Ketika Koran Menjadi Sampah

“Sebab gugur daun dari dahannya pun menyiratkan informasi, lalu siapakah kita ?”

Sehari-hari kita melihat kontradiksi yang dilakukan manusia dalam identitas dan profesinya. Seperti seorang pecinta buku yang kemudian berprofesi sebagai “penghancur” koran, buku dan kertas, sebab ia bekerja disebuah pabrik penggilingan kertas. Berton-ton Koran telah ditimbangnya dan menumpuk, lalu dijadikan bubur kertas.

Sebuah pemandangan yang unik di negeri ini. Di Idul Fitri dan Idul Adha yang lalu, disalah satu mesjid besar kota Makassar, kita mendapati Koran-koran yang bertebaran seperti daun-daun yang berjatuhan dikala musim gugur. Koran-koran ini menjadi alas untuk beribadah di hari raya suci. Keengganan membawa pulang koran yang menjadi alas, Ibaratnya datang bersuci kembali tak “suci”. Koran-koran tersebut kemudian beralih sebutan menjadi sampah. Dan jelas jamaah –sebagai umat muslim- sepertinya mengabaikan kebersihan dan serasa enggang menyukseskan program pemerintah, MakassarTa Tidak Rantasa’. Tentu saja jamaah tersebut datang dengan identitas dan profesi yang beragam.

Tidak semua yang tidak lagi bernilai atau bekas kemudian dikatakan sampah. Sebaliknya, kadang yang dianggap sampah menjadi produk kreatif dan bernilai. Ada yang telah melalui daur ulang atau diolah sedemikian rupa. Bagi “pemulung” yang kreatif, koran bekas atau barang bekas lainnya adalah bukan “sampah”. Itu artinya hidup ditempat pembuangan akhir sampah bukan berarti tidak memiliki harapan. Bahkan perspektif orang tentang sampah terkadang menjelaskan status sosial, identitas hingga gaya hidup seseorang. Sama halnya pada orang-orang yang menganggap Koran adalah sampah, sebagaimana “posisi” ia memandangnya. “Sampah” orang kaya berbeda dengan “sampah” orang miskin, begitupun orang intelektual dan awam, kecuali sampah yang didefinisikan bersama atau yang benar-benar sampah. Bukan soal karena benda itu ada di tempat sampah. Sebab banyak sampah tapi tidak ditempat sampah.

Ketika menyaksikan koran-koran dibakar dan diterlantarkan di jalanan, saya menjadi heran. Saya terhantui oleh pertanyaan “mengapa manusia tidak menghargai sumber informasi”, lalu berusaha menemukan alasan dibalik itu. Alasannya sederhana, untuk membersihkan “sampah” yang bernama koran itu.

Lantas, bagaimana dengan koran-koran yang tidak pernah lagi dilirik dilemari rumah dan perpustakaan ? Benarkah sama dengan koran-koran yang terbuang. Seorang teman –yang merupakan pustakawan- dengan tegas mengatakan tidak ada sumber informasi yang bernama sampah. Bahkan seringkali kita mendengar berita (online) “sampah”, padahal apapun muatannya mestinya dinilai melalui kemampuan literasi informasi. Isyaratnya jelas, mengajak untuk menghargai sumber informasi, sebab hal ini sering diabaikan orang-orang, baik dalam “masyarakat informasi”.

Soal ini akan dibilang enteng dan hal kecil. Sebab orang-orang dinegeri ini seakan lupa bahwa banyak karya-karya klasik (langka) dalam bentuk buku dan koran telah merantau sekian lama di luar negeri, tak pernah kembali dan tak punya arsip. Para peneliti pun harus terbang ke luar negeri mencari jejak dan identitas negeri sendiri.

Bayangkan jika semua koran yang ada di buang tanpa menyisahkan arsip satupun. Kecanggihan teknologi informasi mungkin akan membantu, namun belum menjamin semua yang tercetak dialihmediakan secara fulltext. Jikapun tersedia dalam e-paper tetapi tetap saja harus merogoh kocek untuk berlangganan (mengarsipkan) atau durasi aksesnya terbatas. Disisi lain, adanya gerakan kapitalisme informasional di dunia maya, yang seakan-akan menghipnotis untuk bertransaksi melalui informasi yang memanjakan dan melimpah, bukan berarti akan menggulung informasi tercetak, dan akhirnya segera ditinggalkan. Prediksi bakal ditinggalkannya Koran (cetak) harusnya tidak dijadikan sebagai alasan untuk membuang Koran.

Kurangnya kesadaran arsip dan menghargai sumber informasi memang kadang ditaklukkan oleh pikiran praktis, pragmatis dan apatis. Akibatnya, tanpa disadari kita telah menghilangkan rekaman informasi yang sewaktu-waktu dapat menjadi rujukan. Tidaklah mengherankan jika di negeri ini, koran dijadikan penyala bara api di tempat pembakaran serta alas shalat di hari raya. Sebab hidup seperti itu mungkin masih didominasi oleh orientasi materi yang tak memikirkan manfaat jangka panjang koran. Jangan-jangan para pelaku produksi Koran ikut-ikutan tidak bergeming dan abai pada koran-koran yang bertebaran di mesjid dan jalanan itu. Jika demikian, bukankah mereka juga telah dibelenggu oleh orientasi materi. Atau mungkinkah mereka akan menyediakan –menjadi sponsor- alas shalat para jamaah dimesjid agar tak membawa koran lagi. Agar jamaah tidak lagi menginjak koran dan tidak benar-benar menamakannya “sampah”.

Kontradiksi yang paling nyata ialah kaum intelektual yang mengabaikan Koran. Bahkan ada diantaranya yang membakar dengan alasan dogmatis, hedonis, dan apatis. Bagi orang yang sering membaca Koran (baik yang tidak), lalu membakarnya, sepertinya tak merasa membutuhkan dan memiliki kepentingan. Sesungguhnya ia telah menghilangkan jejak aksara, sebab yang dibakar adalah informasinya -bukan mediumnya-, tetapi tanpa medium jelas tiada informasi-makna. Hanya kekuatan ingatan terhadap informasi yang akan menjadi penjaga dan pelestari subjeknya. Namun sejauh mana memori itu tetap lestari didalam manusia yang tidak hidup kekal. Itu artinya koran merupakan salah satu medium yang melestarikan sumber informasi untuk rentang waktu yang dapat melebihi usia manusia (pelestarinya).

Ironinya kadang penulis ataupun juga penerbit luput dari pengarsipan yang baik. Sebagai media informasi, Koran, buku serta sumber informasi lain sama-sama penting untuk dilestarikan. Bagaimana kita (identitas dan profesi) tanpa memori, tanpa arsip, dan tanpa penghargaan ? Apakah kita masih akan menganggap Koran (bekas) adalah sampah (Rantasa’) ? (irs)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *