Sipakainga Ma’baca

Ingat ! Iqra !
 
Suatu pagi, juga seperti hari-hari sebelumnya, saya menikmati hidangan pembuka pagi berupa Koran-koran di sebuah ruang baca bernama Taman Baca Mosse, tepat depan kampus 1 UIN Alauddin Makassar. Melihat antusias pembaca yang datang, saya lantas merasa ‘malu’ sebagai mahasiswa perpustakaan dan informasi, dan diam-diam terinspirasi dengan taman bacaan ini. Hari-hari dimana tidak ada kuliah, saya selalu berusaha menyempatkan diri ketempat itu membaca beragam Koran. Sudah 2 tahun saya menjadikan tempat sederhana ini melihat berbagai hal. Hanya saja 2 bulan terakhir, saya memutuskan untuk berpindah ke taman baca yang berada di Jalan Abdul Daeng Sirua, tepat depan warung makan Coto Daeng yang ramai didatangi orang-orang berkendaraan mewah. Migrasi ini sekedar mencari suasana baru, meski jarak antara indekos tempatku cukup jauh.
 
Setiap berada di Taman Baca Mosse, kekagumanku selalu ingin menepis anggapan bahwa minat baca kita tidak rendah. Mengapa membaca itu baik ?, yang ditulis Putu Laxman Pendit seperti bayang-bayang yang sedang kucari di tempat-tempat seperti ini. Yopie Mosse, begitu sebutan lelaki tambung yang telah bergelut selama sekitar 15 tahun sebagai penyedia Koran dan majalah. Kehidupan yang sederhana bersama istrinya tetapi berarti, mengalahkan formalitas program-program gemar membaca. Demikian halnya penyedia ruang baca di Jalan Abdul Daeng Sirua yang penuh senyum dan ramah pada pengunjung, membesitkan harapan masyarakat kota yang cerdas.
 
Hari-hari berikutnya, permenungan identitasku kurajut, sembari berkunjung ke Kampung Buku, Rumah Baca Philosopia, Kedai Buku Jenny dan Perpustakaan Kata Kerja. Kesemuanya beserta pengelolanya, menjadi suatu pelajaran berharga yang sebelumnya juga pernah kutemukan di TBM Cakruk Pintar, Yogyakarta. Dinamis, Kreatif, dan Inspiratif, itu merupakan kalimat untuk mengungkapkan eksistensi ruang baca tersebut. Tempat yang menjadi media belajar masyarakat, walau kadang sepi, tetapi sejatinya selalu menjaga ingatan/memori tentang kita, tuhan dan alam.    
 
Beberapa hari yang lalu, ketika berdiskusi dengan Anwar Jimpe Rahman tentang Taman Baca di Kampung Buku, sebuah buku baru menarik perhatianku. Makassar Nol Kilometer (DotCom) : Jurnalisme Plat Kuning adalah karya Anwar Jimpe Rahman dan kawan-kawannya yang bergiat di Tanahindie dan Makassar Nol Kilometer DotCom. Walau belum sempat membaca keseluruhan, pada halaman komunitas (189) menjadi bacaan pertama. Dalam tulisan Muhammad Aksan berjudul Buku Basah dan Berdebu di Sipakainga pada buku itu, mengantar saya pada hari itu juga di Taman Baca yang bernama Kedai Baca Sipakainga 43, Jalan Veteran Utara Lorong 43 Makassar.
 
Sebuah tempat yang di bangun diatas panggilan jiwa, kegilaan terhadap buku (Bibliomania) dan semangat Sipakainga (saling mengingatkan) untuk membaca. Sosok pendirinya itu bernama Anwar Amin. Seorang ‘biasa nan berjasa’. Berdiskusi dengannya bagai seorang “dosen” yang bijak, sebab ia memang terlahir dari rahim seorang pencinta buku. Ia adalah seorang mantan aktivis angkatan 66 yang menebar subversi terhadap orde lama. Sosok yang mengejutkan pemerintah Makassar dan Sulawesi Selatan, dengan penghargaan atas prestasi bidang pendidikan dan kebudayaan yang diperolehnya dari Kemendikbud pada Hari Aksara Internasional ke 48 tahun 2013, bersama 6 orang dari provinsi lainnya. Keterkejutan pemerintah itu, di bayar dengan ikut memberikan penghargaan atas prestasi dalam bidang pendidikan kepada Anwar Amin dalam rangka Hari Jadi Kota Makassar yang ke-407 tahun pada tanggal 31 Oktober 2014. 
 
Kendati bukunya telah banyak yang lapuk dan berserakan tanpa klasfikasi dan pengkatalogan yang rapi, namun tetap saja sangat menggairahkan pembacanya yang setia. Di atas pondasi kedai baca ini, hidup sekelompok Pedagang Kaki Lima (PKL) yang menyiratkan perlawanan pada nasib dan sistem yang membelenggu dan memarjinalkan manusia di perkotaan. Bagi Anwar Amin, orang yang tidak melakukan sesuatu apapun untuk orang lain, berarti tidak bebuat apa-apa untuk dirinya, begitulah kalimat Johan Wolfgang Von Goethe yang menginspirasinya. Ia bahkan telah melampaui cita-cita perpustakaan sebagai pusat belajar dan wadah pemberdayaan masyarakat. Walau berpenghasilan bagaikan jauh api dari panggang, namun secangkir suguhan kopi dan membaca bukunya, telah membuatnya tersenyum dan bersyukur.     
 
Hari itu, Anwar Amin mengenakan pin emas dari Pemerintah Kota Makassar dibaju kaos merah yang bertuliskan “Merayakan Literasi, Membangun Imajinasi”, yang dibawahnya dari Festival Taman Bacaan Masyarakat 2014 di Kota Kendari pada oktober lalu. Hari itu juga, aku membuang kekecewaan kepada perpustakaan-perpustakaan yang sebelumnya kudatangi. Taman Baca dan perpustakaan yang bertempat di kantor lurah hingga kampus yang berwajah sepi atau yang terus saja tutup, kini meninggalkan jejak tak berbekas. Tetapi mungkin suatu waktu akan datang orang-orang yang mau menginspirasinya bahkan menghidupkannya dengan ikhlas seperti Anwar Amin, Anwar Jimpe Rahman, Aan Mansyur,  dan nama-nama lainnya yang berjiwa literasi.
 
Esok, ketika kita terbangun kemudian tidak lagi mengingat diri, setidaknya mereka masih bersimpul semangat sipakainga ma’baca (saling mengingatkan untuk membaca). Cerita tentang perjuangan Anwar Amin, istrinya serta mereka yang tersebut namanya diatas, tidak akan pernah putus, ia akan abadi dalam setiap diri manusia yang senantiasa menanamkan sipakainga ma’baca. Kelak, kita tidak lagi disuguhi cerita tentang sebuah proyek berlabel gemar membaca dengan segudang penghargaan, tetapi nihil “harga”. Sebab kita bukan manusia dalam proses pengingatan kembali -seperti yang diteorikan Plato- lalu mendaku paling berprestasi. Kita manusia yang mengingat diri dalam membaca diri, tuhan dan alam. Sipakainga Ma’baca itulah sentris-pusat ikhtiar kehidupan manusia menemukan yang hakiki.
 
Terima kasih untuk mereka semua yang mungkin terlupakan oleh hingar-bingar perkotaan, tetapi senantiasa mengingatkan kami untuk membaca. Kalimat penyambut dan pengantar pulang di Kedai Baca Sipakainga: “Einstein saja punya waktu untuk membaca. Kenapa Anda tidak ?”, seakan mengunggah identitas ‘kelas’ kami, sebab sangat ironi jika ternyata Einstein hanya berteman dengan para PKL. Satu hal yang mutlak Anda harus ketahui adalah alamat perpustakaan, demikian pesan Albert Einstein (1879-1955). (irs)

3 thoughts on “Sipakainga Ma’baca”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *