dari jiwa. Namun filsuf-filsuf lainnya, menghadirkan gagasan yang berbeda dengan menyebut bahwa tubuh melalui instrumen indera mampu mencapai kebenaran. Dialektika tersebut masing-masing dikembangkan oleh pengikutnya yang mengusung pembaruan, dan memberikan nuansa yang berbeda antara tubuh dan jiwa. Tanpa membahas lebih jauh perihal dualisme itu, menarik bila kita membicarakan penginderaan sembari mengisi momentum Ramadhan secara unik.

Momentum pendekatan diri pada Tuhan melalui bulan suci Ramadhan selalu menjadi batu ujian bagi muslim. Tidak saja karena pada bulan ini setiap umat muslim diperintahkan untuk berpuasa. Yang mengartikan seluruh indera dikontrol secara sadar atas kepatuhan pada teks suci. Bukan hanya fisik yang disadarkan tetapi esensinya ialah metafisik. Olehnya tubuh dan jiwa adalah kesatuan yang menjalankan puasa.

Namun belum lagi kita berbicara soal jiwa yang berpuasa, tubuh dengan perangkat indera (penciuman) terkadang goyah dan terguncang lebih awal. Lewat konsumsi yang melimpah pada bulan Ramadhan, bau masakan atau gorengan menebarkan zatnya di jalan-jalan sehingga disambar oleh hidung orang-orang berpuasa. Tebaran zat yang terungkap lewat indera membaui ini memang bukanlah “kambing hitam” pelemahan kekuatan ibadah atau dijadikan tolak ukur, tetapi menunjukkan indikasi bahwa puasa tidak lain adalah menunda jadwal makan. Daya tampung atau persiapan berbuka puasa diolah dengan sedemikian rupa sepanjang waktu berpuasa. Bahkan ada yang secara sengaja memamerkan bau makanannya jauh-jauh sebelum waktunya berbuka. Lalu bagaimana caranya kita menghargai orang yang berpuasa?

Indera penglihatan memang lebih tanggap menangkap bentuk atau parade makanan, tetapi di sini juga hidung menyerap aroma yang berasal dari unsur materi makanan. Secara padu indera memang meresponnya, tetapi bau itu menjalar bersama udara ketempat-tempat sunyi sekalipun; dimana indera yang lain tidak mampu menjangkaunya. Sekalipun warung yang buka itu menutup jendela depan agar yang lalu-lalang tak melihatnya. Tapi tak ayal baunya tidak mungkin dihijab. Seperti asap rokok tetangga menyelinap diam-diam ke tubuh tetangga lain. Dan adalah gombalan tak logis (alias pura-pura bodoh) yang berucap di telepon seluler begini: “seperti ada bau harum, pasti kamu sudah mandi yah?” Waduh, handphone yang berteknologi sensor bau itu bernama gombal. Sama gombalnya dengan pengumuman “hargai orang yang tak berpuasa.”

Mungkin indera penciuman tidak seperti hari-hari biasa. Ia tidak begitu peka dan tajam untuk digunakan, sebab rasa lapar jarang memberi pengantar bagi bau yang melekat pada makanan yang terlahap di luar bulan suci. Mencium bau rasa makanan lebih dipersoalkan daripada melihat makanan. Seorang kawan sempat bertanya “apakah puasa akan makruh dengan mencium bau jalangkote? Sepintas pertanyaan seperti ini mengunggat indera penciuman, padahal fungsi penginderaan tersebut adalah niscaya bersama fungsi indera yang lainnya. Hanya pada saat kita “mengolah” bau itu lebih dari fungsionalnya dan terpancing untuk membuat imajinasi nikmat, maka pada saat itulah persoalannya menjadi berbeda. Sama halnya ketika melihat seorang cewek seksi tanpa sengaja. Bukan salah mata yang memang berfungsi melihat, tetapi pada saat “kedipan kedua” telah menggeser keniscayaannya, di situlah anda mulai menguji mata hati (iman).

Argumen di atas seakan mengofirmasi Condillac yang menganggap penginderaan adalah pusat diri manusia dan sebagai asal idea. Bagi Condillac pikiran bersikap pasif dalam rangsangan-respon penginderaan terhadap sesuatu. Bahkan De La Mettrie menganggap pancaindera adalah filsuf-filsufnya, bukan jiwa atau pikiran, justru ia bermula darinya. Tak ayal jika di beberapa tempat, tradisi membakar dupa agar menghasilkan bau yang khas menjadi semacam medium meditasi jiwa atau pikiran yang diarahkan kepada sesuatu hal. Bahkan parfum pada mulanya digunakan sebagai ritual spiritual-keagamaan di Mesir kuno.

Lalu apakah bau jalangkote membuat pikiran menjadi pasif ? Rupanya pertanyaan tentang bau jalangkote di atas, juga berusaha menghindari belenggu “kepasifan” berpikir. Walaupun tidak menutup kemungkinan interpretasi terhadap tugas penginderaan seringkali dilakukan secara implisit. Melalui pertanyaan itu jualah, kita bermaksud mendiskusikan dominasi materialistik yang seringkali tidak menyukai berpikir mendalam. Yang memuaskan diri dengan kenikmatan inderawi semata. Bukankah ini yang dipaparkan tiada henti di layar televisi Anda.

Lalu apakah bau kue yang menebar pada jelang lebaran adalah bagian dari tradisi keagamaan yang mengisyaratkan spiritual. Sederhananya, kue dan berbagai hidangan sebenarnya menjadi suguhan silaturahmi bagi para tetamu nantinya. Meskipun di sana bau tidak terlalu dihiraukan lagi untuk dihirup, sebab puasa telah berlalu. Tapi toh masih ada yang menganggap ritual itu sebagai ekspresi kenikmatan. Sama dengan “kerinduan” yang dimaterialisasikan oleh banyak orang dengan ajakan traktir. Dengan dalih bersilaturahmi pula, modifikasi iklan produk berusaha menyentuh spritualitas. Masalahnya di situ kadang kerinduan bersilaturahmi menjadi kabur.

***

Eh, jika berkesempatan menonton televisi bersama keluarga, menarik memperhatikan percakapan dalam iklan Pertamina di bulan Ramadhan tahun ini. Adalah seorang Ibu yang tidak masalah tanpa oleh-oleh, sebab baginya kerinduan dan kehadiran anaknya jauh lebih penting. “Banyak orangtua yang kesepian justru ketika anaknya telah sukses,” begitu kira-kira pesan yang menggugah.