Kesedihan Membacaku

Hidup akan menjadi indah disaat kita merasakan kesedihan. Kesedihan bukanlah perkara mudah untuk diungkapkan, tetapi hanya menjadi rasa yang terdalam. Kebahagiaan bukan pula sesuatu yang nampak begitu saja, meskipun banyak orang-orang disekeliling kita yang menyebarkan virus kebahagiaan itu dengan jalan berbagi. Waktu yang berjalan, seakan-akan memberi kita dua pilihan, bahagia atau sedih ?

Suatu pagi, disebuah tempat yang selalu kunikmati, sambil ditemani seduhan kopi gelas dingin. Pilihan minuman selalu saja berubah, tergantung pada bagaimana aku dimalam hari. Biasanya itu ditentukan, begadang atau tidak. Tapi hari itu ada alasan kopi menjadi pilihanku. Meski malam yang diselingi sekali-kali hujan, aku sudah berada di alam mimpi sejak pukul 22.00 WITA. Pagi itu aku membaca banyak Koran, sebuah kondisi yang selalu menjadi kebiasaanku dikala pagi. Walaupun sesuatu sedang mengganjal hatiku, tetapi seakan Koran-koran ini menahannya untuk sementara sebelum beranjak pulang dari taman bacaan Mosse.

Sepulang dari tempat baca itu, aku kembali dalam keseduhann yang tidak pernah ingin kubayangkan. Suara adzan yang bergema diantara kesedihanku seakan membuatku ingin menjatuhkan air mata. Tapi selalu tidak memungkinkan untuk berteriak di antara batas-batas kamar kos berpenghuni, yang hanya berbataskan tripleks setipis buku berhalaman 20 lembar.

Kesedihan ini bahkan berada di antara gerakanku di kala menghadap pada pencipta. Diantara itu, saya seperti berdialog tentang kesedihanku, sembari bertanya kepada Tuhan, apakah shalatku diterima dalam keadaan yang jauh dari khusyuk. Beberapa kali aku berupaya memastikan diriku untuk memaknai gerakan dan lisanku, tetapi puncaknya justru kesedihan ini menjadi permohonan seorang hamba kepada pencipta dikala menadahkan kedua tangan. Aku sungguh tak tahu apa-apa, tentang apa yang kumohon dan tentang bagaimana ini dapat menyelesaikan masalah. Tetapi aku selalu yakin, saya tidak sendiri, sebab mungkin aku sedang berinteraksi pada hakikat diriku yang tidak pernah aku pahami.

Hari itu, aku berada dalam dunia yang tidak seorangpun dapat mengjangkaunya. Ketika suara-suara musik berirama disekelilingku, ia hanya menjadi suara yang tak bermakna, seperti nyanyian yang tak berkata-kata. “Aku sedih, mengapa dia tak memahamiku”, suara ini terdengar dari loudspeaker laptop. Aku yakin itu hanya sebuah kesalahpahaman. Film yang sedang saya nonton dilaptop, memaparkan perihal yang mungkin menyindir hatiku. Film ini sepertinya menghanyutkan, walau membiarkan diriku perlahan-lahan mencapai ketenangan.

Walau sedang berada dalam kesendirian, sepertinya ada yang ingin membantuku menyelesaikan masalah ini. Seseorang yang tidak muncul secara fisik, ia tak bernama. “Mengapa engkau masih saja berada disini”, cerutuhnya, yang sedari tadi berada dalam duniaku.

“Aku ingin menenangkan diriku, barangkali ketidakberanianku adalah kelemahanku”, jawabku seolah-olah tak merasakan kehadirannya. Ia selalu datang tiba-tiba, selalu begitu ketika mebawakanku sebuah buku baru. Seperti kejutan, saya selalu penasaran dengan buku yang ia bawa. Tetapi hari itu, tak sedikitpun aku ingin tahu buku yang dibawanya. Diatas meja yang masih bertumpuk buku, ia lalu meyimpan buku barunya diantara buku-buku yang usang. Sangat jelas kelihatan berbeda dengan buku yang masih berbungkus plastik itu.

“Eh, saya pergi yah, lain kali saya akan datang kembali jika kau sudah sukses, dan tentu aku juga pastinya”, begitu ia pergi tanpa mendengar sepatah kataku padaku atas buku yang diberikan. Aku selalu heran mengapa ia ingin sukses, berbeda denganku yang kesuksesan hanyalah keegoisan.

Tetapi setelah itu, rasa penasaranku tidak bisa ditahan lagi. Buku yang kubuka ini terlebih dulu kucium bau khas kertasnya. Seperti itulah kebiasaanku mendapatkan buku baru, walau wanginya hampir sama dengan semua buku. Jika tidak, bedanya mungkin tipis. Buku-bukuku yang ada di lemari juga selalu tampak baru, walaupun debu kadang menghentikan diriku untuk merasakan aroma wangi buku-buku itu. Bahkan tak sedikitpun ingin kulipat apalagi kembali kusut di pinjam orang-orang.

Namun tiba-tiba saja teriakan terdengar diluar kamar. “kebakaran-kebakaran…”, orang-orang disamping kamar beteriak dan berhamburan memadamkan api yang menyulut dari dapur. Walau tidak lama api itu juga padam karena jarak dapur antara kram air berdekatan, jadi mudah saja memadamkan api yang belum terlalu besar.

Aku bersyukur insiden ini cepat teratasi. Tetangga di sebelah kamar pun sudah membersihkan kompor dan gas yang menjadi sumber kebakaran. Tidak banyak orang yang berdatangan, sebab kami cepat memadamkannya. Saya kembali kekamar setelah itu. Tetapi justru aku menemukan diriku dalam panik dan gelisah. Sesuatu yang hilang, begitu cepat kejadiannya. Beberapa orang yang kutanyai tidak dapat memastikan yang kumaksud. Aku lalu memeriksa semua orang-orang itu, tetapi hasilnya nihil.

“Apa yang sedang kau cari”, tanya seorang yang tak kukenal dan tak pernah sebelumnya kulihat. Wajahnya samar, tetapi mencurigakan. Ia lalu berbalik arah kemudian berlari. Seketika itu saya berkesimpulan orang inilah pelakunya. Kukejar ia dilorong sebelah rumah, tetapi seketika itu ia cepat menghilang.

“Ahhh, Aku belum membacanya”, begitu penyesalanku sambil tertunduk murung kembali kekamar.

Tok..tok..tok…”,….. Tok…tok…tok… (suara pintu).

Aku terbangun dari tidurku. Seorang kawan bernama Wibowo datang membawakan oleh-oleh dari kampungnya. Saya lalu berterima kasih atas pemberiannya. Setelah ia pergi, aku kembali merajut peristiwa-peristiwa yang tejadi didalam tidurku. Sementara film yang kutonton, sedari tadi menonton diriku di atas ranjang dengan setia. Menyadari mimpiku, aku lalu mengarahkan pandangan ke meja, yang ternyata masih seperti sebelumnya. Tetapi saya menyadari diantara buku-buku itu, seperti ada buku yang sama dengan mimpiku. Buku itu berjudul Poison.

Aku lalu menyadari bahwa didalam kesedihanku dan ketakutanku ia selalu hadir. Buku yang ia berikan padaku selalu menyimpan dirinya. Setiap kata dalam buku yang kubaca selalu ada namanya. Meskipun nama itu tidak pernah terangkai dalam huruf-huruf secara jelas. Sebab ia tidak pernah ingin memberikan namanya. Baginya, nama bagaikan alamat yang harus kucari didalam buku-buku pemberiannya. Begitulah cara ia memberikanku kesejukan dan membaca kesedihanku. Ia selalu memahami diriku dalam membaca. Meskipun ia juga merasa sering terabaikan karena aktivitasku itu. Tetapi dibalik itu, ternyata ia memberikanku ruang untuk tumbuh.

Aku lalu sadar, ia ingin menjadi buku terbaik untukku. Saya berdoa, meminta waktu yang cukup kepada Tuhan. Aku ingin membacanya dengan serius dan memahaminya dengan baik. Aku tidak akan meminjamkannya kepada siapapun, sebab ‘buku’ itu milikku. Aku akan membiarkan kesedihanku dengannya, dan menjaganya agar tetap wangi. Itulah bahagiaku. (irs)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *