Tulisan ini saya persembahkan untuk tanah kelahiranku Massenrempulu. Tentang tulisan ini, hanyalah sebagai bentuk ucapan selamat kepada Massenrempulu atas HUT yang Ke- 55. Dan di kesempatan ini, sebelum menyampaikan argumen tentang topik di atas, izinkan saya memaknai ‘Tana Rigalla Tana Riabussungi’ dalam sebuah penafsiran subjektif-reflektif.
Beruntung tingginya gunung-gunung alami seperi Latimojong, selalu menjadi kerinduan sebagian manusia untuk bercinta dengan alam, dengan tanah yang trofis. Disana memang tersimpan seuntai kalimat “Tana Rigalla Tana Riabussungi, Naiyya Tanah Makka Tanah Mapaccing Massenrempulu”. Adalah kalimat untuk sebuah daerah bernama Massenrempulu (menyusur gunung), tanah yang subur berpunya sungai nan panjang, tanah yang pohonnya rimbun, dan memiliki keunikan etnis dan bahasa. Kalimat yang berarti tanah yang suci dan tanah yang diagungkan, merupakan legasi dari Raja-raja Bugis-Makassar.
Jarang kita temukan, manusia membilangkan tanah suci selain mekah -sebuah tempat yang dirindukan orang yang ingin bersuci. Jika kesucian tanah tidak membawa fitrah kemanusiaan, bukan tanahnya yang salah. Seperti halnya ungkapan “Tana Rigalla Tana Riabbusungi”, yang sesungguhnya cermin nyata diri manusia, terutama penghuninya. Jika pelegasi itu sadar akan dirinya adalah “suci” seperti Tomanurung, maka mungkin benar apa yang diucapkan. Tetapi pantaskah kita yang terhegemoni modernitas dan kekhilafan ini, bercermin di depan kalimat seperti itu. Benar, bahwa fatwa seorang ulama/raja selalu menjadi pantulan yang mengawal dirinya. Apalah artinya titah, jika lepas darinya, bagai teks yang menampik konteks. Bukankah Tanah itu adalah teks yang selalu cair ? Begitu pula, bahwa ditanah yang suci tidak ada ‘pahlawan’ yang nyata, sebab hanya ‘Massenrempulu’ yang akan menjadi pahlawan yang nyata kita. Massenrempulu itulah tempat (alam) kita merenungi keotentikan diri dan menangkap identitas dari makna tersebut.
***
Sebenarnya baru kali ini, saya mendapatkan angin segar tentang kemeriahan ulang tahun kabupaten Enrekang yang ke 55 tahun. Jujur, saya belum pernah menikmati diskusi tentang persiapan ulang tahun kabupaten Enrekang sebelum-sebelumnya, namun keberadaan media sosial (facebook) menarik simpati saya untuk ikut riuh-memeriahkan.
Berkenaan dengan Massenrempulu, saya tertarik melihat fenomena sosial didalam grup facebook Massenrempulu, yang didalamnya ada begitu banyak manusia yang menghadirkan dirinya sebagai putra-putri Massenrempulu. Sebagai contoh (status) terbaru, ketika Ai Azhier memuat daftar desa-desa yang berjumlah 130 di Enrekang di grup tersebut, orang-orang lalu berpartisipasi (berkomentar) secara sadar dengan menyebutkan asal desanya. Hingga saat ini, kurang-lebih 563 orang yang ikut berpartisipasi, dan tentu saja akan bertambah lagi. Demikian wacana lainnya yang di lontarkan oleh sosok-sosok yang ‘berpengaruh’ di grup ini dalam memperingati HUT Enrekang. Artinya, kuat kemungkinan bahwa dalam setiap desa di Enrekang ada individu atau masyarakat (dan mungkin banyak) yang terkoneksi atau bergabung dalam grup tersebut.
Saat ini anggota grup Massenrempulu berjumlah 15.902, jumlah yang lumayan banyak, dari total penduduk Enrekang yang berjumlah ± 190.579 jiwa (Wikipedia). Dari jumlah itu penduduk Enrekang yang hadir di dalam bentuk ruang publik baru ini. Selain sebagai media-ruang sosial baru, anggota-anggota grup ini hadir bahkan ‘berlomba-lomba’ mengkonstruk diri dan atau menyebarluaskan segala informasi perihal Enrekang. Namun tidak menutup kemungkinan, dari jumlah 15.902 ini terdapat banyak identitas anonym dari para anggota grup. Hal ini wajar, sebab di ruang virtual (internet) identitas seseorang menjadi kabur dan bias. Dalam arti bahwa dari sekian banyak pengguna facebook, identitas yang muncul secara online tidak berarti sama dengan identitas seseorang kala di dunia nyata (offline), sebab itu pengguna medsos terkadang muncul secara anonymity dan bukan dirinya yang nyata (offline).
Kalaupun terdapat identitas nyata (offline) yang sama (setidak-tidaknya mirip) dengan identitas di ruang virtual (online), hal ini dianggap sebagai menegaskan identitas otentik. Walau tentu saja identitas otentik seringkali terpengaruh oleh hasrat mempertahankan identitas yang mapan dalam beragam pekerjaan/profesi. Tetapi sekali lagi, dalam ruang virtual sangat susah menelusuri identitas yang otentik. Mengapa ? sebab terkadang manusia yang mapan, biasanya hadir dengan ‘aku’ yang “rendah hati” (atau juga bijaksana), dan atau justru sebaliknya. Hal ini, bukan mengartikan bahwa orang-orang Enrekang yang memiliki perangkat untuk tersambung ke grup Massenrempulu atau media sosial diartikan mapan secara materi. Sebab dewasa ini, susah menebak kemapanan dalam bentuk kepemilikan perangkat TIK atau facebook dan media sosial lainnya.
Selain itu bahwa interaksi yang terjadi didalam ruang virtual cenderung tidak lagi melihat status-strata sosial dalam masyarakat. Olehnya, wajarlah bilamana sering terjadi konflik ‘urat saraf’ dalam mengklaim kebenaran argumen yang diyakini. Apalagi jika pengguna media sosial tidak ma(u)mpu mengedepankan etika berinternet (netiquette). Bahkan Dean dalam Rulli Nasrullah (2014) melihat internet pada dasarnya merupakan tempat tumbuhnya konflik ketika terjadi interaksi didalamnya. Sebab ruang interaksi sosial tersebut dipenuhi subjektivitas yang berbeda dengan dunia nyata.
Filterisasi yang dilakukan oleh admin (pembuat grup) dengan aturan-aturannya seringkali tidak mampu membendung konflik ketika banyak komentar/status (termasuk bentuk audio-visual) yang dinilai kontroversial. Fenomena ini seringkali terjadi dalam grup Massenrempulu, dan juga di grup/media sosial lainnya. Walaupun pilihan proteksi dapat dijalankan melalui penghapusan status (komentar) hingga keanggotaan. Berikut peraturan pada poin 9 dalam grup ini :
Administrator tidak selalu memonitor konten dan pesan yg diterbitkan member di wall Group Massenrempulu setiap saat. Apabila anda tidak mampu memenuhi peraturan diatas, Jajaran Administrator berhak melakukan tindakan lebih lanjut. Member/anggota yg melanggar dapat dihentikan keanggotaannya tanpa peringatan terlebih dahulu. Admin hanyalah sepenggal kegiatan diwaktu senggang untuk merapikan postingan yg perlu dibenahi. Mereka tidak dibayar, mereka sadar dan ingin membuat Group Massenrempulu lebih nyaman dan berkualitas disimak.
Namun peluang untuk menimbulkan konfilk baru selalu ada celah, potensi itu bisa muncul melalui identitas anonym (baru) atau palsu sangat terbuka. Tetapi proses filter ini juga dilakukan dengan menjadikan grup Massenrempulu sebagai grup tertutup. Artinya grup ini sebagai ruang publik baru (New Public Space/sphere) untuk berdemokrasi atau berorasi secara terbuka tetapi memiliki etika/aturan yang berlaku.
Konstruksi diri melalui media sosial memang kadangkala memunculkan ‘kedirian’ yang palsu. Dalam arti bahwa ada potensi pengguna menyelipkan (walau susah untuk menyembunyikan) keakuannya pada media sosial. Untuk melihat identitas semacam ini, maka perlu kiranya menelusuri identitas nyata melalui komunikasi (verbal) langsung. Walapun sangat susah, sebab anggota dalam grup Massenrempulu tidak semuanya berdekatan secara geografis dan atau tidak adanya alasan untuk berkomunikasi atau bertemu. Alternatif lainnya juga dapat dilakukan dengan metode analisis teks (analisis teks, naratif, dan wacana) –teks disini melingkupi tulisan dan audio-visual- dan konteks di media siber (facebook). Hal ini juga menjadi salah satu bentuk riset dalam penelitian media siber yang di tawarkan oleh Rulli Nasrullah (2014) dalam bukunya Teori dan Riset Media Siber.
Selain itu, sebagai contoh pengalaman penulis, seringkali kita berjumpa beberapa orang yang ‘akrab’ di media sosial tetapi ketika bertemu langsung terkadang seperti tidak pernah bertemu. Tentu saja selain bahwa akun yang digunakan kabur, juga mengabaikan realitas sosial yang ada. Padahal sekiranya realitas maya yang terbawa ke realitas nyata, maka facebook (Grup Massenrempulu) benar-benar menjadi medium silaturahmi. Sehingga selanjutnya, komunikasi yang terjadi media sosial menjadi kelanjutan dari dunia nyata. Gruf facebook bahkan mampu menjadi ruang sosial (publik) yang dapat memengaruhi komunikasi massa, memberikan pengaruh pada aspirasi advokasi seperti yang dicontohkan petisi change.org, yang sudah membuktikannya. Olehnya dapat dikatakan komunikasi yang terbangun didalam media sosial merupakan soal yang memberikan dampak yang kompleks.
