Guru dan Perpustakaan

Tidak dapat dipungkiri bahwa hampir di seluruh Indonesia perpustakaan sekolah masih di kelola oleh guru. Tanpa bermaksud mendiskreditkan guru, idealnya perpustakaan sekolah di kelola oleh pustakawan yang penrnah mengikuti pelatihan kepustakawanan dan atau alumni pendidikan perpustakaan. Akan tetapi jumlah alumni di bidang perpustakaan masih sangat minim, sehingga untuk menutupi tenaga pengelola perpustakaan maka di angkatlah guru sebagai pengelola perpustakaan. Biasanya guru yang ditempatkan adalah para guru honorer atau guru yang menambah jam ajar, walaupun memang ada guru tetap (PNS) yang diperbantukan di perpustakaan.

Posisi guru pada perpustakaan seharusnya dapat di maksimalkan dalam mendidik para peserta didik. Sebab di tempat tersebutlah jantung atau nadi sebuah sekolah sedang berlangsung. Walaupun kebanyakan guru menganggap perpustakaan hanya tempat sementara atau batu lompatan, tetapi hendaknya mampu menjadikan perpustakaan sebagai media pembelajaran alternatif dan efektif.

Selama ini para pengelola perpustakaan yang berlatarbelakang guru sudah sering mengikuti pelatihan dan diklat-diklat pengelolaan perpustakaan di berbagai daerah yang diadakan oleh Perpustakaan daerah maupun kemendikbud. Akan tetapi, adanya tugas ganda guru justru dirasakan menjadi beban yang tidak ringan. Mau tidak mau, terkadang perpustakaan tidak membuka layanan karena gurunya melaksanakan tugas pokok sebagai pengajar. Apalagi jika guru enggan dan setengah hati berada di perpustakaan, sudah tentu akan menelantarkan perpustakaan.

Keputusan kepala sekolah menempatkan guru bekerja di perpustakaan tidak seharusnya di jadikan sebagai beban apalagi hukuman. Sebab selama ini, kita juga sering mendengar perpustakaan sebagai “tempat guru/pegawai bermasalah” atau tempat penyucian. Di samping itu, kepala sekolah yang selalu menyampaikan bahwa perpustakaan adalah penting seperti jantung sekolah, tidak hanya mengumbar kata tanpa perhatian, apalagi jika baru akan bergerak ketika menghadapi akreditasi sekolah.

Dengan begitu, kepala sekolah semestinya memberi apresiasi yang tinggi kepada guru yang merangkap sebagai pengelola perpustakaan. Bahkan jika memungkinkan insentif mereka di khususkan dari guru yang lain, bukannya menanti persen dana BOS yang tak menentu. Sehingga semangat guru dalam mengelola perpustakaan dapat tumbuh dalam melakukan pendidikan di luar kelas.

Disisi lain, guru yang fokus mengajar di bangku sekolah hendaknya bersinergi dengan pengelola perpustakaan dalam mengarahkan siswa ke perpustakaan. Sebagai contoh, guru dapat memberikan tugas kepada peserta didik, yang sumber-sumbernya tersedia di perpustakaan. Selain itu, hendaknya jam perpustakaan terbuka lebih panjang atau menyediakan jam kunjung siswa ke perpustakaan,sebab selama ini proses belajar mengajar yang padat dikelas, tidak memberikan kesempatan kepada peserta didik masuk keperpustakaan. Ditambah lagi waktu istirahat yang lazim disebut “keluar main” memang digunakan siswa untuk bermain dan beristirahat.

Dengan menyadari pentingnya keberadaan sebuah perpustakaan dalam lingkungan sekolah, guru dapat membantu peran perpustakaan dalam mewujudkan kegemaran membaca anak didik. Sebab itu juga sekolah harus mampu memahami pentingnya kepustakawanan sekolah. Bahkan Putu Laxman Pendit (pemikir kepustakawanan) mengungkapkan bahwa Kepustakawanan Sekolah adalah pendidikan, bukan cuma sarana pendukung, atau cuma jantung dari sesosok tubuh. Melainkan bersama-sama pedagogi dan literasi, kepustakawanan sekolah adalah pendidikan itu sendiri. Dengan tegas Putu Laxman mengatakan satu unsur saja dari ketiganya “pincang”, maka terseoklah pendidikan itu.

Disinilah kita melihat bagaimana perpustakaan, pengelola perpustakaan, pustakawan dan guru merupakan satu kesatuan dari sebuah pendidikan. Pengelola perpustakan yang berlatar guru pada akhirnya mampu menumbuhkan literasi melalui promosi yang disampaikan kepada pelajar, baik dalam kelas maupun dalam perpustakaan.

Bahkan dapat dilihat di beberapa negara lain, seperti yang dikutip dari Putu Laxman, bahwa sinergi antara pedagogi dan Kepustakawanan Sekolah menjadi profesi formal sebagai Guru Pustakawan atau Pustakawan Guru (teacher librarian). Konteks Guru Pustakawan di Indonesia sudah tentu masih mengakomodir pengelola perpustakaan yang berlatar guru, apalagi yang memang pernah mengikuti pelatihan kepustakawanan dan apalagi alumni pendidikan perpustakaan.

Penjelasan diatas pada akhirnya, mengharapkan kesadaran yang nyata bagi para pemangku kebijakan di lingkungan pendidikan formal, terutama peran sekolah dan guru dalam melihat perpustakaan sebagai media yang dapat mengangkat kemampuan literasi para peserta didik. Kalaupun ingin menegaskan UU No 43 tahun 2007 tentang Perpustakaan, yang menekankan pengelolaan perpustakaan ditangan pustakawan (alumni perpustakaan dan pelatihan kepustakawanan), maka Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Diknas Kabupaten hingga kepala sekolah harus menerapkan undang-undang tersebut. Harapan itulah yang nantinya dapat mengangkat keberhasilan pada prioritas pemerintah dalam riset, moral/mental, dan budaya dalam pendidikan kita. (irs)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *