Falsafah Iqra’ Sebagai Landasan Berhijrah

Refleksi atas momentum Tahun Baru Islam 1437 Hijriah memiliki beragam makna pada kondisi Islam kontemporer. Sebab itu membincangkan tentang tahun baru Islam dengan spesifikasi makna hijrah pun terbuka untuk membicarakan hijrah dalam multidimesi. Makna hijrah senantiasa mengacu pada peristiwa-perisitiwa yang berlangsung pada masa Nabi Muhammad mengantarkan Islam dan umatnya ke pintu gerbang ‘madinah’ (masyarakat madani). Perjalanan yang menjadi ilham ini kemudian menjadi idealisasi atau inspirasi yang selalu dikembangkan dalam berbagai unsur kehidupan bermasyarakat dan bernegara umat Islam. Namun hal-hal yang mendasar dan subtantif selalu perlu untuk di utarakan dan di elaborasi dalam konteks kekinian. Salah satu hal yang penulis anggap penting untuk senantiasa dibumikan yaitu (falsafah) iqra’ sebagai landasan berhijrah.
 
Tafsir atas iqra’ (QS Al-’Alaq : 1) dalam kitab suci memang tidak mengeksplisitkan makna rinci tentang perintah membaca. Quraisy Sihab dalam Tafsir al-Mishbah jilid ke-15 menyebutkan objek dari perintah membaca dalam surat Al-Alaq bersifat umum yaitu membaca diri, alam, masyarakat dan teks suci serta teks lainnya. Sebab itu makna membaca ini juga bisa diartikan sebagai proses menganalisa, menelaah dan menafsirkan sesuatu -olehnya tulisan ini adalah bagian dari proses membaca. Namun isyarat tentang pentingnya membaca teks (tulisan) dapat ditemukan pada ayat ke-4 dari surat diatas yaitu qalam (pena). Sebagaimana hal ini di kuatkan pada surat Al-Qalam ayat 1.
 
Sementara dalam perkembangan perbukuan, pentingnya membaca teks dimaksudkan karena kompleksitas pemikiran dan pengalaman manusia senantiasa dirangkum/dieksplisitkan, dilestarikan dan disederhanakan dalam teks atau buku. Bahkan pedoman umat Islam dan narasi Islam jelas terangkum dalam medium berupa teks (kitab) Al-Quran dan buku-buku. Kita sepakat bahwa teks (tulisan) bukanlah satu-satunya medium untuk menyampaikan dakwah dan risalah. Sebagaimana kita mengetahui bahwa Nabi Muhammad hingga akhir hayatnya tidak pandai membaca tulisan, tetapi Nabi Muhammad adalah medium atas teladan atau pedoman hidup. lmplisit ini sendiri diisyaratkan ketika Aisyah RA menjawab pertanyaan Hisyam bin Amir tentang akhlak Nabi Muhammad dengan berkata “Akhlak Nabi SAW adalah Al-Qur’an” (HR Muslim). Maka disini makna ‘teks’ (qalam) juga tidak serta merta apa yang tertulis, tetapi juga tentang apa yang kita lakoni (perbuat) adalah “teks dinamis” (aplikatif).
 
Selaras dengan itu, penulis teringat argumen Ishak Ngeljaratan (Budayawan Sulsel) ketika membedah buku Alwy Rachman (Budayawan Sulsel) “Ruang Sadar Tak Berpagar” (5/6/2015) yang menyatakan bahwa ucapan-ucapan atau tulisan seseorang tercermin dalam banyak tindakan, dan fungsi “kenabian” adalah melakukan hal-hal analitis. Maka dalam konteks ini, membaca (menganalisa) kondisi kekinian melalui membaca sumber-sumber teladan, inspiratif dan edukatif adalah bagian dari upaya untuk integritas dan melakukan ‘revolusi mental’. Urgensi membaca ini dalam kaidah Islam di jelaskan Agus Rifai (Pustakawan UIN Jakarta) dalam bukunya Perpustakaan Islam, dengan mengutip Muhlish Usman (1996) bahwa “perintah pada sesuatu berarti perintah atas mediumnya, dan bagi medium hukumnya sama dengan hal yang dituju”. Sebab itu ketika manusia telah (mampu) memetik informasi dan pengetahuan dari medium (obyek dan subyek), maka transisi pengetahuan ini kedalam medium baru (subyek) adalah “teks dinamis”. Sementara potensi kemanusiaan dan pengalaman subyek adalah “teks” yang secara fitrah menyediakan sumber untuk menjadi “teks dinamis”.
 
Olehnya, mengembangkan tradisi literasi (baca dan tulis) merupakan konsep yang tidak saja akan membawa ke jalan yang lurus. Namun juga harus di maknai bahwa aktivitas literasi adalah bagian dari perintah Islam yang fundamental. Masa keemasan Islam yang terkisahkan pada kesultanan Abbasiyah adalah warisan/referensi atas dampak tradisi literasi yang kuat sekaligus konfirmasi impelementasi falsafah iqra’dalam umat (ilmuwan) Islam pada zaman tersebut.
 
Sebab itu, dalam konteks Islam di Indonesia, setelah dua ormas Islam terbesar di Indonesia (NU dan Muhammadiyah) bermuktamar dengan wacana Islam Nusantara dan Islam berkemajuan, maka wacana literasi (Islam) sudah seharusnya menemukan relevansi atas momentum ini. Alasannya adalah bahwa menjadikan Islam Nusantara sebagai bagian dari filterisasi ajaran ekstrem-radikal yang sewaktu-waktu dapat merasuki umat di Indonesia, harus disiapkan dengan penciptaan nuansa (budaya) literasi (islam) yang otentik, baik itu melalui institusi pendidikan Islam yang khas dari keduanya maupun pendidikan Islam yang diselenggarakan oleh pemerintah. Sementara upaya untuk Islam yang maju seyogyanya berkolerasi dengan SDM (umat) yang berbudaya literasi tinggi. Demikian Negara yang warganya berbudaya baca adalah Negara yang berkeinginan maju. Bahkan dari perspektif politik, partai Islam perlu didorong untuk mengusung tradisi literasi (Islam) dalam internal atau tubuh partai itu sendiri, sehingga kelak kader, anggota legislatif maupun eksekutif dan yudikatif yang berasal dari partai (ormas) Islam dapat menjadi “teks dinamis” dan mewujudkan masyarakat madani. Artinya syiar Islam yang tersiar melalui kebijakan publik-politis itu dapat diterima secara universal, sebab literasi merupakan nilai dasar dari setiap agama dan budaya untuk membangun peradaban.
 
Singkatnya, falsafah iqra’ menjadi suatu jalan keagamaan, kebudayaan dan kebangsaan yang memberi landasan bagi Islam dan Indonesia untuk berhijrah dari segala keterpurukan dan dalam upaya menggapai cita-cita.  (irs)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *