Anonim di Ruang Sosial Baru

Akhir-akhir ini, media sosial menjadi menu sehari-hari manusia. Kurang lengkap rasanya tanpa membuka dan mengklik pemberitahuan baru yang masuk di beranda facebook kita. Terjebak dalam media ini, kitapun segera membuat status untuk mengungkapkan suatu kondisi atau perasaan mendalam kedalam media baru tersebut. Kita pun tidak jarang menciptakan-meyakini kebenaran, dengan memuat kalimat privasi ke publik dan mengkritisi segala topik yang sedang populer dengan beragam sudut pandang yang berbeda.
 
Sebagai contoh, kisruh tentang KPK versus Polisi atau laporan pencemaran nama baik di media sosial, menyebar dengan cepat keseluruh dinding media sosial. Sebagaimana pembaca tahu, semua pengguna media sosial lalu menyiapkan kalimat bijak, menjatuhkan, hingga mengambil kesempatan pada persoalan demikian. Aktivitas ini membuka ruang publik yang luas tanpa melihat status sosial antar pengguna media-jejaring sosial. Wajar kiranya jika sangat rentang dengan konflik, bilamana pengguna media sosial tidak mengedepankan etika. Dean dalam Nasrullah bahkan melihat internet pada dasarnya merupakan tempat tumbuhnya konflik ketika terjadi interaksi didalamnya. Sebab komunikasi di dunia maya seringkali bias dan kabur, karena dianggap sebagai maya, maka banyak penggunanya yang bebas berkomunikasi apa saja dan “gaya” bebas terhadap realitas.
 
Persoalanya ialah bahwa keberadaan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), khususnya pada pasal 27 dan 28 menjadi ancaman bagi siapa saja yang mengabaikan keberadaan undang-undang tersebut. Seperti kasus beberapa bulan lalu, seorang PNS Gowa yang disangka mencemarkan nama baik Bupati Gowa di internet, begitu santer diberitakan. Sebab itu juga, perlu kiranya melihat media sosial sebagai media yang tidak terlepas dengan dunia nyata. Bahkan dalam perkembanganya, interaksi yang tercipta merupakan bentuk komunikasi yang berangkat dan beralih dari dunia nyata ke dunia internet. Maka penting untuk memahami media sosial sebagai medium atau perangkat yang tidak terpisah dengan realitasnya. Bagi medium, hukumnya sama dengan hal yang dituju (yang diungkapkan/diwacanakan). Olehnya sangat wajar ketika timbul penafsiran terhadap media sosial seperti facebook sebagai hal yang kurang etis bagi seseorang. Pada konteks inilah media sosial menjadi pilihan untuk melakukan kebajikan dan memanfaatkan secara positif atau malah sebaliknya.  
 
Konstruksi diri melalui ruang virtual sangat mendominasi, terutama media sosial, dengan cara menampilkan status, foto berlatar/berkarakter pada sebuah pembangunan citra diri, serta tautan yang mempertegas kecenderungannya pada suatu hal. Dengan demikian, media sosial seakan menjadi perlombaan bagi siapa saja dalam meraih tempat dan membangun kedirian. Kedirian itu dilakukan dengan beragam cara melalui teks dan audio-visual. Namun keterlibatannya dalam menanggapi sesuatu, sekaligus menjadi ruang sosial pada forum atau grup pertukaran gagasan, ide dan wacana.
 
Papacharissi (2002) dalam karya Rulli Nasrullah “Teori dan Riset Media Siber” menegaskan bahwa “A virtual space enhances discussions; a virtual sphere enhances democracy”. Fasilitas dalam sebuah media dengan menampilkan kolom komentar, menjadikan media sosial sebagai ruang interaksi publik (kritis) yang melepas batas antara kaum birokrat/intelektual dan rakyat biasa. Keberagaman status sosial yang dapat masuk dalam ruang diskusi kritis pada media sosial menjadi penting untuk diperhatikan, sekaligus menjadi alternatif atas dukungan atau pengambilan keputusan. Walaupun sekali lagi, kelimpahan sebuah argumen menjadikan wacana terperosot pada kebimbangan dalam memilih. Demikian itulah, menandakan bahwa proses demokrasi dalam internet dapat berlangsung, dan tentu disertai dengan sikap-perilaku para penggunanya.
 
Media sosial ini, oleh Jones (dalam Nasrullah), dikatakan sebagai ruang publik baru (new public space) yang memediasi interaksi antar lintas budaya, agama, dan sebagainya. Sehingga pembaca tidak hanya terpapar oleh sebuah wacana yang mengemuka, sebagaimana yang dicirikan oleh media tradisional/cetak. Menariknya, ketika banyak instansi pemerintah yang membuat akun dan forum pada media sosial, justru terkadang nasibnya hanya menjadi sekedar pajangan atau hanya memaparkan sebuah citra, tanpa merespon balik atau mengkonfirmasi komentar publik. Walau mungkin saja admin (otoritas) forum melihat respon publik, tetapi terkadang tidak mendapat respon. Hal ini tentu menutup ruang interaksi dengan pemilik akun, walau tanggapan-tanggapan yang masuk bisa menjadi referensi pemilik forum/grup. Demikian halnya media cetak membangun opini (bahkan hegemoni) secara terpapar, manakala tidak menampilkan ruang tanggap atau konversi di media baru.
 
  Dengan ruang publik baru ini juga, seseorang bisa menjadi pemapar sekaligus terpapar oleh wacana. Dalam arti bahwa, dualisme sebagai prosumen (istilah Cesaero dalam Nasrullah) atau produsage (Bruns) membentuk masyarakat menjadi penerima sekaligus pemberi informasi. Olehnya penanggapan atas tanggapan menandai terjadinya simbiosis yang kemudian mengisyarakatkan “masyarakat informasi”. Ruang ini pula, kita melihat bagaimana seseorang mengambil paradigma atas tanggapan itu dengan jelas dan tegas. Walau sangat memungkin seorang komentator bisa saja menggunakan identitas palsu, baik bukan atas namanya atau identitas yang bukan dirinya, bukan salinan yang ada didunia nyata (offline). Hal itu bisa saja dilakukan ketika seseorang tidak mendapatkan tempat di kehidupan sosialnya.
 
Terkait identitas ini, Wood dan Smith (dalam Nasrullah) menyebut identitas itu sebagai anonymity, yang berusaha hadir dalam ruang sosial tanpa dapat dilacak profil yang sesungguhnya. Kehadiran para pengguna media sosial yang kabur (anonim) tersebut, bahkan seringkali menjadi awal konflik publik media baru. Bukan hanya karena komentar “kontroversial” yang mungkin dilontarkan, tetapi juga karena identitas palsu atau kabur yang ditampilkan. Namun dengan berlindung dibalik identitas palsu ini, ancaman akan UU ITE tidak akan menjadi kekhawatiran olehnya. Bagi yang awam tentangnya, identitas asli sekalipun tidak menjadi soal dalam berkomentar apapun dan dengan siapapun. Tetapi bagi yang mengetahui keberadaan UU ITE itu, juga menyakitkan kebebasan berpendapat pada soal-soal yang sensitif dan atau kritis. Begitulah UU ITE menjaga kepentingan nasional, yang pada gilirannya mengawasi masyarakat bermedia sosial. Demikian itu juga tidak mengelakkan idenitas anonymity. (irs)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *