Lelaki paruh baya itu sedang berjalan lurus tanpa sedikitpun memperdulikan aktivitas disekitarnya. Tatapannya sedang fokus sedari tadi di depan layar ponsel pintar miliknya. Ia seakan berada didalam dunia yang tidak terlihat oleh orang-orang yang ada di hadapannya. Dualitas itu berbagi, antara dunia online dan offline (nyata). Sedikit senyum, di tambah ekspresi yang serius, sudah cukup menandakan ia sedang berinteraksi. Senyum yang terkembang direpresentasikan dengan emoticon di ponselnya. Penyampaian komunikasi dengan visualisasi tersebut merepresentasikan sebuah ekspresi dan nilai.
Ketika hendak mencari suatu tempat, cukup dengan membuka sistem penelusuran di ponsel pintarnya. Seperti itu juga saat manusia menebak siang dan malam melalui jam. Seakan-akan ponselnya adalah portal atau jendela untuk melihat segala hal yang telah di mudahkan oleh teknologi canggih.
Demikian gambaran aktivitas seorang yang sedang larut bersama perangkat teknologi. Waktu, Ruang, dan Bahasa pada akhirnya tersederhanakan oleh teknologi. Jika dahulu kita membaca fenomena alam dengan melihat (menginderai) alam sekitar, maka instrumennya bertransformasi dalam bentuk jam, peta, tulisan dan suara. Kesemuanya diabadikan dalam miniatur bernama teknologi, terutama handphone, yang kemajuannya tidak mengelakkan dampak pada masyarakat teknologis atau teknokrat.
Seperti yang dikatakan Don Idhe, terjadi kebertubuhan teknologi dalam diri manusia. Bagai seorang pemuda yang sedang melepas rindu dengan menelpon kekasihnya, yang seakan-akan dekat dengannya, atau fokusnya lebih kepada suara kekasihnya ketimbang perangkat komunikasi yang sedang ia digunakan. Manusia dan teknologi ini menyatu, seolah merupakan bagian dari anggota tubuh atau alat penginderaannya. Demikian yang terjadi hari-hari ini. Bangun dan tidur bersama kekasih dengan perantara teknologi.
Pendefinisian teknologi bagi manusia sesungguhnya berbeda-beda dalam menghadapi lingkungan budaya. Misalnya, menggunakan traktor menjadi angkutan umum. Atau aku dan kacamataku untuk melihat objek. Artinya, maksud pencipta tidak selalu sama dengan penggunaannya. Sebab teknologi berada dalam budaya (berbeda), maka pengunaan teknologi pada budaya itulah yang melahirkan karakter unik. Dalam Idhe, perihal itu dikatakan ketertanaman teknologi dalam budaya (multikultural).
Parahnya, Robert Oppenheimer menyesali pengembangan bom atom dan menyatakan ahli fisika yang tergoda oleh teknologi sampai “berkenalan dengan dosa”. Tetapi karena teknologi dewasa ini membentuk sistem globalisasi, maka David C. Korten (Jalaluddin dalam filsafat ilmu pengetahuan) menilai permasalahan yang dihadapi kemudian menjadi milik masyarakat global.
Kehidupan kita sehari-hari memang selalu dihiasi dengan teknologi yang semakin terbarukan. Jika sebelumnya, terjadi determinisme teknologi terhadap manusia, maka hari ini boleh jadi bersatu padu menjalani kehidupan. Biasanya, jika itu telah terjadi, hari kita hampa ketika tanpa teknologi yang setia menemani. Memandang terpisah teknologi sebagai instrumen kehidupan, sama saja menjadikannya otonom. Bergantung pada teknologi juga memberi otoritas bahkan hegemoni kepada manusia. Tetapi bukankah teknologi memang untuk mendefinisikan dan memudahkan kehidupan manusia ? Sebab itu, sebagai manusia-pencipta teknologi, menaklukkan teknologi dalam kodrati tujuan pembuatannya menunjukkan prestasi kreatifitas. (irs)