Berbicara narasi kepustakawanan, kita sebenarnya menguraikan kisah atau cerita yang terjadi dalam dunia kepustakawanan. Karena kita melihat narasi kepustakawan secara spesifik pada gerakan literasinya maka hal inilah yang kemudian hendaknya direfleksikan. Meskipun penulis belum memiliki kesempatan untuk menelisik narasi kepustakawanan dalam gerakan literasi ini dengan detail atau ilmiah. Akan tetapi dari perbincangan beberapa kawan, salah satunya Ahmad Subhan, yang berkecimpung dalam bidang kepustakawanan, telah menunjukkan asumsi bahwa beberapa orang yang berlatar belakang kepustakawanan bergiat dalam gerakan literasi. Nama yang tersebut seperti Wiem Muldian (alumni IP) yang beraktivitas dalam Forum Indonesia Membaca atau pustakawan dan alumni JIP yang bergiat di YPPI dan barangkali masih banyak ditempat lainnya. Namun apakah kita lantas mengatakan bahwa gerakan literasi yang mereka lakoni adalah “narasi kepustakawanan” ?
***
Seminar yang berlangsung pada milad jurusan ilmu perpustakaan ke-17 dan MUBES IKAJIP IAIN/UIN Alauddin Makassar kemarin, 5 Mei 2016, menjadi “desakan” bergerak terkait kepustakawanan dalam merespon aspek sosial. Sebab itu, pustakawan (mahasiswa, alumni ilmu Perpustakaan) yang saat ini berkecimpung dalam bidang kepustakawanan semestinya tidak hanya memfokuskan tugas-tugas administratif (teknis), tetapi hendaknya melihat aspek sosial-budaya masyarakat. Hal ini juga pernah diserukan oleh Putu Laxman Pendit (pemikir kepustakawanan) dalam “Dari Cicak vs Buaya Sampai Pencitraan Hari Kiamat: Tantangan Kepustakawanan Indonesia“ bahwa kelak kita lebih bersikap sebagai aktivis sosial budaya ketimbang sekedar menjadi tenaga ahli teknis.
Ini tidak terlepas dari tatanan sosial yang bertransformasi sedemikian rupa, dan disinilah kepustakawanan harus mampu menerjemahkan kontekstual dan perkembangan mutakhir. Termasuk bahwa selama ini standarisasi pengelolaan perpustakaan maupun profesionalisme seringkali menjadi kontra-produktif dengan realitas sosial. Artinya pembakuan bukan justru menghadirkan kekakuan berkepustakawanan.
Salah satu prinsip atau hukum ilmu perpustakaan menurut Ranganathan, “a library is a growing organism”, membuka kesadaran kita bahwa sesungguhnya perpustakaan seyogyanya beradaptasi dan “hidup” dalam dinamika sosial. Namun tidak cukup untuk sekedar beradaptasi karena kepustakawanan diharapkan membuat arus atau rekayasa sosial dalam mengajak rakyat membaca. Olehnya, gerakan literasi yang sekarang menunjukkan geliatnya hendaknya menjadi aktivitas yang terintegrasi dalam aktivitas kepustakawanan.
Bagi penulis, sebenarnya literasi itu sendiri adalah nafas kepustakawanan. Dikatakan seperti itu karena pustakawan memang memiliki tugas pokok menyediakan akses informasi-bacaan kepada masyarakat. Hal ini memang terkesan memaknai istilah literasi hanya dari akar definisinya, yang sering kita katakan sebagai kemampuan membaca dan menulis atau keberaksaraan. Adapun istilah literasi yang kemudian dimaknai secara luas dewasa ini, dan dalam berbagai istilah yang berawalan literasi seperti literasi informasi (telah disinggung oleh Quraisy Mathar dalam seminar ini), literasi media, literasi keuangan dan sebagainya, pada dasarnya membutuhkan akses informasi-referensi dan pengetahuan. Namun tulisan ini tidak akan membahas lebih jauh definisi kepustakawanan dan literasi. Dan gerakan literasi dilihat sebagai usaha-usaha membuka ruang baca (perpustakaan, taman baca dan istilah lainnya) dan menggelar kelompok-kelompok membaca dan menulis dengan berbagai pendekatan atau pengadaptasian. Usaha-usaha ini memang juga dilakoni dalam bidang kepustakawanan secara teknis, yang membedakan adalah gerakan literasi disini menjadikan pustakawan sebagai “pegiat” literasi dan atau literat serta keterampilan sosial yang dimilikinya. Olehnya eksistensi dan peranan pustakawan jelas dibutuhkan.
Jika kita melihat fenomena gerakan literasi, penggarapannya dominan dikerjakan oleh orang-orang yang memiliki kecintaan terhadap pustaka dan para volunteer (relawan) yang sedang mewabah dengan “virus-virus” kebaikan. Yang terakhir, menjadi fenomena kontemporer yang cenderung datang dari masyarakat urban dan kelas menengah-tedidik di kota-kota besar. Arus semacam ini pun semakin terlihat semarak dengan kolaborasi yang atraktif dan nuansa pop diantara komunitas-komunitas literasi. Mengenai geliat gerakan literasi di Sulawesi Selatan, pada seminar kemarin telah dilaporkan oleh Sulhan Yusuf. Bahkan secara gamblang ia menunjukkan model-model gerakan literasi dengan adaptasi-modifikasi kontemporer. Baginya gerakan literasi dewasa ini bagaikan flash disk yang bisa dicolokkan.
Dengan munculnya geliat gerakan (komunitas) literasi di berbagai daerah semestinya menjadi kabar gembira bagi insan kepustakawanan. Lalu, dukungan secara personal pustakawan dan atau institusi (perpustakaan) terhadap gerakan literasi seperti diatas pun pada gilirannya diharapkan dapat bersinergi dalam kedinamisan komunitas literasi. Dengan sinergitas itu, kita secara padu mendesain gerakan literasi yang lebih massif menjadi gerakan sosial. Dan insan kepustakawanan sudah selayaknya mengapresiasi narasi gerakan literasi sebagai inspirasi, referensi dan evaluasi, demikian halnya sebaliknya. Sebab jika tidak, bukan tidak mungkin perpustakaan dan profesi pustakawan akan menghadapi krisis secara fungsional. Dan disamping itu, pustakawan (terkhusus perpustakaan umum yang dikelola pemerintah maupun swasta) pun perlu membangun ruang interaksi kepada masyarakat secara dinamis didalam perpustakaan, yang notabene selama ini dirantai oleh struktur dan birokrasi yang kaku.
Melihat situasi diatas, maka disinilah peran jurusan ilmu perpustakaan perlu memikirkan dan meramu kurikulum yang mampu menjawab dinamika sosial. Kalau kita masih memiliki kepercayaan bahwa kampus bukan menara gading, maka sudah saatnya melihat fenomena sosial-budaya dan perkembangan mutakhir. Pertanyaannya sekarang, apakah profesionalisme pustakawan hari ini adalah output yang bermula dan terbentuk dari ilmu perpustakaan, atau hal itu terbentuk pada ikatan profesi (IPI) dan atau baru bermula saat berada di perpustakaan ? Pertanyaan seperti itu, pada akhirnya menggugah bahwa kita hendaknya tidak terisolasi pada kurikulum yang belum mampu melihat aspek sosial-budaya secara mutakhir. Sehingga alumnus ilmu perpustakaan merasa siap dengan realitas sosial yang sedemikian rupa. Bukankah mahasiswa ilmu perpustakaan belajar di fakultas ilmu budaya-ilmu sosial dan humaniora.
Karena muaranya juga adalah mahasiswa ilmu perpustakaan (calon pustakawan) itu sendiri, maka lembaga kemahasiswaannya pun perlu merancang pembentukan karakter yang terintegrasi dengan kurikulum diatas, atau jika jurusan tidak mampu menerjemahkan realitas sosial diatas, maka HIMAJIP perlu menghadirkan rancangan itu sebagai alternatif. Bukankah mahasiswa memang harus keluar kejalan melihat realitas sosial ? Satu hal penting bagi mahasiswa ilmu perpustakaan untuk memerankan gerakan literasi sebagai kompetensi sosial, adalah dengan membaca, menulis, berbicara dan berlembaga, sebagaimana hal ini juga dipesankan oleh Muh Syarif Bando kemarin. Sebelum terjun kedalam gerakan itu dan mengajak orang membaca, maka selayaknya mahasiswa perpustakaan harus khatam dengan dirinya (identitasnya). Nanti pada gilirannya, IKAJIP akan menjadi ruang penyegaran idealisme kepustakawan, menampung aspirasi, pengalaman dan tantangan.
Irsan adalah Ketua IKAJIP IAIN/UIN Alauddin Makasssar Periode 2014-2016