Kita sering mendengar “sejarah adalah identitas”. Berikutnya sejarah diidentifikasi sebagai seseorang, kelompok, ideologi, dan kebudayaan yang berinkarnasi kedalam pemahaman dan laku manusia. Sejarah bisa saja bukan kita, sebab narasinya terlahir dari mereka yang punya kuasa-merekayasa. Walau juga, sejarah sesungguhnya adalah kita. Tapi apapun latar belakang hadirnya sejarah, kita telah diberi catatan atau kode bahwa rentan waktu itu ada sesuatu. Selebihnya itu tugas kita mempelajari secara teliti atau mendasarkan diri pada kritikus teks yang menamakan diri ahli bibliografi dan sejarawan.
Banyak orang mempelajari sejarah, tetapi hanya untuk dilafalkan atau dihapalkan. Atau mereka memahami sejarah tapi sekedar hinggap sebagai subektivitas pemahamannya. Yang paling mengerikan ialah mereka yang belajar sejarah tetapi tidak belajar darinya. Persoalannya apakah dengan belajar sejarah sama sekali mengintervensi atau memberikan pilihan bertindak atas pembacaan dan pemahamannya. Dan disinilah kita perlu bertanya : mengapa mereka yang belajar sejarah melupakan sejarah ? Ataukah sejarah memang bukan instrumen untuk melakukan perbaikan hidup dan beserta seisi dunia ? Bagaimana mungkin seseorang yang telah mengetahui sejarah tentang peperangan dan ketidakadilan, memerankan “sejarah” (itu kembali) yang secara universal dianggap “sebagai pelajaran agar tidak terulang kembali atau menghindari potensinya”. Maka tidak salah jika kita mengatakan, mereka mungkin melupakan sejarah : melupakan identitasnya (dirinya). Seperti misalnya, kita sepakat bahwa warga Indonesia tidak akan membiarkan kembali bangsa Indonesia terjajah.
Orang sering khilaf dengan berkata “maaf saya lupa diri”. Nah, lupa diri bukankah lupa sejarah (tentang dirinya). Maka jika kita melepaskan sejarah dari bagian hidup kita, pada saat itulah sebenarnya kita tidak pernah belajar apapun tentang kehidupan yang lebih baik, baik itu untuk diri-sendiri maupun orang lain. Kasus besarnya ialah seperti ketika mereka yang berperang atau sekedar berkelahi di usia yang sudah dewasa.
Lalu bagaimana mungkin kita akan mengatakan kewajaran atas ‘perkelahian’ pelajar-mahasiswa dan kaum intelektual yang belajar dan diajarkan tentang sejarah. Kecuali jika mereka masih balita yang baru mengenal sebuah perkelahian : sebuah sejarah awal tentang perkelahian bagi balita itu. Namun, mana mungkin kita ingin terus-terusan menjadi balita (kekanak-kanakan), sementara dalam kondisi demikian tidak akan menciptakan sejarah. Artinya jika ia tumbuh dewasa, maka sesungguhnya sejarah adalah bagian dari kedewasaan itu. Akhirnya, karena sejarah adalah referensi kebaikan, sekali lagi, jangan lupakan sejarah, baik itu sejarahmu, bangsamu atau sejarah itu sendiri. (irs)