Sebutan ziarah diartikan sebagai suatu kunjungan ke tempat yang keramat atau mulia untuk melakukan ritual keagamaan maupun sekedar mengunjungi. Istilah ini memang lazim di gunakan dalam tradisi keagamaan. Namun jika ditelusuri dalam bahasa Arab, maka makna kata ziarah menjelaskan sebuah kunjungan ke manapun, tidak terkecuali ziarah ke perpustakaan. Istilah ziarah dalam konteks perpustakaan tidak hanya dimaknai sebagai sekedar berkunjung, namun juga dapat dimaknai sebagai suatu kunjungan ketempat keramat dan sekaligus mulia.
Memang kadang orang melihat perpustakaan sebagai tempat yang sepi lagi keramat, namun keramat yang dimaksud ialah bahwa perpustakaan menyimpan koleksi-koleksi dari para “penulis mati”. Dalam istilah yang diberikan oleh Putu Laxman Pendit, death author hanya akan bisa “hidup” ketika lembaran-lembaran didalam perpustakaan telah dibaca. Sebaliknya ketika tiada satupun yang membukanya, maka ia akan benar-benar menjadi tempat orang mati. Selain menjadi tempat yang keramat, perpustakaan juga merupakan tempat yang mulia bagi siapa saja yang ingin menambah wawasan dan pengetahuan. Kemuliaan ini dapat kita lihat dengan lestarinya ilmu pengetahuan yang tentu saja menjadi mata rantai peradaban manusia. Bahkan dalam agama, orang-orang yang memiliki pengetahuan dikatakan lebih mulia dibanding dengan orang-orang yang tidak berilmu.
Perpustakaan sebagai wadah belajar dan mencari ilmu, tentu saja juga ditentukan oleh para pengelolanya yang biasa di sebut pustakawan. Seorang yang berprofesi pustakawan adalah orang yang memiliki keterampilan dan pengetahuan tentang informasi yang terdapat dalam perpustakaan. Ketika orang menyebut pustakawan, maka tidak keberatan jika mereka dapat dikatakan sebagai ‘nabi informasi’ atau jika tidak sebagai penjaga rantai peradaban.
Di Indonesia, perpustakaan mungkin masih belum dianggap terlalu penting sebagai tempat ziarah seperti berziarah ketempat suci. Andai saja perpustakaan bagaikan ka’bah yang dirindukan umat manusia, tentu akan banyak yang rela mengeluarkan apapun untuk kesana. Namun kerinduan beribadah jelas berbeda dengan kerinduan belajar, tetapi kerinduan belajar menjadi jembatan suci untuk menambah wawasan agama dan memantapkan kerinduan ibadah. Bukankah perpustakaan merupakan tempat para “pendakwah” menyampaikan ceramah agamanya, selagi kita mau mendengarkannya melalui membuka halamannya.
Sebuah sejarah yang menarik yang pernah didapati pada para ilmuwan Islam khususnya pada masa Bani Abbasiyah, ditempat yang bernama Bait Al-Hikmah, para cendekiawan dan masyarakat ilmiah berkumpul, menunjukkan betapa perpustakaan sangat penting dalam kehidupan manusia. Dapat dibayangkan jika peradaban yang dibangun tersebut tidak pernah ada, maka kemajuan yang ada saat ini tidak akan sampai sejauh ini. Kitapun seharusnya yakin bahwa warisan ilmu pengetahuan telah mengubah seluruh kehidupan sosial penghuni bumi. Kalaupun kita menganggap yang sekarang ini jauh lebih maju, tetapi tetap saja kemajuan umat manusia disetiap masa adalah prestasi yang luarbiasa.
Setiap masa yang mengalami transformasi, hanya digerakkan oleh jumlah orang yang mungkin tidak terlalu banyak. Sebagaimana beberapa tokoh dunia yang gila membaca dan menghabiskan waktu di perpustakaan, yang kemudian menjadi inspirator perubahan umat dari suatu keadaan. Jika itu hanya beberapa saja, bagaimana pula jika semua umat manusia sudah gemar membaca ? Kita boleh saja menjadi negara yang maju, ketika kita mau memperhatikan dengan sungguh-sungguh budaya membaca rakyat. Hal ini telah dibuktikan oleh banyak Negara bahwa kemajuan sebuah Negara adalah rakyatnya yang memiliki budaya baca. Dan setiap Negara yang maju memiliki perpustakaan yang megah dan mengoleksi pustaka yang melimpah.
Saya teringat, dengan pernyataan yang pernah disampaikan oleh Walikota yang diliput beberapa media cetak, bahwa akan mengadakan taman baca disetiap lorong untuk mewujudkan Smart City. Hal lain yang juga disampaikan bahwa akan membangun perpustakaan yang megah. Makassar dalam upayanya menuju kota dunia memang perlu menyertakan pembangunan perpustakaan/taman baca yang unggul dari fisik dan nonfisik, jika bersungguh-sungguh mewujudkan Smart City. Saya juga tertarik apa yang disampaikan oleh Kepala Perpustakaan Makassar, bahwa setiap hotel dan tempat-tempat umum perlu menyiapkan buku panduan yang berisi segala hal tentang Makassar. Agar peziarah yang ingin tahu seluk-beluk dan sudut-sudut kota Makassar, cukup dengan membaca buku itu.
Pada nantinya, ziarah warga Makassar diarahkan agar tergerak hatinya ke perpustakaan. Setidaknya Makassar memiliki tempat ziarah dan rekreasi alternative, selain anjungan Pantai Losari yang menjadi ikon utama kota Makassar. Patung-patung pejuang dan tokoh yang berdiri disana akan menjadi lebih indah jika menyertakan koleksi-koleksi biografinya maupun koleksi lokal Makassar. Itulah perpustakaan, sebuah tempat ziarah yang dapat merefleksikan perjuangan mereka. (irs)