(Refleksi Hari Buku Dunia, 23 April 2015)
Buku merupakan satu dari segilintir produk kebudayaan yang sangat berpengaruh. Pengaruhnya melampaui harapan para pembaca yang tersebar di seantero dunia. Buku tidak hanya menjadi media ingatan atau memori peradaban manusia, tetapi ia menjadi semacam inspirasi dan alat perubahan sosial yang paling efektif.
Dalam perkembangan mutakhir, keberadaan akses internet yang luas tidak lantas menggeser dan meniadakan eksistensi buku. Tetapi internet sebagai media baru yang menghadirkan e-book (konversi dari yang tercetak) sama-sama penting, walau keduanya memiliki kelebihan dan pembaca yang setia dan atau memadukannya. Sebab itu, bagi pecinta ilmu pengetahuan, buku (dan e-book) adalah medium yang ‘menubuh’ dalam diri mereka. Artinya tanpa buku, mereka bukanlah siapa-siapa, dan seakan kehilangan ‘penginderaan’ untuk membaca dunia dalam teks dan konteks.
Bangsa yang mengelakkan pentingnya buku sama halnya mengabaikan ilmu pengetahuan. Olehnya, pada setiap negara yang serius dalam bidang pendidikan atau IPTEK, akan terus menghidupkan budaya literasi sebagai proses pelestarian dan transfer pengetahuan. Tentu saja muara budaya literasi, dengan ketersediaan fasilitas aksesnya, bercita-cita menjadikan rakyat pada sebuah bangsa menjadi cerdas. Karena itulah, tidak satupun manusia yang menepis kekuatan (moral dan spiritual) yang dimiliki oleh buku dalam membangun peradaban manusia. Andrew Carnagie pernah mengajak, untuk membangun sebuah masyarakat maka bangunlah perpustakaan. Mengapa perpustakaan ? Karena perpustakaan adalah media terbesar dalam melestarikan ilmu pengetahuan (buku-buku).
Begitu pentingnya sebuah pelestarian dan transfer pengetahuan bagi bangsa, para peneliti selanjutnya berupaya menemukan fakta-fakta sejarah dan merekonstruksi identitas bangsa dengan mencari serpihan-serpihannya yang tersebar dalam buku. Dalam konteks ini, peneliti-peneliti sejarah dan budaya Indonesia harus terbang ke perpustakaan Belanda untuk menemukan identitasnya. Artinya, mata-rantai peradaban sebuah negara dapat saja terselamatkan karena adanya kesadaran akan pentingnya buku.
Di sinilah juga kita melihat bahwa bangsa penjajah sekalipun memahami arti penting dari pelestarian ilmu pengetahuan, terlepas maksud dibalik itu. Tetapi tradisi mencari ilmu pengetahuan, khususnya dalam menerjemahkan karya-karya asing telah lama di lakukan oleh bangsa-bangsa yang ingin menbangun/menghidupkan peradabannya. Lihatlah bagaimana Islam dengan sejarah klasiknya memberi konfirmasi yang baik. Bukan hanya mencari jati diri, tetapi menafsir pandangan-pandangan ilmuwan yang tersohor, lalu di konstruksi dan di adaptasi dengan sedemikian kreatif oleh para pembaca (peneliti) yang tekun. Alhasil, interaksi antar Negara dengan saling memberi kesempatan untuk menerjemahkan karyanya terus belangsung hingga saat ini di belahan dunia manapun.
Kesempatan-kesempatan diatas memberikan peluang bagi ilmuwan Indonesia untuk menunjukkan karya-karya monumentalnya dengan menyerahkan naskah-naskah terbaik untuk diterjemahkan kedalam bahasa Negara lain. Satu acara besar yang membuka ruang itu, adalah kegiatan Frankfurt Book Fair 2015 yang akan menjadikan Indoensia sebagai tamu kehormatan, yang menerjemahkan buku-buku rekomendasi dan strategis tentang Indonesia ke dalam bahasa Jerman dan bahasa asing lainnya. Dengan demikian, karya-karya peneliti Indonesia tidak hanya menjadi raja di negeri sendiri, tetapi juga ikut menciptakan alternatif dan sumbangsih ilmu pengetahuan bagi umat manusia. Artinya, pengetahuan yang berangkat dari lokalitas Indonesia sebisa mungkin memberikan inspirasi bagi siapa saja yang ingin menemukan hal yang positif darinya, sesuai tema kegiatannya “17.000 islands of imagination”. Apalagi akhir-akhir ini, para ilmuwan di Indonesia sedang dituntut untuk menerbitkan tulisannya dijurnal-jurnal internasional. Tuntutan semacam ini, hendaknya tidak saja dipahami sebagai ajang “setor muka” atau legasi identitas dan predikat pribadi, kampus atau negara, tetapi ekspektasinya dapat memberikan konstribusi yang progresif bagi pembaca di belahan dunia yang semakin mengglobal.
Namun satu yang pasti bahwa ekspektasi diatas berdasar pada bagaimana upaya kita menghidupkan gerakan literasi di Indonesia. Untuk memulainya, akan selalu wajib bagi kita untuk mencurahkan perhatian pada dunia perbukuan (kepustakaan) dan perpustakaan di bangsa yang kita cintai ini. Semoga komitmen dan konsistensi pada hal itu, benar-benar mengantarkan bangsa Indonesia pada persaingan global di segala aspek, utamanya bidang IPTEK. Sehingga kelak rakyat Indonesia ikut memproduksi, bukan sekedar konsumen dimata dunia. Sebab sesungguhnya potensi untuk menjadi prosumen (produsen sekaligus konsumen) di era ini (TIK atau era baru digital) semakin terbuka, tetapi muaranya untuk menciptakan pengetahuan (knowledge creation) dan saling berbagi pengetahuan (Knowledge Sharing). Dan tentu saja sejak dahulu dan dimasa mendatang, buku adalah produk global yang senantiasa mempengaruhi transformasi dunia. (irs)
Di muat di Koran INILAH (Jumat, 24 April 2015)