Tadinya saya terpengaruh oleh keriuhan komentar dan tulisan kritis yang membincangkan seorang politisi di negeri Lorong Tikus ini. Saat saya bersama kawan-kawan sedang mengisi perut di Warung Lamongan, tontonan itu seperti menjadi menu tambahan kami hari itu. Menu kejutan. Kehebohan itu pun menjadi topik beken bagi para penyalur berita. Saya kadang merasa prihatin dan sekaligus berhati-hati untuk menyampaikan pendapat soal seperti itu. Namun naluri untuk merespon perihal demikian seperti kehausan. Bagi sebagian orang, berpikir dan berpendapat cukup mudah untuk dilakukan. Yang juga dalam tahun dua ribu belasan ini kicauan segampang menggerakan jari-jari. Saya ingin menulis sesuatu.
Di titik ini, saya berpikir keras tentang apa yang akan saya tuliskan. Dan barangkali selalu begitu. Gawatnya, beberapa bulan ini saya diterkam oleh kesibukan teknis yang mengucurkan banyak keringat. Alhasil, tulisan ini terbata-bata untuk menyampaikan sesuatu. Jari-jariku ikut beku dan tidak tanggap. Walau juga saya harus bilang : saya adalah penulis yang selalu bangun terlambat dan cepat tidur. Makanya berita heboh diatas hanya kuperoleh saat kelaparan.
Saya selalu yakin, apa-apa yang kusampaikan tidak mengagetkan siapapun. Sebabnya selain saya bukan penulis yang ditunggu-tunggu, juga karena masih asal bunyi. Parahnya, jangan menunggu yang tidak pasti akan muncul. Karena saya masih bertanya apakah saya adalah penulis atau tak berstatus ? Itulah saya saat ini. Sejujurnya saya terobsesi untuk menuliskan banyak hal, terutama jika telah membaca dengan seksama artikel-artikel serius dan komedi di internet. Semacam mengasah ujung-ujung jari untuk bergerak mengikuti ide dan imajinasi. Meskipun apa yang kusampaikan adalah sebuah rencana dadakan.
Di beberapa tulisan yang lalu saya selalu terkejut dengan apa yang saya telah tuliskan. Lebih terkejut lagi jika keesokan harinya seorang memberi selamat melalui SMS atas terbitnya tulisanku di media cetak. Saya merasa proses kreatif yang selama ini kulakukan seperti gugatan dan gangguan. Sampai saat ini saya masih mencari kedirian untuk menulis. Yang paling membayangi adalah ungkapan lazim dari motivator menulislah apa saja dulu. Nah, mungkinkah tulisan ini merupakan anjuran bijak itu ? Semoga tidak.
Di paragrap seperti ini lagi-lagi saya menulis tanpa mengurai latar belakang dan permasalahan yang jelas. Jika di urut dari atas, jelas ada bahasan yang tidak relevan dan terstruktur. Dan mungkin paragraph berikutnya. Memang menulis bukanlah pekerjaan ringan. Kalimat tersebut seringkali merayuku, kalau bukan saya yang merayunya sendiri untuk terbesit. Pokoknya sampai disini tulisan ini berantakan. Yang membuat saya bertahan hanyalah kalimat tadi diatas.
Kuhitung-hitung, sampai dititik kalimat ini berjumlah 394, 36 baris dan 5 paragraf. Itu artinya saya harus menguraikan bahasan pada paragraph awal. Ok saya akan lanjutkan. Walaupun akhirnya yang ingin kusampaikan hanyalah ucapan berikut : AYO BANGUN KAWAN-KAWAN KALAU INGIN MEMBANGUN ?
“Woi, Tidak nyambung” …..
“Yang penting bangun dulu bro” …
“Bangun apa ?”…..
“Bangunlah jiwanya bangunlah raganya”…
“Untuk apa ?, gak nyambung”…..
“Untuk revolusi”…
“Revolusi ?”…..
“Iya, membaca dan menulis”…
“Maksudnya ? gak nyambung apa tuli sih”…..
“Merdeka !”…
“Woi, bangun !!!”…..
Akhirnya saya terbangun. Terima kasih kawan-kawan telah ikut dalam mimpiku.