Tiada yang menampik, membaca merupakan salah satu pekerjaan menafsir budaya. Goresan pena yang terserap kedalam pikiran adalah dialektika kebudayaan yang terus berlangsung. Manakala hasil bacaan itu disampaikan, maka proses transfer hasil budaya berlangsung dan ditempatkan sebagai memori atau ingatan yang dibagikan.
Pesan yang disampaikan pada dasarnya membutuhkan medium untuk menampungnya. Ia bisa saja berbentuk buku, alat rekam, dan manusia. Manusia merupakan medium awal, karena padanya pesan-pesan alam dan wahyu Ilahi diterima dalam ingatan dan pengetahuan manusia. Penjabaran dan pelestarian pengetahuan manusia pada gilirannya dikembangkan secara modern melalui tulisan. Olehnya, menulis selalu dilihat sebagai aktivitas budaya tinggi, seperti halnya dengan berbicara dengan bahasa tertentu.
Ketika kita membaca sebuah teks, maka penafsiran selalu membuka jalan baru. Walaupun fenomena membaca karena dogma yang begitu kuat dengan pemilahan secara biner (baik dan buruk) sebuah bacaan sering menjadi hambatan. Akan tetapi, kewajaran ini tidak dapat dipungkiri, sebab ideologi sangat menhegemoni persepsi seseorang dalam menelaah bacaan, sekalipun mungkin telah diadakan perbandingan-perbandingan yang komprehensif dan kompleks. Kita seringkali memandang sesuatu karena dibalik pemaknaannya ada idealisasi yang diterapkan. Meski barangkali sangat sulit menemukan persepsi yang tidak berpegang pada idealisasi. Sebab proses pengidelan sesuatu adalah hasil membaca yang memerankan ide-pikiran. Sementara membaca akan terus berlangsung. Itulah sebabnya membaca mungkin menunjukkan anda dua pilihan, menyatukan atau menghancurkan.
Siapapun yang menyaksikan ISIS membakar buku (medium), maka sesungguhnya ia menyaksikan manusia. Ia melihat ancaman penghancuran atau mungkin penyatuan. Namun penyatuan yang dilakukan secara otoriter dengan satu bacaan yang di-homogen-kan selain kitab Suci agama, maka sebenarnya ingin ‘menyaingi’ pikiran dan kitab agama itu sendiri. Sebaliknya, dunia yang dihuni hanya dengan satu kitab, maka sebenarnya sudah dihuni oleh satu umat atau golongan. Ia bahkan mengharapkan satu pikiran, satu hati, satu rasa, dan satu budaya. Bukankah menyatukan ada, karena kita meyakini adanya perbedaan sejak lahir dengan anugerah akal. Sementara hasrat menyatukan, juga adalah hasrat meniadakan. Terutama jika hasrat seringkali mengabaikan akal sehat.
Bahkan sekalipun agama memberi pedoman hidup dalam satu kitab, tetapi tafsirnya jelas kompleks bahkan abstrak. Bahkan argumen dan kepercayaan universalitas sebuah pedoman agama, sebenarnya adalah proses panjang penafsiran terhadap kitab. Ia tidak berhenti untuk menggali kompleksitas, dan menghubungkan fenomena kehidupan yang sedang dan akan berlangsung. Terutama jika dari awal kita meyakininya sebagai kitab yang tak lekang oleh ruang dan waktu. Sebab itu, barangkali kitab akan menjadi sebuah medium yang benar-benar menyatukan, manakala kitab-kitab yang lain terlepas dari konteks dan fenomena kehidupan di masa-masa mendatang dan hingga dunia tiada. Pada akhirnya, dunia kemudian sadar atau mungkin arogan untuk mau mengikuti kesadaran otentik.
Tulisan ini jelas tidak konsisten, sebab telah menggunakan ideologi tertentu, karena di latar belakangi oleh keyakinan dan paham universalitas. Kita mungkin yakin berbeda : beda kitab dan beda ideologi. Tetapi sesungguhnya yang menyatukan kita adalah membaca. AKU MEMBACA MAKA AKU MEMBACA. (irs)