Soal cinta buku, memang datang pada siapa saja yang hendak menjadikannya sebagai “kekasih setia”. Tidak pula seorang merasa jenuh dengannya, justru menghadirkan cakrawala bagi pembaca untuk diaktulisasikan dalam konteks kehidupannya. Narasi yang didengunkan menjadi penopang argumen yang telah melalui analisa konteks, lalu kembali berdiam lestari dalam konten untuk mentransformasikan pesannya. Begitu kuatnya ketertarikan buku sebagai simbol intelektual, hampir segenap pecinta buku mengabdikan dirinya pada aktivitas literasi dan jika tidak sebagai kolektor buku yang siap memenuhi koleksinya di perpustakaan pribadi.
Bahkan bagi pecinta buku, buku menjadi semacam ruang berdiplomasi, menjadi sarana komunikasi dalam mencapai tujuan tertentu. Apalagi diplomasi selama ini dikenal bergerak pada kepentingan nasional. Diluar pada itu, diplomasi buku harus mampu mengajak dan menggairahkan masyarakat pada dunia literasi. Muhidin M Dahlan mengharapkan Diplomasi Buku (Tempo) sebagai jalan menggairahkan perbukuan kita yang lesuh darah.
Betapa mengecewakannya ketika layar kaca televisi kita menampilkan pertikaian politikus yang dramatis, seakan-akan menjadi pengganti drama laga. Coba bayangkan bagaimana serunya pertarungan gagasan jika dibungkus dalam buku, hasilnya akan lebih menarik perhatian. Bahkan dapat memberikan pencerahan atau inspirasi, sehingga rakyat punya alasan logis dalam memilih wakil rakyat. Bukan hanya dengan spanduk dan berbagai selebaran politikus yang terpampang, apalagi jika hanya tampil tanpa gagasan dan nihil harapan.
Menerbitkan buku -terlepas dari statusnya- merupakan hal yang masuk akal bagi para intelektual bahkan masyarakat awam. Sebut saja di antaranya, Politik untuk Kemanusiaan yang ditulis oleh Tamsil Linrung. Ketika mendeklarasikan diri sebagai salah satu calon Walikota Makassar, agenda kampanye dimulai dari buku. Melalui buku itu, seorang Tamsil terbuka menyampaikan gagasannya dan siap berhadapan siapa saja secara ilmiah. Mantan Presiden SBY pun pernah menjawab berbagai kebijakan politisnya dengan buku, demikian halnya pemimpin lain. Walau mungkin sangat sedikit politisi yang mau dan mampu menampilkan dirinya dengan buku.
Politisi lainnya yang dikenal sebagai mantan Duta Buku Perpustakaan Nasional, Tantowi Yahya, juga menunjukkan satu teladan ketika aktif mengkampanyekan “Ibuku, Perpustakaan Pertamaku”. Bahkan sebagai juru bicara pada salah satu calon presiden yang lalu, Tantowi menjanjikan buku-buku yang murah melalui penghapusan pajak buku. Meskipun pada akhirnya menjadi pemanis kampanye.
Demikian halnya Fadli Zon yang aktif berbagi melalui koleksi-koleksinya di Perpustakaan Fadli Zon. Sebagai pimpinan DPR RI, Fadli Zon berjanji akan meningkatkan peran perpustakaan, risalah, maupun arsip. Menurutnya perpustakaan tidak hanya sekedar pelengkap, tetapi salah satu inti dalam menopang kinerja anggota DPR (dpr.go.id).
Satu hal yang menjadi pembeda dengan politisi lainnya ialah bagaimana mereka senantiasa bekerja untuk rakyat sambil berkampanye buku. Buku memang merupakan media pencerdasan, dan mencerdaskan adalah salah satu jalan mensejahterakan rakyat. Boleh jadi ketiga tokoh tersebut, telah melakukan diplomasi dari akar rumput hingga pejabat teras atas dengan “wajah buku”. Langkah tersebut bahkan dapat menjawab atau menepis Gubernur Jakarta, Basuki Tjahaya Purnama (dikutip dalam merdeka.com) yang menilai politikus sering ribut akibat tak suka baca buku. Sebab Ahok menganggap selama ini yang terjadi oknum politisi lebih banyak mendengar, sementara membaca kurang.
Namun di tengah-tengah pembangunan karakter ala “Revolusi Mental” yang digelorakan pemerintahan Jokowi-JK, Dewan Buku Nasional menjadi salah satu lembaga non-struktural dari 10 diantaranya yang dibubarkan pada 4 Desember 2014 lalu. Padahal salah satu instrumen untuk mewujudkan pembangunan sumber daya manusia yang handal yaitu melalui perhatian yang besar terhadap dunia perbukuan Indonesia. Lantas, siapa lagi yang harus kita titipkan harapan untuk berpihak terhadap perbukuan Indonesia?
Jika sudah begitu, akhirnya kita perlu berharap agar semangat perbukuan Indonesia dapat dimulai dari politisi yang memangku amanah sebagai teladan dan duta rakyat. Sehingga itu para politisi yang menggairahkan perbukuan dapat menyalurkan semangat literasi kepada rakyatnya. Sembari menanti kebijakan etis yang berangkat dari ketekunan para politisi membaca buku dan menemukan dirinya di perpustakaan. Sebab harapan lahirnya undang-undang, tidak serta merta karena alasan politis. Nantinya, mungkin pula rakyat tidak lagi ingin disuguhi berbagai kartu “smart”, tetapi buku yang murah dan akses perpustakaan yang melimpah. (irs)
Lianync
chloramphenicol will increase the level or effect of avapritinib by affecting hepatic intestinal enzyme CYP3A4 metabolism how to buy priligy in usa reviews