Akan tetapi, selalu ada harapan untuk menjadikan facebook (grup Massenrempulu) sebagai ruang publik yang demokratis dan egaliter yang memberikan keuntungan bagi semua elemen masyarakat, jika itu dilandasi dengan terbuka, saling menghargai dan beretika. Agar sekat-sekat dalam status sosial (online dan offline) hendaknya menjadi dinamika plularitas untuk memajukan Massenrempulu, bukannya bercerai-berai atau bertengkar. Dengan begitu, grup Massenrempulu yang strategis (secara kuantitas dan berupaya dengan kualitas) ini hendaknya menjadi ruang publik baru yang mampu memengaruhi transformasi sosial baik dalam pemerintahan, budaya, ekonomi, politik, sosial dan sebagainya. Siap-siaplah anda menjadi transformer di gruf Massenrempulu !
***
Sejak dilahirkan hingga sebelum hijrah ke Makassar untuk belajar, saya mendapatkan banyak pelajaran tentang alam dan kehidupan desa Enrekang. Di sebuah desa bernama Karrang, kecamatan Cendana, saya menemukan fenomena sosial yang begitu kontras dengan apa yang saya di sebut progressif. Pertama, sekalipun akses jalanan, jaringan, pendidikan sudah membaik, tetapi pola pikir masyarakat terhadap pendidikan masih kurang. Kendati jika dihitung-hitung jumlah siswa dan mahasiswanya bertambah. Walau tidak pernah terlontar di mulut masyarakat atas ketidakmampuan menyekolahkan anaknya hingga kuliah, tetapi yang terjadi banyak anak-anak (remaja) yang putus sekolah, hingga akhirnya merantau. Hal ini sangat saya rasakan ketika dulu berlatih/bertanding sepakbola, masih banyak teman seusia saya dan pemuda yang rata-rata masih sekolah di kampung ini, tetapi setelah itu semuanya keluar daerah untuk mencari pekerjaan.
Kedua, adapun faktor-faktor yang melatar belakangi terjadinya perantauan atau arus urbanisasi tersebut diantaranya : 1) Kurangnya lahan garapan dan kreatifitas penggarapan lahan; 2) belum adanya kemauan (pengusaha lokal) dan kemampuan pemerintah untuk membuka lapangan pekerjaan; 3) paradigma kesuksesan diasumsikan hanya dapat diraih dengan merantau seperti orang-orang sukses sebelumnya; 4) masyarakat dan lingkungan sosial belum mendukung dan memotivasi pemuda-remaja untuk kreatif/berperilku positif dan mencegah kenakalan pemuda. Bahkan saya belum melihat beberapa orangtua tertarik melanjutkan anaknya berkuliah, meskipun memiliki kemampuan materi yang tidak diragukan. Namun tentu saja, hal ini mungkin tidak berlaku bagi desa-desa lainnya, terutama di bagian Duri, Enrekang dan Maiwa, yang banyak mahasiswa yang berasal dari pelosok dan dari keluarga sederhana tetapi mampu membiayai sekolah anaknya di luar Kabupaten Enrekang.
Disamping bahwa di kampung saya, tetap saja ada yang memiliki keterbatasan materi sehingga tidak dapat menyekolahkan anaknya kejenjang selanjutnya, khususnya pada tingkat perguruan tinggi. Apalagi pamor untuk melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi di kabupaten Enrekang masih minim, walaupun terbuka beberapa kampus seperti akademi/sekolah kesehatan, STKIP Muhammadiyah, dan Institut Pertanian. Ketiadaan kampus yang dapat dijadikan ikon dengan kualitas baik dan menjadi kebangaan masyarakat merupakan salah satu hal yang perlu di perhatikan pemerintah dan tokoh-tokoh ‘besar’ yang berasal dari Massenrempulu.
Walaupun dalam forum organisasi mahasiswa daerah (organda) pernah mengusulkan pembangunan Universitas di Masenrempulu, akan tetapi sepertinya jauh panggang dari api. Alhasil para alumni universitas/PT yang berada di luar Enrekang tidak sedikit yang beradu nasib sebagai masyarakat urban. Bahkan ada yang mengasumsikan bahwa jika pulang kampung hanya ada dua peluang yakni menjadi PNS atau Petani (atau profesi orang tua). Pada dasarnya asumsi tersebut perlu di teliti lebih lanjut, sebab mungkin saja ada faktor semangat merantau para masyarakat Enrekang yang tinggi atau sebagainya.
