Hanya Sebuah Kertas

Sudah 5 bulan sampah menumpuk di depan halaman rumah, baunya mulai menusuk, apalagi jika angin berhembus kearah jendela yang selalu terbuka. Disamping jendela itu, terdapat sebuah bale-bale yang tampak baru karena dilapisi spanduk bekas sebuah merek kendaraan ternama. Tepat disamping bale-bale itu, sampah-sampah ditumpuk setiap hari. Ada banyak jenis sampah, tetapi semuanya basah karena sejam yang lalu hujan baru saja redah. Tetapi karena mumpun lagi prihatin sekaligus ingin membuat aktivitas, aku tergerak untuk membakarnya. Hanya saja, hampir tidak ada yang bisa terbakar lama, hanya plastik yang meleleh, setelah itu padam dan berbau tidak sedap.
 
Karena terlanjur hati ingin menikmati perapian, aku lalu mengambil beberapa lembar halaman koran. Aku tahu, beberapa kawanku juga senang duduk dekat pembakaran sampah, sambil memungut sampah lain kemudian dimasukkannya. Tetapi tanpa sengaja, kami menyadari masing-masing sedang larut dalam sebuah nyala api, mungkin juga lagi menghayal, tetapi sepertinya mereka sama sepertiku seakan menikmati api yang menghangatkan tubuh kami.
 
“Kau suka main api ? Apa kau juga sering di jalan depan kampus bermain dengan api ?” Tanya Andi, disela-sela membaca buku berjudul Api Islam.
 
“Tidak juga, saya biasanya hanya bisa berdiri diantara kerumunan, berteriakpun tidak, paling tidak membentangkan spanduklah. Tapi memang kadang nurani ingin dijalan. Hmm soal api, dan aku suka api jika dalam cuaca dingin. Apalagi kalau membakar sampah”. Jawabku.
 
Aku jelas lupa sejak kapan suka duduk didepan tempat pembakaran sampah. Seakan api ini menahan untuk beranjak. Aku sadar terkadang melihat api, aku takjub dengan kemunculannya. Ia seperti sebuah pertanyaan yang harus dijawab, melebihi bacaan filsafat yang mengajak kita merenung.
 
Api mulai padam, bekas Koran yang terbakar seluruhnya hitam, tetapi masih sangat jelas huruf-huruf yang terangkai dalam sebuah berita. Seketika itu, entah dari mana mulanya, hatiku seakan bersalah melihat hangus Koran itu. Alasannya mungkin agat rumit, tetapi selalu terbayang.
 
Saat hujan rintik kembali turun, hilang sudah huruf-huruf itu. Tetapi kali ini aku agak legah, sisa-sisa huruf tadi menjadi kompas baru. Disaat kritis seperti itu, bekas Koran itu tetap setia dengan informasinya. Mediumnya telah lenyap menjadi butiran halus hitam pekat, tetapi mediumnya telah didalam diriku yang akan membentuk medium baru.
 
“Ayo masuk di basecamp ! Kita main catur saja”, seru Andi.  Ia memang cukup baik dalam main catur, mungkin karena ia sudah kenyang pengalaman. Kemanapun ia melangkah, papan catur akan menjadi teman yang setia. Siapa saja yang datang mencarinya, ia akan duduk bersamanya berjam-jam memutar otak, dan tenggelam dalam papan caturnya.
 
Tetapi aku diam, kemudian menawarkan main daan. Sebuah permainan lain yang juga dimainkan diatas papan catur. Permainan yang saya anggap mengakal-akali dan memaksa, sebab jika tidak, maka yang berlaku ialah denda. Seorang pun kemudian datang, kebetulan saja ia memang juga jago dalam catur. Kupersilahkan dirinya.
 
Aku kembali bersandar pada seng tua yang dijadikan dinding. Aku lalu kembali menarik Koran yang berada dibawah meja yang seakan bersembunyi karena sebelumnya dijadikan alas. Kusimak dengan baik sebuah berita, sebenarnya sudah berapa kali aku melihat gambarnya, tetapi selalu saja tidak sempat membacanya. Judulnya “Tips menghindari lubang disaat musim hujan”.
 
Belum lagi selesai membacanya, aku melipat dan menekan dengan kuku tangan. Batas berita itu berbentuk persegi. Setelah itu, kutarik lipatan itu dengan mengikuti garisnya hingga membentuk satu buah potongan berita yang akan kutempel di mading kecil.
 
Entah apa yang kulakukan, tetapi kondisi cuaca diluar sana mempengaruhi diriku agar rela memasang potongan Koran itu. Disela-sela memperbaiki tempelannya, aku menemukan diriku dalam ingatan ketika dulu hampir jatuh dari atas motor karena terjebak lubang besar yang tertampung air karena hujan deras. Jadilah aku menyadari bahwa, setiap peristiwa akan terekam kembali melalui perantara sebuah medium. Seperti ingatanku pada peristiwa ini. Ada jembatan fisik yang bernama Koran dan jembatan abstrak yang bernama memori atau ingatan. Keduanya saling bertegur sapa. Sebuah teks yang mengajak melintasi imajinasi, bukan medium yang memaksa tafsir dan kepentingan semisal tayangan TV.
 
“Hey, apa kah kamu tahu, bahwa papan catur adalah pengasah pikiran ?” Tanya Andi.
 
Aku hanya diam dengan pertanyaan yang tiba-tiba terlontar.
 
“Bagimu, apa catur itu adalah olahraga atau game, atau tempat belajar dan merenung ?”
Tutur Andi lagi.       
 
Wah soal catur, saya harus sepakat denganmu Andi, sebab engkaulah yang menikmati papan catur itu. Saya hanya menikmati potongan Koran ini. Lagi pula dikotak hitam-putih papan catur itu terdapat banyak jalan yang engkau harus pecahkan, sama halnya kau menafsirkan teks yang berbahasa tinggi.  Kemenangan bagimu karena menikmati dirimu dalam berpikir, tetapi kamu sedikit lupa bahwa Koran yang kita bakar itu adalah cermin identitas kita. Aku menyadarinya, engkau mungkin tidak.
 
“Dimana koranku, siapa yang membakarnya ? teriak Harum, yang tiba-tiba datang dengan paras kesal di balik pintu belakang, mungkin karena melihat bekas potongan koran yang robek dan melihat sisa Koran terbakar. 
 
“Hanya sebuah kertas, sudahlah ayo kita main catur”, sahut Andi.
 
Aku lalu terdiam, mencari celah untuk menghibur Harum, tetapi juga diam-diam mendapat pelajaran dari peristiwa ini. Aku mengehla nafas, lalu dalam hati mengucap, aku ini pustakawan, kaum intelektual, dan produk peradaban kertas. (irs)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *