Upaya menghubungkan modernitas dan religiusitas semakin ditunjukkan melalui tayangan-tayangan yang Islami. Kini intensitasnya semakin tinggi kita saksikan dilayar TV sehari-hari. Lebih massif lagi sebab bulan ini adalah bulan yang agung bagi muslim. Dan media berlomba-lomba menyambut Ramadhan dengan suguhan religius. Dominasi tayangan islami ini tidak saja menjadi penyejuk dan produksi nuansa bagi muslim dalam menjalankan ibadah, tetapi sekaligus menjadi proses pemusatan masyarakat terhadap televisi. Tarikan media ini tak pelak menjadi ajang ekspansi komoditas dengan beragam produk yang ditawarkan. Semacam ritual tahunan, komoditi seperti busana muslim, makanan, dan minuman menjadi menu utama iklan televisi dengan desain (informasi) islami.
Menarik bahwa pertemuan Islam dengan budaya populer kemudian menampakkan wajah baru muslim Indonesia. Ariel Heryanto dalam bukunya Identitas dan Kenikmatan : Politik Budaya Layar di Indonesia (2015) melihat fenomena ini muncul setelah tumbangnya orde baru dan terbitnya sutradara-sutradara yang mengangkat wacana religius (islam). Meskipun Heryanto juga tidak menampik argumen pengamat lainnya yang melihat kehadiran Rhoma Irama dalam layar televisi (musik dan film) sebagai sosok penting yang mengusung budaya populer islami sebelum reformasi.
Heryanto menguraikan bagaimana film islami mampu menarik simpati muslim Indonesia dan menegoisasikan identitas (gaya) baru. Terbitnya film Ayat-Ayat Cinta yang diangkat oleh Hanung Bramantyo dari novel Habiburrahman El Shirazy –yang popularitasnya tinggi- berhasil menarik muslim untuk memenuhi bioskop-bioskop; yang merupakan salah satu simbol kemodernan. Setelah itu, film-film islami semakin mudah dikonsumsi di bioskop, yang selanjutnya ditampilkan ulang di televisi. Momen dimana novel-novel Islami selanjutnya menjadi rujukan narasi untuk diadaptasi kedalam film.
Heryanto melihat fenomena “post-Islamisme” tersebut juga melanda televisi Indonesia dengan pendakwah-pendakwah populer. Generasi berikutnya lebih menunjukkan semangat yang tinggi dengan karakter yang berbeda, dari yang ‘serius’ hingga yang ‘humoris’. Tayangan Islami semakin diperkaya dengan segmen seputar Islam secara rutin di beberapa televisi swasta. Hal ini pula yang menunjukkan tren berpenampilan ala islami dan menambah kepercayaan-diri beridentitas muslim di televisi. Dan hari-hari ini kita menonton kontestasi para “dai Islam” tampil laiknya “penyanyi” dengan antusiasme yang meriah dari pemirsa dan dukungan lewat poling sms. Karena ia kontestan maka turut menghadirkan juri yang berasal dari pendakwah senior, yang juga sebelumnya populer di televisi-televisi. Semua ini memperlihatkan bahwa proses islamisasi mengikuti tren aktual dan diterima oleh pemirsa. Heryanto membilangkan ini sebagai proses “islamisasi modernitas” maupun “modernisasi Islam”.
Namun penting disini bahwa, terlepas dari gaya baru islami yang tampil, tentu saja tanggapan-tanggapan terhadapnya muncul beragam. Fathorrahman Ghufron dalam Ustaz di Media Publik (Kompas, 9/6/2016) menganggap ustaz bentukan media dalam kondisi tertentu terjebak pada apa yang dibilangkan oleh Jean Baudrillard sebagai simulacra. Posisi demikian akan mereduksi penghayatan keagamaan, karena tampil untuk memenuhi kontestasi dan logika marketing media. Gejala yang menunjukkan subtansi dakwah menjadi kabur. Wajah modern seakan lebih mengemuka ketimbang pesan-pesannya . Tanggapan seperti ini tentu dalam ikhtiarnya mengajak untuk menyampaikan esensi dan subtansi ajaran agama, sebagaimana Fathorrahman mengharapkannya.
Demikian pula bahwa pertarungan media baru saat ini hendaknya disikapi dengan kritis, sebab terhampar banyak informasi islam yang terpapar dilayar televisi, komputer, ponsel dan media cetak. Artinya, kita perlu mengalisa informasi islam yang tersebar dengan verifikasi yang mendalam. Sebab kelengahan akan informasi yang membeludak (information overlead) ini, pada titik tertentu memancing orang-orang menuju jalan yang tidak dikehendaki oleh agama dan Negara. Seperti, pelajaran penting dari adanya perekturan “ekstremis” ke Negara konflik di Timur Tengah melalui media baru.
Olehnya literasi media dan literasi informasi (islam) senantiasa perlu disosialisasikan dan dengan tanpa harus menutup kebebasan akses informasi. Apa yang ditampilkan dalam televisi kita hari ini, bukan tanpa celah menuai tanggapan-tanggapan serius akan proses kekinian “Islam Indonesia” diatas. Sebab pertarungan identitas yang dibentuk oleh para narrator dibalik layar –terutama film, sinetron dan kontestasi islami- telah melampaui sekadar turut menikmati komersialisasi. Mereka disatu sisi menawarkan pesan-pesan moral dan identitas alternatif (baru) dalam dunia islami. Meskipun di lain sisi, komodernannya lebih mengemuka -atau orang-orang melihatnya fokus pada upaya modernisasi- akan tetapi tayangan tersebut jelas mengandung pertarungan pesan-pesan yang dikomunikasikan kepada penonton. Setidak-tidaknya pesan itu bernama modernisme.
Sejauh tayangan islami tampil dengan dialektika yang baik dan demokratis, maka sebenarnya akan memacu umat muslim Indonesia untuk memahami Islam secara mendalam. Disamping bahwa fenomena tayangan religius diharapkan membicarakan kedalaman islam, sekaligus menawarkan solusi untuk meretas kompleksitas persoalan moral kebangsaan. Termasuk upaya mencegah kecenderungan munculnya tindakan “radikal” dan ‘ekstrem’ berwajah agama yang akhir-akhir ini diresahkan.