Dalam periode konektivitas antar manusia yang begitu intensif dan massif, negara mulai resah dengan siklus berita atau artikel online. Munculnya ancaman sensor terhadap situs-situs Islam di Indonesia, adalah satu contoh yang menandai kegelisahan negara terhadap aktivitas warga atau khalayak di media siber. Ulasan-ulasan yang menyinggung tentang paham radikalisme dan ekstrem agama ditekan dengan dalih pencegahan terorisme dan stabilitas nasional.
Warga yang hidup menikmati percepatan interaksi dunia digital dengan gawai, seakan terpancing menghadapi wacana sensor, tetapi yang lebih vocal ialah penganut kebebasan berpendapat dan penegak HAM. Sistem demokrasi yang menjadi titik anjak penentangan sensor atau blokir, semakin menyeruak kala pemerintah secara sepihak memblokir situs-situs yang diklaim mengancam. Inilah yang sedang terjadi pada negara-negara yang sarana konektivitasnya semakin berkembang, termasuk di Indonesia.
Kita lihat bagaimana Tiongkok dengan tidak konsisten menganggap internet sebagai ‘perwujudan kearifan manusia’. Tiongkok bahkan tidak segan-segan melakukan pemblokiran bagi situs-situs yang dianggap kontra dengan penguasa. Hal demikian memang sangat kontras, sebab pemblokiran di dunia digital tidak segera menghilangkan ‘ancaman’, tetapi justru melahirkan gelombang perlawanan yang baru. Tetapi Tiongkok yang begitu represif dalam menyaring internet, bukan satu-satunya. Eric Schmidt dan Jared Cohen dalam The New Digital Age, menunjukkan banyak negara yang ikut melakukan sensor seperti Turki, Korea Selatan, Jerman, Malaysia dan Negara-negara lain yang otoriter atau semi-otoriter.
Lahirnya reaksi yang berlebihan dari pemerintah pada konten online, menjadi satu bukti kecemasan yang dihadapi negara-negara di era baru digital. Hal ini tidak jauh berbeda dengan bentuk pelarangan pemerintah terhadap buku dan pembredelan pers pada masa lalu di Indonesia, yang juga kadang masih terjadi. Baru-baru ini, 20 situs tawaran investasi MMM diblokir Kementerian Informasi dan Komunikasi atas permintaan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan yang paling mengundang kontroversial adalah ancaman pemblokiran situs-situs Islam yang diklaim “provokatif”. Kebijakan proteksi pemerintah pada situs online, mendapati respon yang banjir di media online, bahkan memancing para aktivis turun ke jalan.
Dilema pemerintah, atau mungkin gegabahnya dalam menghadapi isu terorisme yang bertopeng paham radikalisme, membuat para khalayak di dunia maya (online) dan dunia nyata mengancam dengan gerakan massa. Jika sudah begitu, sensor yang dimaksud untuk stabilitas, justru akan membuat rezim represif semakin cemas dan barangkali program pemerintah akan terganggu oleh gelombang gerakan massa. Bahkan pada tahap tertentu, Negara mulai memperhitungkan untuk membatalkan demi menahan agresi yang lebih besar.
Namun menarik apa yang dikatakan oleh Stanley McChrystal (Mantan Komanda NATO dan AS di Afganistan) bahwa sebetulnya ada dua hal yang mengalahkan terorisme yaitu penegakan hukum dan kesempatan bagi warga. Bukan dengan hantaman militer tetapi memenuhi kebutuhan dasar seperti peluang ekonomi, hiburan, kebebasan informasi, dan sebagainya. Dan kesempatan itu, salah satunya melalui memberi ruang alternatif pada konten online yang kaya dan kreatif agar menekan radikalisasi didunia maya.
Fenomena diatas, memperlihatkan dua kutub yaitu pemerintah yang represif dan khalayak atau warga yang semakin responsif terhadap wacana. Keduanya terjadi karena pengaruh era baru digital. Terutama bahwa wacana semacam keagamaan begitu sensitif, bahkan sering menunjukkan solidaritas umat sebagai motivasi dalam memobilisasi gelombang revolusi. Hal inilah yang mungkin menjadi pertimbangan bagi pemerintahan Jokowi-JK dalam merespon riak-riak protes. Apalagi setiap negara tentu memiliki pengalaman sejarah dalam melihat potensi yang dapat memicu revolusioner.
Garin Nugroho dalam Cek Kosong Bangsa (Kompas,19/04/2015) berargumen bahwa Jokowi membawa cek kosong atas nama popularitas sebuah ruang massa yang besar dalam era teknologi digital. Menurutnya, kepemimpinan populis (yang cenderung di era ini) Jokowi lahir dari dunia maya tanpa dukungan konkret, yang kemudian menjadikan rakyat ragu dan bingung atas kepemimpinannya. Apalagi bahwa Nugroho mengkategorikan masyarakat hari ini bertipe melodramatik, mudah jatuh cinta namun kecewa, berubah atau berganti arah, serta penuh perhatian namun juga tidak peduli. Apa yang dikeluhkan Garin Nugroho tersebut sangatlah wajar, karena itu juga pemerintahan Jokowi harus mau dan mampu mengisi cek kosong tersebut dengan realisasi visinya, termasuk melalui kebijakannya dalam dunia digital.
Tetapi yang urgen, kasus diatas memberi peringatan kepada kita pada bagaimana era digital mempengaruhi kehidupan kita. Pada akhirnya, kita sedang menyadari bahwa pengaruh era digital pada aspek kehidupan pribadi, negara, revolusi, isu terorisme dan perang semakin kompleks dan mengancam. Internet yang menjadi perangkat untuk membantu produktivitas dan konektivitas yang semakin canggih, tidak saja memberikan kesempatan hidup lebih baik, tetapi juga ancaman yang serius bagi warga dan negara. Semua itu digambarkan dan diprediksi oleh Scmidt dan Cohen dalam bukunya The New Digital Age. Namun, patut kiranya merenungi kembali bahwa ’kebertubuhan’ teknologi pada manusia dan negara seharusnya meningkatkan mutu hidup kita. (irs)