Urgensi Ruang Baca di Desa

Membincangkan pengaruh membaca (buku) memang selalu memunculkan ekspektasi dan optimisme. Namun buku sebagai medium pengetahuan belum merambah secara merata ke berbagai kalangan. Bagi masyarakat yang berada dekat dari pusat informasi dan pengetahuan, tentunya buku dan perpustakaan bukanlah hal yang asing. Kabarnya donasi-donasi buku kian massif mendatangi pelosok-pelosok negeri, meski bagi sebagian masyarakat yang berada diwilayah perdesaan (yang mayoritas bertani), buku masih merupakan sesuatu yang asing.

Dalam konteks perkotaan, ajakan membaca buku mulai dikerjakan dengan pengadaptasian budaya pop atau gaya hidup baru. Di kota, orang-orang terdidik dan kelas menengah mudah mengakses buku-buku di toko buku dan perpustakaan modern nan nyaman. Bahkan, disana pembacaan buku-buku semarak digelar seiring dengan tumbuhnya minat yang sama dalam bidang literasi. Hingga desain ajakan membaca yang variatif.

Di kota, relawan-relawan keaksaraan berlatar urban silih berganti terbit. Menariknya, relawan literasi turut turun berdampingan dengan orang-orang desa dalam mengajak masyarakat membaca. Seperti halnya dengan taman bacaan masyarakat berbasis “akar rumput” yang digerakkan oleh para pegiat literasi dan pustakawan. Dan dengan fenomena ini, mereka sesungguhnya sedang berupaya menepis minat baca rakyat yang dikategorikan rendah oleh berbagai lembaga survei. Hanya ironinya, ditengah-tengah aksi literasi yang menggeliat ini, malah santer pula diberitakan kalangan tertentu yang resah dengan buku atau mengambinghitamkan buku-buku tertentu, dan setelah dicap terlarang, lalu diskusi pun dibubarkan. Anehnya karena buku-buku tertentu dipersoalkan sementara masyarakat kita minat bacanya masih dianggap rendah.

Meskipun pegiat literasi dan relawan sudah menunjukkan eksistensinya dalam mengajak masyarakat membaca, namun tentu belum semua aksi literasi muncul secara merata di setiap desa dan pelosok. Maka urgen bila pendampingan relawan dan pegiat literasi di desa atau pelosok hendaknya mengantarkan warga pada kemandirian. Sebab nantinya kita mengharapkan bagaimana aksi literasi dapat berkembang secara mandiri dari warga desa. Bahkan dengan bermulanya dari “akar rumput”, aksi literasi dapat menjadi ikhtiar bersama warga untuk membangun desanya. Apalagi bahwa mulai semaraknya taman baca masyarakat dan perpustakaan komunitas-swadaya di kampung atau desa, memberi inspirasi bagi para warga desa untuk berpartisipasi dan terlibat dalam aksi literasi. Hal lain, bahwa forum-ruang membaca buku yang gerakkan oleh komunitas secara swadaya ini sebentuk “sinisme” tidak langsung terhadap pemerintah. Dan ini sesungguhnya membantu mengingatkan para stakeholder agar mulai memprioritaskan pembangunan perpustakaan di desa yang selama ini minim perhatian.

Maka seyogyanya pemerintah desa hendaknya memfasilitasi aksi literasi bagi warga desa. Bahkan justru seharusnya pemerintah desa harus menjadi perintis dan pemantik aksi literasi dengan usaha-usaha seperti mendirikan perpustakaan, taman bacaan atau kelompok membaca. Bukankah hal ini didukung seiring dengan meningkatnya anggaran desa ? Selanjutnya, menghadirkan para pengelola yang mau dan memiliki kemampuan dalam mengelola perpustakaan, pada gilirannya berpotensi menciptakan kreativitas dan inovasi dalam pemberdayaan masyarakat di desa. Bukan tidak mungkin, pemanfaatan perpustakaan berkorelasi dengan produktivitas pertanian atau potensi yang ada di masyarakat. Sehingga kita tidak lagi melihat buku-buku berdiam di sudut-sudut kantor desa tanpa pembaca, dan atau tanpa pengelola. Bahkan pada titik tertentu, orang-orang di desa yang semula abai terhadap buku, malah mungkin mulai resah kala buku dilarang untuk dibaca.

Pada dasarnya ketersediaan akses informasi di desa memang semakin dibutuhkan seiring dengan perubahan sosial yang semakin cepat. Olehnya dengan keberadaan perpustakaan di desa, akan membuka kesempatan bagi para warga desa untuk menyiapkan diri (SDM) dalam menghadapi tantangan, salah satunya bidang ekonomi atau sektor pertanian. Melalui akses informasi (buku dan internet) yang tersedia di perpustakaan, nantinya masyarakat (agraris) lebih siap melihat pasar dan waktu produksi yang ideal, sehingga mampu membaca peluang dan kondisi pasar. Disamping itu dengan adanya akses informasi dan pengetahuan ini, pada gilirannya menjadi ruang pembentukan demokrasi yang lebih merata dan dewasa. Olehnya, sudah saatnya kita mengajak desa agar mendesain aksi literasi yang berangkat dari desa dan untuk desa. Untuk memulai itu semua, ajakan membaca buku di desa senantiasa di kerjakan dengan berbagai usaha, desain dan sinergi.  (irs)

Tulisan ini diterbitkan Koran Go Cakrawala Makassar (18 Mei 2016)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *