Transformasi JIP dan Gerakan Sosial

Sudah 16 tahun Jurusan Ilmu Perpustakaan (JIP) UIN Alauddin Makassar menerima mahasiswa dan melahirkan alumni. Sejak tahun 1999 atau dibukanya jurusan ini, mahasiswa JIP setiap tahunnya bertambah. Selama itu, telah banyak alumni yang sedang mengabdi di perpustakaan di berbagai daerah di Indonesia. Hal ini merupakan kemajuan yang baik dalam segi kuantitas, dan perlu diikuti dengan output sumber daya manusia yang berkualitas. Mengenai dinamika JIP, penulis mencoba merefleksikan secara singkat sebagai masukan kepada kita semua.

Sebagai pengalaman, saat pertama kali menginjakkan kaki di JIP antara tahun 2008/2009, ada perasaan pesimis berada di JIP. Selain bahwa mahasiswa JIP belum menemukan kepercayaan diri, juga adanya stigma negatif yang massif menerpa profesi pustakawan dan perpustakaan, bahkan hingga sekarang. Persoalan inilah yang mengikuti jejak penulis dan tentu saja menjadi suatu perenungan yang panjang. Masalahnya adalah mahasiswa perpustakaan pada saat itu tidak tampil meyakinkan terhadap mahasiswa jurusan lain dan masyarakat. Maka kita seringkali menerima timpalan berupa pertanyaan “apa yang dipelajari di JIP” atau pernyataan “susun-susun buku”. Ironinya, upaya untuk menepis perihal itu tidak mampu dijadikan ‘evaluasi diri’ dan pelecut untuk tampil lebih baik. Adapun tepisan seperti “Ilmu Perpustakaan adalah multidisipliner yang bisa menguasai bidang lainnya”, bagaikan cek kosong yang seakan-akan dibiarkan terus beredar, saat mahasiswa JIP tidak mampu membuktikan dengan multitalent atau potensi yang dimaksudkan.

Kegelisahan ini praktis membayangi seluruh mahasiswa JIP pada tahun-tahun itu, dan demikian halnya sebelum dan sesudahnya. Fenomena ini pun tidak mudah direspon, ketika para mahasiswa JIP (termasuk penulis) mengalami kekosongan idealisme karena tidak adanya gairah yang digerakkan lembaga kemahasiswaan ataupun lembaga produksi pengetahuan dan moral seperti jurusan. Praktis yang ada hanyalah kata-kata ‘motivasi’ yang menyentuh hati untuk melakukan sesuatu dari pengajar-pengajar JIP saat itu.

Dalam kondisi demikian, mahasiswa JIP dibiarkan (dan seharusnya) mengkonstruk atau merumuskan, mewacanakan, dan mengartikulasikan “diri” atau identitasnya sendiri-sendiri. Hasilnya, mahasiswa JIP melakukan gerakan yang didasari upaya menemukan ‘jalan yang benar’. Tetapi apakah semuanya berhasil atau tidak, begitulah dinamika yang dijadikan laboratorium uji coba mahasiswa saat-saat dulu, sekarang dan nanti. Uji coba ini merupakan proses dan aktualisasi diri yang senantiasa harus di gerakkan, terutama dalam lembaga mahasiswa. Sebab itu lembaga kemahasiswaan seperti HIMAJIP hendaknya menjadi daya tarik bagi seluruh mahasiswa JIP untuk mendefinisikan identitas mereka. Tentu identitas yang dimaksud disini ialah bagaimana seharusnya menjadi mahasiswa perpustakaan yang esensial dan dalam upayanya menghadapi berbagai dinamika internal maupun eksternal.

Transformasi itu memang tidak mudah dilakukan diatas dan dengan hanya selembar kertas. Namun kita juga harus menyadari (dan paham sebagai  kaum intelektual) bahwa perubahan bermula dari seberkas kertas yang berisikan rumusan dengan teori-teori yang revolusioner, yang harus digerakkan dengan aksi dan cara-cara yang revolusioner pula. Menjadi revolusioner tentu saja tidak sebatas dengan gaya berpakaian sok cerdas dan klaim aktivis, baik dalam berkomunal maupun individual. Maka kita seharusnya tidak heran kala banyak mahasiswa yang kritis tetapi lupa keterampilan dasar yang hendak dimiliki. Tetapi justru yang mengherankan, apabila tidak kritis dan tidak memiliki semangat sedikitpun untuk melakukan perubahan dalam dirinya dengan belajar dan belajar. Sungguh pun kritik ini sangat menampar diri penulis sendiri yang telah melepaskan status mahasiswa. Apa daya pikiran ini tinggal menjadi masukan, tetapi untuk menjadi ‘mahasiswa’ kembali, rasanya mustahil. Mungkin hanya akan mengisahkan penyesalan dan pelajaran. Kapasitas inilah yang menjerat dan mengungkung, tetapi harapan untuk telibat bersama para kaum terpelajar diharapkan senantiasa terbuka bersama para alumnus-alumnus.

***

Mari Memulainya atau Hilang

“Harus di mulai dari mana ?”. Pertanyaan ini seringkali terbesit di benak kita semua. Apa yang harus dilakukan adalah sebuah niat yang otentik agar tidak setengah jalan.

Kita mungkin sepakat bahwa kurikulum JIP adalah perpaduan teori dan praktik didalamnya. Bagi mereka yang suka berfilsafat tentu saja teori harus menjadi matang dan masak. Mereka akan berdialektika tentang ontologi, epistemologi, dan aksiologi ilmu perpustakaan. Sementara bagi yang berfokus pada keterampilan dasar untuk mengelola perpustakaan -khususnya dalam otomasi perpustakaan- mungkin menganggap sudah cukup untuk menghadapi dunia kerja. Atau bagi yang berfokus pada peluang kerja, mungkin hanya akan pergi ‘duduk manis’ keruang kuliah setiap hari. Sebab fenomena masuk di JIP karena berita (informasi) peluang kerja JIP yang sangat terbuka sudah tidak diragukan lagi, bahkan boleh dikata menjadi kebanggaan dan alasan mahasiswa bertahan di JIP. Tetapi persoalannya kemudian, apa mereka benar-benar paham apa yang akan dihadapi ditempat kerjanya nanti. Apakah mereka mau bergerak bersama-sama memajukan dunia kepustakawanan ? Apakah mereka ‘jatuh cinta’ kuliah di JIP dan berani menjadi pustakawan setelah lulus ? Dan sejauh manakah keterampilan dan profesionalisme itu akan mempengaruhi masyarakat mencintai perpustakaan. Mungkin jawaban instan mahasiswa, nantilah kita lihat !

Kedua kutub ini (antara berfokus pada teori dan praktik) seharusnya menjadi perpaduan dalam diri mahasiswa JIP. Sebab itu, jika terjadi dikotomi ‘gaya’ pada diri mahasiswa JIP maka cukup mengecewakan dan hendaknya menjadi evaluasi bagi JIP dan HIMAJIP. Khusus HIMAJIP, pertarungan idealisme pada proses PEMILMA hendaknya menjadi warna yang mampu beradaptasi dalam memajukan HIMAJIP. Artinya semangat idealisme ataupun kemahasiswaan yang terbangun diluar HIMAJIP, sedapat mungkin berkonstribusi merumuskan gerakan sosial dan transformasi JIP. Bukan justru menjadi ajang melanjutkan doktrin fatalistik sebuah organ yang tidak membebaskan dan memberikan jalan untuk bersama-sama. Namun bukan berarti mengelakkan potensi mahasiswa yang berasal dari komunitas-komunitas/kelompok belajar, tetapi merangkul pikiran-pikirannya. Inilah yang terjadi pada pelajar (baca: mahasiswa) di Indonesia, pola pikir yang terpeta-petakan karena persoalan unjuk heroisme dan romantika identitas masing-masing. Artinya jalan-jalan yang berasap disana bukan hanya satu cara menjadi revolusioner. Sebab itu para mahasiswa yang bertipologi organisatoris/aktivis sesungguhnya punya modal dasar dalam hal militansi, karakter, dan semangat perjuangan, yang dapat diaktifkan sebagai gerakan sosial dalam bidang kepustakawanan. Demikian pula untuk tipelogi mahasiswa lainnya, ikut bergerak dengan kapasitasnya masing-masing dalam berkolaborasi. Olehnya, aktivisme hendaknya tidak saja dipahami secara radikal pada suatu idealisme, tetapi juga beragam kegiatan radikal (mengakar/mendalam) lainnya yang memajukan kepustakawanan

Kembali ke soal identitas. Sebagai mahasiswa JIP, sekali lagi perlu perpaduan semangat belajar (teori dan praktik) dan berlembaga (dalam sejumlah idealisme). Perpaduan demikian kemudian mengalami konstruksi pikir (ideologi) sebagai landasan etis dan bergerak. Secara teori, mahasiswa perpustakaan (UIN) dapat melakukan pembacaan pada landasan Al-Quran dan Hadis dan mengeksplorasi nilai-nilainya kedalam kerangka pikir yang relevan. Sebagai misal, falsafah Iqra sebagai perintah pertama, menunjukkan nilai-nilai luhur dan inspiratif yang dapat diadaptasi dan dielaborasi kedalam identitas mahasiswa perpustakaan. Dari itu, beridentitas mahasiswa perpustakaan adalah hal yang sangat mulia untuk agama dan bangsa. Dengan konsep kepustakawanan Islam (islami) dan inspirasi dari kepustakawanan di dunia barat, memberi masukan yang berarti bagi praktik-praktik berkepustakawanan kelak dan gerakan sosial mahasiswa perpustakaan.

Untuk mencapainya, mahasiswa JIP harus diberi ruang kontemplasi pada semester-semester awal. Artinya sejak mahasiswa baru mereka sudah memiliki ekstansi dan mau bergerak progressif demi kepustakawanan yang lebih baik. Salah satu wadah yang rutin diadakan setiap tahun seperti Pelatihan Kepustakawanan, seharusnya dapat dimaksimalkan untuk ‘membongkar’ paradigma dan stigma negatif-pesimis dunia kepustakawanan yang mereka terima dari pihak luar, lalu mengisinya dengan apa yang dirumuskan bersama dalam semangat-semangat diatas. Maka, sudah seharusnya dalam kegiatan Pelatihan Kepustakawanan, keterlibatan mahasiswa perpustakaan harus nyata, baik sebagai penyelenggara maupun pengisi materi-materi. Mengapa harus mahasiswa perpustakaan ? Sebab proses inilah yang perlu dimanfaatkan mahasiswa dalam menyatukan semangat dan wadah belajar, sekaligus proses yang paling menentukan untuk semua tingkatan mahasiswa (senior dan junior). Inilah yang nantinya membedakan Pelatihan Kepustakawanan dengan perkuliahan. Artinya materi-materi yang diisi oleh mahasiswa dalam Pelatihan Kepustakawanan adalah brainstorming untuk memacu semangat kuliah (belajar) di JIP.

Jika semangat itu sudah menyatu dengan baik, maka harapan transformasi JIP menuju kemajuan bulat dengan optimisme. Dengan begitu gerakan sosial yang ingin dilakukan juga menjadi kegiatan yang menyenangkan. Terutama bahwa mahasiswa perpustakaan harus mau turun dan berjalan bersama-sama rakyat dalam memajukan perpustakaan. Selama ini bisa dikatakan banyak pihak yang “menyinggung” mahasiswa perpustakaan, ketika komunitas-komunitas dan lembaga sosial lebih intens melakukan gerakan literasi seperti donasi buku, mendorong minat baca dan kegiatan berkaitan dengan perpustakaan. Bahkan penulis pun sempat mendapatkan sindirian halus (tetapi termaknai kasar) dengan ungkapan “harusnya mahasiswa perpustakaan yang banyak melakukan ini”. Namun bukan berarti itu harus ditanggapi secara emosional hanya dengan kegiatan-kegiatan serupa, karena apa yang dilakukan oleh berbagai komunitas perlu dimaksimalkan dan diapresiasi karena sudah ikut membangun budaya literasi di Indonesia. Kita tidak semestinya melakukan ‘perlawanan’ seperti melakukan perlawanan terhadap google karena ‘memangkas’ ruang kerja. Justru mahasiswa perpustakaan dapat bersinergi dan atau membuat arus gerakan sosial yang benar-benar mengakar dalam memajukan perpustakaan dan memacu semangat belajar masyarakat disekitarnya. Bukan sekedar menampilkan eksistensi sebagai penggerak literasi yang nihil follow-up dan makna bagi masyarakat.

Semua itu bisa kita lakukan dan jika kita mampu mengeliminasi pandangan-padangan negatif yang muncul dari berbagai kalangan tentang perpustakaan yang kaku dan pustakawan yang malas membaca, maka lambat-laun kita mendapat apresiasi sebagai mahasiswa perpustakaan dan calon pustakawan. Sehingga pustakawan tidak lagi bersifat kaku dengan hanya mengandalkan profesionalisme yang berstandar sertifikasi. Tetapi menjadi pustakawan yang ahli teknis dalam mengelola pustaka, menguasai (minimal mengetahui) konten pustaka dan keterampilan-keterampilan sosial (termasuk didalamnya gerakan sosial).

Sementara itu, sebagai calon alumni dari Fakultas Adab dan Humaniora yang didalamnya belajar tentang (jurusan) sastra, bahasa, sejarah, dan budaya, menjadi sebuah cita-cita JIP (mandiri dalam integrasi), fakultas dan univeristas. Peralihan IAIN ke UIN dalam upaya menyatukan mata-rantai peradaban yang sebelumnya seolah-olah terdikotomi antara ilmu-ilmu islam dengan ilmu-ilmu umum, hendaknya benar-benar dapat diwujudkan dalam integrasi keilmuan agama dan keilmuan umum serta integrasi rumpun ilmu (jurusan lain) yang berada dalam satu fakultas. Proses itu berpotensi melahirkan mahasiswa perpustakaan atau calon pustakawan yang bisa beridentitas (ganda) seperti sastrawan, ahli bahasa, sejarawan dan budayawan atau keahlian lainnya. Hal ini bukannya tanpa rujukan, sebab rantai itu bisa disambung dari para pustakawan dimasa Islam klasik (sekaligus ilmuwan tersohor) yang inspiratif di perpustakaan Islam masa klasik (kekhalifaan).

Dekatnya pustakawan (dan mahasiswa perpustakaan) dengan pustaka adalah modal untuk menggeluti kajian sastra, sejarah dan budaya. Pustakawan yang demikian, tentu bukan lagi pustakawan yang malas membaca dan kaku. Dan untuk mengembangkan diri dalam bidang seperti sastra, budaya dan sejarah (profesi tersebut), pustakawan tidak harus beranjak keluar perpustakaan. Sebagai contoh, apa yang kita lihat di Makassar seperti Perpustakaan Kata Kerja, merupakan perpustakaan komunitas yang sesungguhnya ingin membangkitkan dunia perpustakaan. Salah satu pengelolanya yang juga sastrawan, M Aan Mansyur, dengan percaya diri mengatasnamakan diri sebagai Pustakawan. Dan aktif mengampanyekan perpustakaan mulai dari hal-hal yang sederhana seperti mengenakan baju “meet me at library”. Perkembangan Perpustakaan Komunitas dan pegiat literasi seperti ini juga yang perlu menjadi teladan dan inspirasi bagi mahasiswa perpustakaan dalam mendekatkan diri dengan masyarakat dan lingkungan.

Selain bahwa jika merujuk penelitian-penelitian terdahulu dalam bidang kepustakawanan, banyak peneliti menerangkan kecenderungan pustakawan hanya berkutat pada hal teknis hari ini, sehingga terkesan pustakawan dan perpustakaan berjalan dengan kaku. Pengabaian aspek sosial-budaya adalah salah satu yang menjadi titik kritik Ahmad Subhan dalam Konstruksi Makna Membaca di Taman Baca Mulatatuli Ciseel Sobang Lebak Banten (perpustakaan komunitas), sebab itu banyak anggota masyarakat (pegiat literasi) mendirikan perpustakaan-perpustakan komunitas dengan beragam nama taman bacaan, rumah baca, dan berbagai istilah yang menggambarkan kedinamisannya. Walaupun Perpustakaan Kata Kerja menggunakan isitilah perpustakaan, tetapi pada kegiatan-kegiatannya berlangsung dinamis dengan kegiatan-kegiatan seperti kelas menulis, menyimak, diskusi dan sebagainya. Justru penamaan perpustakaan yang diberikan M Aan Mansyur dkk menarik perhatian, karena pada dasarnya ada semacam penolakan kondisi perpustakaan yang selama ini terkesan kaku dalam pengelolaannya. Disinilah pentingnya pustakawan agar tidak hanya berfokus pada keterampilan teknis, tetapi juga keterampilan sosial-budaya.

Jika mereka yang berprofesi sastrawan seperti M Aan Mansyur bangga menyebut dirinya sebagai Pustakawan –meskipun bukan seperti yang didefinisikan pustakawan (PNS/alumni JIP) atau UU Perpustakaan-, maka mengapa kita tidak dengan kebalikannya. Karena menjadi salah satu diantaranya atau ketiganya bahkan ilmuwan juga tidak mengharuskan punya ruang kerja yang dibatasi waktu dan tempat seperti profesi lainnya. Sebab itulah, boleh dikatakan bahwa pustakawan (mahasiswa perpustakaan) adalah aktivis sosial-budaya. Ini pula yang melandasi mereka harus bergerak dalam kegiatan-kegiatan sosial-budaya.

Disisi lain, seorang pustakawan merupakan teladan untuk masyarakat dalam memacu minat membaca, maka selayaknya calon pustakawan adalah seorang pembaca, penulis dan pencerita, sebab tiga hal ini dapat memaksimalkan knowledge sharing dan Knowledge Creation. Bahkan Blasius Sudarsono (2009: 26 dan 91) dalam Pustakawan, Cinta dan Teknologi mengemukakan bahwa dalam perkembangan ilmu pengetahuan sebenarnya pustakawan masih berkutat hanya dengan pustaka literer saja, pustakawan hendaknya harus bergeser dari mengelola informasi menuju mengelola pengetahuan (Knowledge Management). Sehingga seorang pustakawan beralih ke manajer pengetahuan atau Knowledgeable Person, termasuk dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) dan dalam konteks masyarakat Indonesia.

Argumen diatas dengan beberapa contohnya adalah perihal yang masih sempit sebab sebatas perspektif subjektif penulis. Sebab kita yakin ada banyak persoalan yang perlu dibahas dalam kaitannya dengan transformasi JIP dan gerakan sosial. Akan tetapi sudah pasti goresan pena dan dialog/diskusi harus dihidupkan dengan wacana-wacana transfomatif. Mari bergerak dalam kolaborasi, jika tidak ingin hilang tertimbun oleh soal-soal klasik dan tantangan masa depan. SELAMAT MILAD JIP-KU YANG KE-16, MARI BERSEMOGA ! (irs)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *