Suasana kehidupan seperti Kota Makassar semakin atraktif, tidak saja karena produktivitas dan kreatifitas manusia dalam menciptakan artefak budaya, tetapi juga dari pelaku budaya yang menampakkan tubuh yang atraktif. Tak disangka, bahwa tubuh sosial yang tercipta dari diri kita, memancarkan tubuh-tubuh yang semakin heterogen. Keunikan setiap tubuh (sosial) jelas berlangsung dari apa yang kita namakan sebagai budaya, dan tentu saja terjadi secara lahiriah. Namun tubuh sosial yang bertebaran dimana-dimana menunjukkan keragaman yang mungkin mustahil berhenti. Walaupun kecenderungan lainnya ialah tubuh sosial kita dipertaruhkan pada identitas : ideology, ekonomi-politik dan agama.
Plato menganggap tubuh adalah penjara/makan bagi jiwa. Tetapi Plato dalam karya terakhirnya juga menyatakan jiwa sungguh lebih unggul daripada tubuh. Socrates menggambarkan jiwa sebagai tawanan yang ditaklukan dengan perangkap atau penjara. Lalu Socrates pun berwacana bahwa kesenangan tubuh jauh lebih baik daripada kesenangan jiwa. Lain daripada itu, tubuh juga digolongkan sebagai tanah liat (Roma-Stoik), Bait Allah (kekristenan), sekuler dan privat (Renaisans) mesin (Descartes) mekanis dan beragam sudut pandang tentangnya.
Perdebatan tentang tubuh yang berlangsung berabad-abad oleh berbagai pemikir, tidak serta merta memperlihatkan satu kata sepakat secara universal. Sebab konstruksi tubuh yang demikian kompleks, berjalan bersama dengan definisi dan interpretasi atas tubuh dalam suatu kebudayaan yang berbeda-beda. Hal ini diisyaratkan dalam buku Tubuh Sosial : Simbolisme, Diri dan Masyarakat yang diulas dengan baik oleh Anthony Synnott.
Sebab itu, Antonhy Synnott menyimpulkan konstruksi apapun atas tubuh menjadi konstruksi diri yang bertubuh. Demikian bahwa tubuh sosial tidak memungkiri adanya pluralitas dalam sebuah masyarakat. Menarik memang, tubuh di Abad dua puluh satu mengalami realitas baru yang mewujud pada efek-efek teknologi informasi dan komunikasi. Boleh dikata, wujud teknologi ini adalah bagian dari konstruksi diri yang “bertubuh”, yang berperan penting dalam mendefenisikan alam dan aktivitas manusia.
Sebagaimana kacamata adalah teknologi yang “bertubuh” atau “indera” dalam manusia. Kecenderungan yang baru tentu saja berangsur-angsur membentuk konstruksi tubuh yang baru. Tubuh dalam pusaran teknologi informasi dan komunikasi pada akhirnya digiring secara ideologis, politis, dan agamis melalui satu dimensi yang menangkapnya yakni visualisasi tubuh. Pengunaan teknologi dalam menopang aktivitas manusia baik dalam kehidupan sehari-hari menjadi aktivitas yang semarak hari ini. Konsep Smart City yang dicetuskan pemerintah juga menjadi arah baru eksistensi tubuh sosial.
Dengan demikian, tubuh sosial ditransformasikan secara teknologis melalui media sosial atau internet. Kecenderungan tubuh sosial hari ini yang tampil secara terbuka dan narsistik, memenuhi arena untuk berkreativitas sekaligus bersaing. Dinamika komunikasi offline, bisa saja terbawa ke dalam media online, begitu pula membawa budaya baru dengan tubuh sosial baru. Sebaliknya, dari bentuk tubuh sosial baru di online, kemudian dapat mempengaruhi aktivitas offline.
Media sosial yang menjadi ruang jejaring, pada taraf tertentu sangat terbuka untuk mendefenisikan tubuh sosial. Bagaimana fenomena berfoto selfie sesungguhnya telah memodifikasi tubuh, utamanya bagian wajah. Namun tentu saja bukankah media sosial seperti Facebook berfungsi sebagai “Buku untuk Wajah” setiap pemilik akun. Dengan embel-embel seperti emoticon yang merepresentasikan perasaan yang ditampilkan secara berdampingan dengan kata dan visual.
Kicauan yang melimpah dan interaktif di media sosial pada akhirnya menjadi alat dokumentasi atau semacam rekam jejak bagi si pemilik akun. Ia berubah menjadi diary bagi aktivitas tubuh sosial. Inilah era kita, era yang mengubah kita menjadi manusia visual. (irs)