Mentalitas Perang

Ketika tidak ada perlawanan di muka bumi ini, ketentraman akan menjadi “gaya” hidup baru manusia. Bisa dibayangkan ketika semua manusia berada dalam satu status sosial, misalnya sebagai polisi, siapa lagi yang akan diamankan, atau katakan saja tidak ada alasan jadi polisi. Bahkan seorang mahasiswa, ketika mendapati interaksi dunia yang semuanya di penuhi mahasiswa, maka untuk apa jadi mahasiswa. Tetapi mungkin itu mustahil, namun keinginan hidup damai yang tidak mustahil bukan ? Sebab, niat damai dan aman tidak pernah lahir dengan sendirinya, ada faktor bernama potensi kacau dan takut yang menjadi semangat manusia untuk menuju kesana. Jika begitu, bukankah kita semakin menghidupkan kedamaian dengan mengatakan “pertengkaran” itu perlu.

Filsuf Yunani Herakleitos (500 SM), orang fasis pertama yang mengatakan “Homerus salah ketika berkata bahwa “semoga pertengkaran hilang lenyap dari antara dewa-dewa dan manusia”. Ia tidak sadar bahwa ia telah memohon kehancuran alam semesta… Perang adalah hal yang biasa bagi semua orang, dan pertengkaran adalah keadilan. Perang adalah bapak dan raja segala sesuatu, beberapa orang telah dijadikan dewa-dewa dan beberapa orang lain dibuatnya sebagai manusia biasa; beberapa dibuatnya tertindas dan beberapa yang lain bebas”. Demikianlah pertentangan Herakleitos yang digambarkan oleh Betrand Russel dalam karyanya The Impact of Science on Society.

Perang merupakan pertarungan atas suatu perebutan maupun pertentangan terhadap sesuatu. Sejarah menceritakan bagaimana manusia berperang untuk saling meniadakan demi sebuah kekuasaan. Kekuasaan akhirnya menjadi semacam daya pikat yang tiada taranya ketimbang rasa kemanusiaan. Tengoklah Negara-negara di Timur Tengah yang menderita karena perang hingga saat ini. Satu hal penting dari instrumen kekuasaan itu ialah bagaimana kemajuan ilmu pengetahuan yang dimiliki manusia menjadi keunggulan sekaligus mengungkung manusia lainnya.

Aneh memang, kemajuan teknologi di dunia ini tidak lebih berangkat dari agenda perang. Bahkan Bertand Russel mengatakan sepanjang sejarah, perang merupakan sumber utama kohesi sosial dan sejak ilmu pengetahuan berkembang, perang merupakan pendorong utama kemajuan teknik. Dapat dipikirkan untuk apa senjata pemusnah di produksi, bahkan mengapa manusia-manusia takut dengan kekuatan nuklir. Bom yang dicitrakan untuk membantu meratakan gunung-gunung atau pembuatan danau didaerah-daerah kering, menjadi semacam   jebakan ketika Palestina diluluhlantakan. Pesawat nirawak yang mengintai teroris menjadi ketakutan baru yang mematikan bagi dunia. Hingga menenggelamkan perahu nelayan dengan senjata militer.

Semua itu mengambarkan bahwa perang meniscayakan pengakuan. Abraham Maslow dalam teori piramida kebutuhannya menerangkan bahwa manusia ingin kebutuhan fisiologis, rasa aman, di sayangi, di hargai/akui, dan aktualisasi diri. Bagi kaum bijak, mereka menyayangkan bahwa manusia yang butuh keamanan juga membuat ketidak-amanan demi pengakuan dan aktualisasi diri. Tetapi justru kadang ketidak-amanan itu menjadi kenyaman bagi orang-orang tertentu. Apalagi jika sudah bersentuhan dengan orang-orang yang dicap dengan kaum intelektual. Jika tidak, mereka akan mengatakan luntur sudah citra akademik yang menjadi kebesaran almamater.

Lanjut  Russel, salah satu sumber pertengkaran yang serius datang dari soal minyak bumi. Russel bahkan mengemukakan hal ini terutama berlaku di Timur Tengah dan Indonesia. Ketika kebijakan pemerintah di Indonesia menaikkan BBM, pertengkaran tidak pernah dapat dielakkan. Mahasiswa yang berada ditengah jalan memainkan peran sebagai apa yang di isyaratkan Herakleitos yaitu “dewi keadilan”. Apa yang terucap dari mereka adalah buah timbangan ilmu pengetahuan yang mengkhawatiran realitas sosial dan masa depan.

Saat yang dinanti, seorang pemimpin dengan wajah baru penuh harapan dari rakyat, seketika berubah setelah mengambil langkah yang mencemaskan rakyat. Tiada satupun diantara manusia yang menampik bahwa perlawanan merupakan instrumen mewakili kecemasan tersebut. Hanya saja, agenda penolakan selalu dipahami dalam bentuk kekerasan. Tiada pula yang menyangka bahwa sebuah gerakan melahirkan sebuah istilah anarkisme. Anarkisme yang menjadi sebuah ideologi perjuangan untuk menciptakan masyarakat tanpa hirarkis, ditafsirkan dalam konteks tertentu sebagai hal yang diklaim liar dan brutal. Unsur-unsur sebuah perjuangan justru terkontaminasi dalam perang hirarkis.

Tetapi “seliar” apapun sebuah perlawanan, apalagi yang berangkat dari masyarakat ilmiah, tentu berbeda dengan liarnya geng motor yang brutal bahkan koruptor. Jika perang yang berdarah-darah telah melahirkan konsep kehidupan yang merdeka, yang sekarang ini membuahkan penawar hidup damai sejahtera dalam kartu. Soal itu terwujud atau tidak, tetap saja perlawanan pasti ada sebagai cikal bakal kebijakan selanjutnya. Yang pasti sebuah perlawanan akan menjadi motivasi bagi penemuan baru dan menatap kehidupan yang lebih baik bagi ‘oligarki ilmiah’. Dialektika perlawanan yang berbasis ilmu pengetahuan memang tidak akan pernah habis, sebab ia memang menjadi pendesak sekaligus inspirasi menciptakan hal yang baik. Jika hari ini ada yang keluar dari hal yang dianggap tidak wajar maka menjadi cermin renungan bagi kita semua. Bukankah negara kita penganut demokrasi ?

Tetapi bagi Russel kata ‘demokrasi’ punya arti yang membingunkan, disebelah timur Sungai Elbe, demokrasi berarti “kediktatoran militer minoritas yang didukung oleh kekuasaan polisi yang sewenang-wenang”. Mendengar kata demokrasi kita cenderung mengatakan kebebasan yang disepakati pada abad ini. Tetapi Russel lebih senang memakai demokrasi sebagai “kesempatan untuk berinisiatif”, yang mengusulkan perubahan sebagai ciri masyarakat ilmiah.

Kita boleh saja menyalahkan angkatan baru dalam memaknai demokrasi dan kebebasan, tetapi apakah kita mampu memprediksi ‘silogisme kategoris’ keilmiahan kita dalam memandang sesuatu pada masa mendatang. Sebab jangan-jangan seperti yang ditakutkan Russel bahwa pada suatu gilirannya mereka akan memiliki jasa yang lebih menonjol ketimbang pendahulunya. Sebab oligarki penguasa selalu menggunakan ‘kekerasan’ yang berperangkat hukum demi menahan agresi kebebasan yang merugikan. Sementara hal serupa, tidak berlaku bagi parta-partai yang berperang kekuasan, prinsip yang beradu tidak menyatukan solusi dengan kekuatan hukum. Suguhan seperti itu lebih nyata lagi mendukung “pertengkaran adalah keadilan”. Akhirnya, patutlah kembali mempertanyakan ungkapan yang mengatakan bahwa “liar dan brutal bukanlah identitas masyarakat ilmiah”, dengan argumen-argumen Dampak Ilmu Pengetahuan Atas Masyarakat  yang diperankan Russel diatas. (irs)

Di terbitkan Koran Tempo Makassar (15/1/2015)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *