Tepat pada tanggal 10 November 2015 nanti, UIN Alauddin Makassar akan genap berusia 50 tahun. Pada tahun 2015 ini, setelah setahun masa transisi yang berlangsung alot dengan serangkaian polemik, akhirnya pimpinan UIN Alauddin memiliki formasi baru. Pergantian ini diiringi dengan bergantinya seluruh pimpinan fakultas, jurusan dan lembaga/unit pelaksana teknis secara bertahap. Dalam periode yang baru ini, maka harapan untuk menjadikan UIN Alauddin kearah yang lebih baik adalah tugas kolektif seluruh sivitas akademika.
Namun yang menarik kita simak ialah adanya kesan mengungkung lembaga kemahasiswaan untuk tidak melakukan aktivitas yang melibatkan mahasiswa baru dalam waktu satu tahun. Kebijakan ini memang bukan informasi baru bagi mahasiswa, sebab pada tahun-tahun sebelumnya lembaga kemahasiswaan juga dikontrol secara sepihak. Alasan ini disinyalir berangkat dari pengalaman masa lalu yang dianggap kelam yaitu ketakutan birokrasi kampus akan terjadinya perpoloncohan atau tindakan kekerasan. Maka melalui kebijakan yang tertera secara resmi dalam pengumuman yang disebarkan ke lembaga kemahasiswaan ini, praktis mengekang hak mahasiswa baru untuk mencari pengetahuan dan pengalaman di luar jam akademik. Dan lembaga kemahasiswaan yang memiliki fungsi melembagakan nilai-nilai kemahasiswaan dengan beragam kegiatan ilmiah dan mengembangkan potensi keilmuan mengalami kebuntuan. Bahkan bukan hanya organisasi intra kampus yang di tujukan, tetapi juga menghambat organisasi ekstra kampus yang berbasis Islam maupun nasional.
Kebijakan ini seakan menutup mata dan telinga atas prestasi yang diraih oleh para pemegang kebijakan di dalam kampus. Sebabnya ialah kita sendiri melihat fakta bahwa para akademisi tersebut tidak sedikit yang pernah terlibat secara aktif dalam lembaga kemahasiswaan, bahkan membanggakan diri pernah ikut bergabung didalamnya. Yang paling ironinya, pembinaan kemahasiswaan pada masanya lebih dibanggakan dengan kontekstual yang berbeda. Melalui alasan kontekstual ini jugalah yang menjadi penguat mengekang mahasiswa dengan mengatakan idealisasi mahasiswa mengacu pada zamannya.
Bahkan semenjak diluncurkan program Character Builiding Program (CBP) yang telah melahirkan 3 generasi, kepercayaan akan mahasiswa atau alumni program CBP –yang sekarang dominan sebagai pengurus lembaga kemahasiswaan- sepertinya diabaikan. Padahal output dari pembinaan program CBP sudah seharusnya memperlihatkan momentumnya dengan mengaktifkan karakter yang telah dibentuk kedalam lembaga kemahasiswaan. Disini pula secara implisit menjelaskan bahwa program CBP belum menemui kepercayaan dirinya karena tidak percaya terhadap aktivitas yang dijalankan oleh lembaga kemahasiswaan. Padahal hasil CBP seharusnya menjadi bagian integral dan knowledge creation dalam upaya menciptakan nuansa akademik dan ilmiah dalam lingkungan LK. Mereka seharusnya diberi kesempatan untuk mengimplementasikan karakter yang di isi oleh para mentor program tersebut.
Maka kitapun hendaknya bertanya secara evaluatif, karakter apa sesungguhnya yang ditanamkan oleh CBP selama tiga hari pada seluruh mahasiswa setiap tahunnya ? Adakah upaya dari CBP selama ini untuk memberikan penyegaran kepada mahasiswa baru terkait dengan LK agar kedepannya dapat menjadi lembaga yang strategis dalam membantu mewujudkan visi dan misi kampus ? Hal ini perlu dijadikan renungan, sebab mahasiswa (LK) dalam program tersebut memang tidak dilibatkan dari awal. Itu juga disinyalir karena ketidakpercayaan pimpinan terhadap mahasiswa (senior) untuk ikut membentuk karakter juniornya.
Ketika seharusnya mahasiswa diberikan pengenalan keilmuan profesi dan kemahasiswaan, justru LK disulitkan dengan perizinan kegiatan bahkan terancam dibubarkan tanpa melihat dampak dan tradisi intelektual yang di kerjakan oleh LK. Pimpinan seakan-akan tidak mau repot atau pusing untuk membina dan mengawasi kegiatan yang melibatkan mahasiswa baru, malah memilih mengeneralisirkan pelarangan mengadakan kegiatan selama setahun. Yang ironi, setelah peristiwa penyerangan dan perusakan fasilitas fakultas yang terjadi hari ini oleh sejumlah oknum-oknum mahasiswa dari salah satu fakultas adalah bentuk pertanyaan terhadap karakter apa yang sesungguhnya selama ini di bentuk oleh CBP maupun lembaga kemahasiswaan.
Persoalan kemahasiswaan sebenarnya tidak hanya berlangsung di Kampus UIN Alauddin Makassar, tetapi juga pada kampus-kampus lain. Bahkan pembatasan terhadap kegiatan mahasiswa mengindikasikan terjadinya aktvitas mahasiswa yang tidak bermuara pada hal yang positif. Ketimbang berusaha menggeser LK untuk berpartisipasi dalam pembentukan karakter, alangkah baiknya jika sinergitas dapat dibangun atas dasar kepercayaan dan keharmonisan antara mahasiswa dan dosen-dosen (pimpinan kampus).
BERSAMBUNG……….
Penulis adalah Mantan Ketua BEM-F Adab & Humaniora 2013 dan Ketua HMJ Ilmu Perpustakaan 2011 dan Ketua Ikatan Alumni JIP UIN AM 2013-2015.