Saya teringat ketika Bupati Enrekang, H. Muslimin Bando, dalam sambutannya pada acara pembukaan Bimtek Sistem Otomasi bagi Pengelola Perpustakaan Sekolah (1/2015) di Aula KPAD Enrekang menggambarkan penghasilan orangtua para mahasiswa yang berputar di luar Enrekang. Ia merincikan dengan presentase uang pembayaran SPP, rumah kontrakan (kos), dan biaya hidup sehari-hari yang banyak keluar di daerah tersebut. Kesannya, beliau mengharapkan para pelajar yang ingin melanjutkan kuliah dapat bersekolah di daerah sendiri.
Harapan itu mengisyaratkan harus ada pembangunan dan atau perbaikan perguruan tinggi di Kabupaten Enrekang. Keberadaan sebuah PT di sebuah daerah memang pada dasarnya memberikan dampak positif bagi masyarakat. Disamping membuka peluang peningkatan pendidikan, juga menciptakan ruang bagi aspek ekonomis, budaya, dan aspek lain dalam kehadirannya. Hal yang relevan dengan kehadiran dan tujuan PT -setelah di satukannya melalui Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi- terhadap pengabdian masyarakat adalah riset yang kontributif dan kolaboratif bagi pengelolaan potensi kekayaan alam (agro), pariwisata dan kebudayaan, lembaga pemerintahan dan wirausaha/industri lokal Enrekang.
Bahkan jika boleh memberi usul, penulis mengharapkan ada semacam upaya bersama mengumpulkan riset-riset yang penelitiannya berfokus pada keyword Enrekang (segala penelitian) yang ditulis oleh mahasiswa Enrekang maupun pihak lainnya, baik melalui kerjasama perpustakaan-perpustakaan dimana alumni itu selesai maupun secara pribadi. Hal ini bisa dilakukan melalui pengumpulan koleksi-koleksi tersebut di Kantor Perpustakaan, Arsip dan PDE Kabupaten Enrekang dan atau dengan menciptakan katalog induk koleksi dengan sistem Online Public Access Catalog (OPAC) seperti makassarlib.net yang didukung oleh system Senayan Library Management System (SLiMS) atau sistem penelusuran lain melalui media online. Dengan ketersediaan akses literasi yang mudah, diharapkan memberikan konstribusi dan evaluasi bagi unsur-unsur masyarakat Enrekang, terutama dalam menumbuh-kembangkan semangat para pelajar/mahasiswa untuk melakukan riset yang dapat memperkuat identitas, sejarah, budaya, seni, pertanian dan sebagainya di Kabupaten Enrekang
Sementara untuk menghidupkan kota Enrekang yang kadang mendapat stigma kota sepi, pemerintah hendaknya memberikan ruang kreatif dan menciptakan industri-ekonomi kreatif bagi para pemuda, sehingga kota Enrekang menjadi atraktif dan lebih hidup dengan kreativitas. Di samping para lulusan PT, mau dan berani menciptakan ruang kreatif dan ekonomi kreatif baik melalui komunitas maupun secara mandiri. Sebab selama ini, khususnya ketika saya masih belajar di SMAN 1 Enrekang (kota) dari Karrang yang berjarak 19 Km, bahkan hingga saat ini, saya seringkali merasa sepi dengan ruang kreatif dan dinamika perkotaan yang datar. Walaupun kadangkala bagi penduduk kota di metropolitan malah menikmati suasana kota Enrekang yang demikian. Kira-kita begitu tanggapan yang sering saya terima dari beberapa teman yang notabene berasal dari kota metropolitan. Padahal menghidupkan kota Enrekang dapat dilakukan dengan beragam cara, salah satunya dengan mendirikan ruang publik yang kreatif. Sebagai contoh yaitu dengan mendirikan taman bacaan, rumah kreatif, kedai buku/café baca, dan beragam komunitas kreatif yang mampu membuka ruang sosial/publik offline yang kreatif. Contoh komunitas yang saya amati yaitu Komunitas Fotografi Massenrempulu (Makkita) dan Café Galeri Macca di area tanggul sungai Saddang, yang perlu membangun semangat dan sinergi antar komunitas kreatif.
Dengan keberadaan ruang publik dan ruang kreatif, diharapkan Enrekang mampu melahirkan generasi muda yang lebih optimis, kreatif, inspiratif dan tentunya bermanfaat bagi tana Massenrempulu. Melalui perpaduan ruang publik/sosial baru (online) dan realitas di ruang publik/sosial (offline) dengan cara menjalankan komunikasi di dua ruang ini, maka Massenrempulu dapat bertansformasi menjadi kota yang menyenangkan dan progressif dalam tantangan zaman. Semoga !
Mohon maaf jika terdapat kekeliruan. Terima Kasihtelah membaca ! (irs)