Membaca Dunia Sophie karya Jostein Gaarder, tidak saja membawa pembaca mengikuti pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh Sophie. Mengeja nama Sophie dalam novel filsafat ini seperti menyebut nama kita (pembaca) sendiri. Kalau anda sampai pada membayangkan diri : saya adalah Sophie, maka itu tidak terlalu mengherankan. Nyatanya, kita membaca novel ini, selain belajar tentang sejarah filsafat (filosof dan pemikiran), juga ikut mempertanyakan kedirian dan Tuhan. Narasi di dalamnya seperti menguggat kita untuk ingat bahwa kita adalah bagian dari sebuah skenario. Tak lebih dari narasi itu sendiri. Novel ini menjadi sebuah dialektika lintas zaman yang mengalir dalam dunia Sophie. Seakan-akan kita melihat reuni dan dialog para filosof dari abad-abad terdahulu pada sebuah film.
Ketika goresan pena ‘memberontak’ kepada pengarangnya. Ide dan perasaan terengkuh dalam material teks (narasi), lalu bangkit dan mencari celah untuk hilang dari bayang-bayang pengarang. Intervensi pengarang pada cerita ini, dikisahkan bagai suara manusia yang tak bisa disumbat apalagi ditarik kembali untuk hening. Ide itu bagai matahari yang terbit dengan patuh, atau lampu yang menyala mengikuti kehendak tangan manusia. Dalam arti, ide yang terwadahi dalam teks (buku) mendapati dirinya sebagai ‘takdir’ dan kehendak mutlak aktualisasi ide.
Ketika narasi itu rampung dalam buku, maka tiada lagi jalan dari teks (narasi) itu untuk menghindar dari tangan pembacanya. Meski di dalam narasi pada halaman akhir buku tersebut, tokoh-tokohnya berusaha mengalihkan perhatian pengarang, namun faktanya buku itu sudah hadir di tangan Hilde, buku ini sudah hadir di tanganku, artikel ini sedang hadir di tangan pembaca.
Adalah Alberto Knox yang menjadi penganggu zona nyamannya Sophie pada rutinitas seharian. Mula-mula melalui surat-surat Alberto yang mengejutkan Sophie dengan beragam pertanyaan eksistensial dan menggugat realitas kedirian. Aktivitas surat menyurat pun berlangsung berhari-hari kemudian. Dan selanjutnya surat-surat itu seperti bayang-bayang yang menyertai Sophie di mana saja. Alhasil Sophie terjebak dalam dunia yang seakan-akan dirinya terlahir kembali. Dengan sedikit berani, ia mulai meluncurkan pertanyaan-pertanyaan dari dunia barunya kepada ibunya. Namun si Ibu yang telah terjebak oleh rutinitas yang melegitimasi, melihat aktivitasnya sebagai sesuatu yang biasa dan wajar. Kebiasaan yang terbentuk pada kehidupan Ibu lalu dikritik karena semu dan jenuh. Tapi bagi si Ibu, pertanyaan seperti itu dianggap lazim bagi remaja 15 tahun yang diduga sedang dilanda jatuh cinta pada seseorang.
Sophie menyangkal hal itu. Walaupun sebenarnya memang ia jatuh cinta pada dunia barunya: filsafat.
“Hanya Filsafat yang dapat membawa kita mendekati ayah Hilde,” kata Alberto kepada Sophie.
Ungkapan Alberto itu kemudian merepresentasikan tentang potensi manusia “mengenal” asal mula dirinya dan tuhannya melalui filsafat. Bagi Sophie dan Alberto, ayah Hilde adalah pencetus kehadiran mereka berdua. Sementara Hilde adalah malaikat yang tergoda melihat gugatan kedua tokoh “fiksi” di mata ayahnya.
Interaksi edukatif dan imajinatif antara Sophie dan Alberto Knox sesungguhnya merupakan kado ulang tahun untuk Hilde dari ayahnya, Mayor Albert Knag. Kado itu adalah buku “Dunia Sophie”. Sebuah kado yang tidak biasa. Pernahkah ayahmu memikirkan dirimu dengan sebuah kejutan seperti itu? Coba dengarkan yang dikatakan Albert Knag tentang kejutan ini.
“Itulah saat aku memutuskan untuk menulis sebuah buku tentang filsafat untukmu. Aku telah mendatangi sebuah toko buku besar Kristiansand dan ke perpustakaan pula. Tapi mereka tidak punya bacaan yang cocok untuk anak muda.”
Lantas bagaimana dengan perpustakaan dan toko buku saat ini, apakah belum menyediakan bacaan yang cocok untuk anak muda? Atau jika merujuk pada usia Sophie dan Hilde yang 15 tahun, maka ini tertuju pada usia pelajar SMP/SMA. Lalu pada usia itu, apakah kita (pernah atau akan) membaca buku filsafat ? Sedang di sekolah-sekolah pelajar masih asing dengan filsafat.
Malah pada kasus tertentu, pelajar tidak dibiarkan merdeka untuk memilih bacaan. Bahkan penulis pernah mendapati sebuah kecemasan yang tabu dari pendidik terhadap novel-novel yang diklaimnya merusak atau menampilkan adegan percintaan nan intim. Katanya: belum layak, belum cukup usianya. Yang lain mungkin akan bertanya, pada usia berapa kita akan membaca novel seperti itu jika tenyata iman atau sikap kritis belum melekat pada diri kita. Mungkin, pada akhirnya mereka berkata: ketika buku itu diberangus.
Sekalipun Albert Knag adalah pengarang “Dunia Sophie”, tapi ia juga tidak lepas dari cengkraman kebebasan Jostein Gaarder. Lalu Jostein Gaarder mungkin akan terombang-ambing dalam pemaknaan yang multitafsir dari para pembacanya. Maka apapun yang saya kemukakan dalam tulisan ini tidak lain dari sebuah kebebasan dan kehendak untuk menyampaikan gagasan atau nilai-nilai tertentu. Perbedaan tafsir atas novel tersebut tentu saja akan lahir jika anda tertarik membaca buku tersebut. Buku ini masih tersedia di toko buku dan perpustakaan.
Untuk lebih mudahnya, saya akan membantu anda yang tertarik membacanya dengan mempersilahkan Anda berkunjung ke Perpustakaan Umum Enrekang (PUE). Ditambah kita bisa mendiskusikannya dengan mengaitkan Dunia Sophie di Enrekang.