Mengapresiasi Gerakan Literasi Makassar

Atmosfer Literasi Makassar sedang tumbuh-berkembang, dan memperlihatkan antusiasnya. Event-event literasi dalam skala internasional maupun nasional, menjadi fenomena yang semakin rutin di gelar. Hal ini juga ditandai dengan terbitnya berbagai penulis-penulis muda di Kota Makassar yang menunjukkan prestasi dan fajar intelektualisme. Munculnya geliat tersebut bukan berarti gerakan literasi tidak menemukan eksistensinya pada masa-masa terdahulu. Namun, perkembangannya saat ini lebih ‘mempesona’ dengan hadirnya komunitas-komunitas literasi. Aktivitas ini juga dominan digerakkan oleh kawula muda Makassar yang bersemangat dalam dunia literasi. Di samping memang terjadi pertumbuhan berbagai jenis komunitas sebagai respon masyarakat kota (urban) terhadap semangat (kerelawanan) berbagi, berkarya dan bersilaturahmi dalam suatu minat tertentu.

Gerakan literasi yang dilakukan oleh komunitas literasi ini tampak dan berlangsung melalui pendirian perpustakaan (berbasis) komunitas dan taman bacaan serta sumbangan buku-buku ke pelosok-pelosok secara swadaya. Meskipun inisiasinya juga tak jarang berangkat (terinspirasi) dari individu-pribadi yang menamakan dirinya sebagai penulis, pegiat literasi atau aktivis perbukuan. Melalui pendirian perpustakaan/taman bacaan, komunitas literasi selanjutnya menjadikannya sebagai wadah atau basis aktivitas literasi. Sebab disadari, kegiatan literasi (baca-tulis) tanpa fasilitas akses bacaan mustahil dapat berlangsung.

 

Beberapa komunitas literasi diantaranya yang penulis contohkan yaitu Kampung Buku (Inninnawa Library), Rumah Baca Philoshopia (Philoshopia Institute), Kedai Buku Jenny, dan Perpustakaan Kata Kerja (Kata Kerja) serta komunitas-komunitas literasi lainnya. Aktivitas dalam perpustakaan komunitas diatas tidak sekedar menjadi ruang baca dan sirkulasi (simpan-pinjam) buku, tetapi juga di isi dengan ruang berdiskusi, bermusik, kelas kerajinan tangan dan kelas-kelas kreatif yang dilakukan secara variatif dan menarik. Pendekatan atau aktivitas tersebut dalam praktiknya juga menjadi pembeda dengan program “gerakan gemar membaca” yang digagas pemerintah dan perpustakaan-perpustakaan ‘formal’ yang terkesan kaku dan hanya fokus aktivitas teknis ketimbang aktivitas sosial-budaya.

 

Disini kita dapat melihat bagaimana konstruksi makna membaca dan upaya mendekatkan masyarakat pada literasi, dijalankan melalui kedinamisannya dan dalam perpaduannya melalui musik dan ruang kreatif. Seperti diantaranya menggelar forum membaca (membincangkan) buku tertentu dan mengadakan pagelaran musik indie dan bedah film. Aktivitas literasi seperti ini secara tidak langsung mengusung gerakan alternatif dalam ikhtiar mencapai ‘budaya baca’, sekaligus menepis stigma rendahnya minat baca kita. Pola tersebut juga pada akhirnya dapat mengkritisi formalisme dan ‘proyek-proyek’ pembudayaan kegemaran membaca ala ‘politikus’ yang hegemonik melalui media.

 

Selanjutnya, praktik-praktik literasi diatas perlu dilegitimasi secara ‘berbeda’ oleh para pegiat literasi yang berhimpun dalam komunitas tersebut. Pelan-pelan mereka dapat membangun konstruksi sosial dan struktur atau pola gerakan literasi secara bersama dalam aktivitasnya yang variatif. Yang memang sudah nampak terbangun interaksi simbolik diantara pengelola/komunitas secara intersubjektif dalam mendefinisikan dan memaknai gerakan literasi Makassar. Mengenai hal ini, sebelumnya telah di tunjukkan oleh Ninis Agustini Damayani dalam penelitiannya pada fenomena perpustakaan komunitas dan komunitas literer di Bandung yang dibahas dalam buku Merajut Makna : Penelitian Kualitatif Bidang Perpustakaan dan Informasi.

Disamping  itu, gerakan literasi yang dibangun harus memberikan atau menghadirkan alasan logis dan inspiratif mengapa masyarakat harus membaca. Tidak sekedar menyediakan atau membantu pengadaan buku bacaan, apalagi jika tidak menganalisis kebutuhan akan sebuah bacaan. Sebab tidak dapat dipungkiri bahwa selama ini ajakan membaca menjadi pesan ‘mekanis’ dan ‘politis’ yang tidak mengunggah, namun justru mengesankan ‘utopis’ saat diteriakan secara serampangan dan tanpa pendampingan yang serius. Singkatnya, gerakan literasi harus punya ‘narasi logis’ yang menjadi alasan mengapa literasi (membaca-menulis) begitu penting dan baik, baik dari perspektif agama, Negara, dan budaya. Lalu narasi politik jelas tidak dapat diabaikan selama itu benar-benar mewujudkan keberpihakan yang sama dengan cita-cita dalam membentuk gerakan literasi. Dengan kata lain, untuk mewujudkan masyarakat literasi maka dibutuhkan gerakan yang mengakar, mencerahkan dan sungguh-sungguh dari para komunitas literasi dan dalam kolaborasi dengan elemen-elemen yang berpihak. Para pegiat literasi selanjutnya dapat menjadikan ruang baca sebagai ‘gaya baru’ dalam berkomunitas dan ruang-media sosial baru, tetapi bukan sekedar larut dalam “gaya” tanpa makna.  (irs)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *