Pesan Poison

POISON. Sebuah novel Renaisans yang bercerita tentang seorang wanita ahli racun. Kisah yang bergulir di masa gejolak cahaya ilmu pengetahuan barat yang ingin melepaskan diri dari keterkungkungan dogma. Tekad yang dimunculkan para pembaharu, tidak sedikit mengalami polemik atas menentang kekuasaan agama. Fransesca Giordano, seorang ahli racun yang hidup sebatang kara, setelah ayahnya tewas oleh pembunuh misterius. Olehnya ia berobsesi membalaskan pembunuh ayahnya. Bakat yang di wariskan Ayahnya, satu-satunya senjata yang mematikan. Racun.

Sebagai seorang wanita, ia melepaskan diri dari paradigma manusia tentang fenimisnya. Itu ditunjukkan dengan membunuh pelaku yang di ketahuinya. Oleh Kardinal Rodrigo Borgia, Fransesca kemudian melanjutkan posisi ayahnya sebagai ahli racun yang melayani keluarga Borgia. Ia bahkan mengatur lalu lintas perlengkapan dan makanan yang akan di konsumsi oleh keluarga Borgia. Keahliannya mendeteksi racun, menjadi penentu hidup-mati Borgia.

Kematian ayahnya, tidak hanya untuk mencari pelaku pembunuhnya. Tetapi juga menjawab teka-teki identitas ayahnya, mulai dari perkampungan ghetto kaum Yahudi di pinggiran Roma hingga ke dalam istana suci Vatikan. Kontaminasi Kristen dan Yahudi di pisahkan. Hingga pada akhirnya sebuah dekrit pengusiran kaum Yahudi bertengger di atas Paus, menunggu bubuhan tandatangan dan ketukan palu. Fransesca bersama pemuda Yahudi tidak lantas membiarkan itu terjadi. Peristiwa-peristiwa berikutnya penuh drama yang mengancam mereka untuk tetap menghalangi keputusan pengusiran kaum Yahudi dari Roma. Namun pengkhianatan Morozzi –seorang agamawan Kristen yang menginginkan kehancuran Yahudi- terhadap Fransesca menjadi ancaman yang serius atas dekrit itu.

Borgia yang haus kekuasaan menjanjikan sebuah kedamaian. Sementara Frasesca memainkan peran politik di tengah-tengah kesibukannya menyaring racun dan mengawal pertarungan politik Borgia. Ia bahkan melepas identitasnya sebagai sosok wanita dengan jubah, laiknya seorang pria. Posisinya yang begitu penting, menjadi tumpuan Borgia akan ambisius jabatan Paus, sekaligus benteng terakhir bagi kaum Yahudi.

***

Racun menjadi simbol yang berbahaya bagi siapapun. Kuasa atas racun menjadi senjata untuk bencana yang mungkin tak terkirakan. Seperti membasmi serangga-serangga yang mengerogoti tanaman. Racun seperti menabur kebencian, penistaan, dan provokasi. Pertarungan-pertarungan agama selalu menjadi racun yang mematikan bagi umat.

Chalie Hebdo dengan Satirnya telah menjadi racun bagi umat Islam. Seorang ahli racun tidak dapat melepaskan diri dari racun itu. Ia memproduksi ancaman yang seakan menunggu kematian. Kala Agama Menjadi Bencana, seperti yang di Kinball nyatakan dalam bukunya, merupakan pertarungan yang menempatkan kehidupan gelap manusia. Menyentuh sebuah keyakinan tanpa memahami sakralitas keyakinan itu dengan dalih kebebasan seperti menyulutkan amarah. Kebebasan sebagai hak dasar manusia tidak menjadi kebebasan untuk berdedikasi dan berharga atas sesama. Apakah kebebasan harus mengancam keyakinan ?

Berangkat dari narasi dalam novel Poison diatas, nampaknya ada peristiwa yang menandai gejala yang sama dengan peristiwa mematikan di Prancis. Satu sisi yang lepas dari pemberitaan media massa. Adalah seorang polisi yang beragama muslim, luput dari perhatian khalayak. Ia seakan menjadi seorang muslim yang kontras dengan kebanyakan yang dicitrakan media-media barat tentang Islam. Ia menampilkan “Islam”nya sendiri, mengabdikan dirinya untuk Negaranya hingga darahnya tanpa bekas, luput dari khalayak di tengah dunia yang melakukan propaganda terhadap agama semit.

Barangkali apa yang di perankan oleh Frasesca yang terlahir dalam Kristen, diam-diam menjadi penentang pemberangusan umat Yahudi yang mengalami kekejaman di masa itu. Peran Fransesca laiknya di perankan polisi Prancis yang harus menjadi korban dari dua kekuatan yang berseteru, antara teroris dan penguasa media satir yang provokatif. Media satir itu seakan-akan menjadi racun yang mematikan bagi penentangnya dan bahkan produsennya. Ideologi yang mengabaikan penghargaan atas sakralitas agama, seolah-olah menjadi bencana yang nyata. Ideologi ini pulalah yang sering menjadi racun abstrak. Sayangnya polisi Prancis ini, tidak bernasib sama dengan Fransesca di akhir hayatnya. Hanya saja keberpihakan Fransesca kepada Borgia, menjadi cermin keberpihakan polisi terhadap negaranya. Keberpihakannya diikat oleh perannya sebagai pelayanan penguasa-pemerintah. Keduanya adalah abdi Negara dan atau abdi Raja. Apapun kisah buruk yang menyelimuti di balik kehidupan mereka, tetapi keduanya memaparkan peri kemanusiaan. Bukan peri kemanusiaan yang terlahir secara kausalitas dari pemberitaan hangat dalam media. (irs)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *