Pemimpin dan Literasi

Pertalian pemimpin dengan literasi sangat menentukan perhatian pemerintah terhadap keaksaraan dan keberaksaraan masyarakatnya. Keadaan seperti itu pernah dihidupkan oleh Al Mansur yang merupakan khalifah Bani Abbasiah yang memiliki kebijakan intelektual yang disegani.

Al-Mansur dikenal luas sebagai sosok yang berpengetahuan. Sebab itu pula, ia kemudian berambisi membentuk sebuah lembaga yang nantinya diwujudkan oleh Harun Ar-Rasyid, yang bernama Bait Al-Hikmah (Rumah Kebijaksanaan).

Bait Al-Hikmah merupakan perpustakaan, wadah penelitian dan ruang bagi para intelektual pada masa Bani Abbasiyah yang mengakomodasi penerjemahan, penyalinan serta tugas-tugas ilmiah. Keberlangsungannya diteruskan oleh anak Khalifah Harun Ar-Rasyid yaitu Khalifah Al Ma’mun yang sangat mencintai ilmu pengetahuan.

Aksara Bermakna

Wajar ketika di masa pemerintahannya memokuskan diri pada aktivitas ilmiah dengan modal dan waktu yang banyak. Lihatlah keagungan ilmu pengetahuan Islam yang dihidupkan oleh ilmuwan dimasa kepemimpinan khalifah diatas, memberi fajar intelektualisme seantero dunia.

Seorang pemimpin yang memiliki kecakapan aksara atau literat, jelas berbeda dengan yang lainnya. Kita juga dapat bercermin pada tokoh yang pernah berjasa membawa negeri ini pada pintu kemerdekaan, sebut saja Soekarno dan Hatta. Kerap kali pemimpin tersebut mengambil kebijakan didasari dari hasil ikhtiarnya terhadap sumber bacaan dan kadang disalurkan melalui aksara.

Aksara yang dihidupkan melalui bingkai karya adalah bukti dan saksi untuk mengenang kepemimpinannya dan menjadi inspirasi bagi banyak orang. Tidak hanya inspirasi, tapi menjadi prinsip perjuangan yang hingga kini masih dipegangi banyak pelajar.
Ada banyak pemimpin bangsa dewasa ini yang berlatarbelakang dari dunia pendidikan yang memiliki gelar doktor bahkan profesor, namun kadang terjebak oleh moral yang bobrok ketika berada dalam pusaran kekuasaan. Pada akhirnya titel tersebut akan menjadi sekadar status yang tak bermakna. Sebab titel, oleh para pejabat yang telah berada dikursi kekuasaan semakin mudah didapatkan. Apalagi kontroversi dan tindakan inmoral masih saja terjadi di dunia kampus yang lazim disebut estafet dan miniatur bangsa.

Sejauh ini, pemimpin lebih cenderung membicarakan upaya kesejahteraan dan pemberantasan KKN. Walau tidak sulit menemukan pemimpin yang juga memiliki kepedulian terhadap keaksaraan dan keberaksaraan masyarakatnya. Ironinya, tuna aksara masih menyelimuti sebahagian masyarakat, walau dari tahun ketahun ada perbaikan dalam soal pemberantasan buta aksara, namun tetap saja minat baca yang rendah masih disoalkan.

Aksara Digital

Di Indonesia, isu rendahnya minat baca selalu menjadi kambing hitam dalam mengukur kualitas SDM. Rendahnya minat baca kemudian disinyalir karena kurangnya kesadaran dan belum maksmimalnya peran pemerintah secara merata. Apalagi biasanya hanya pada kota-kota besar yang lebih stabil sebab ditunjang oleh bahan bacaan dan akses informasi yang terjangkau serta perangkat TI yang memadai.

Aksara yang semula dominan ditemukan melalui kertas kini dialihmediakan dalam format digital yang semakin praktis dan berlimpah. Di era informasi ini, tidak sedikit yang setuju bahwa manusia tuna aksara adalah ia yang gaptek dan tidak mampu memanfaatkan informasi yang bertebaran untuk pengembangan diri dan pembangunan daerah serta pendukung pengambilan keputusan. Selain itu, bila ditelisik pada pemilu kemarin, peran media dalam memberikan informasi semakin berpengaruh pada putusan masyarakat. Tantangan yang baru ialah bagaimana memilih informasi yang valid dan terpercaya.

Disinilah kemampuan literasi (informasi, media maupun politik) mempengaruhi putusan seseorang dan memilih informasi, mengkritisi, hingga menyebarluaskan informasi.
Transformasi demikian, semakin memudahkan pemimpin untuk menyerap aspirasi dan mengambil kebijakan, namun sekaligus menuntut kecerdasan dalam mengakses informasi yang semakin melimpahruah. Tebaran informasi menjadi keuntungan sekaligus ancaman, bagaikan dua arus yang berlawanan, tetapi dengan mengetahui keduanya memberikan informasi tentang apa muatannya. Seperti halnya dalam memilih wakil-wakil rakyat tanpa membaca rekam jejaknya dengan cermat akan membawa pada kekecewaan.

Kita semua dihadapkan pada pilihan yang semakin rumit, terutama informasi yang semakin banyak diinternet. Kelimpahan informasi -baik melalui cetak maupun digital- di yakini telah merubah tatanan sosial. Dalam keadaan seperti ini, manusia pada fitrahnya sebagai pemimpin (untuknya dan yang lain) semakin ditentukan pada keaksaraan dan keberaksaraan.

Setiap langkah yang dilakukannya dengan mudah diketahui dan mudah mengetahui sesuatu melalui informasi yang terbuka. Ditarik lebih kompleks, masyarakat Indonesia harus diarahkan menjadi masyarakat yang literat. Sebab Illiterate pada aksara mungkin saja akan membawa pada tuna aksara moral yang selama ini menjalar dipemerintahan seperti KKN.
Berbeda dengan zaman kekhalifaan Abbasiyah yang ketika itu para pemimpinnya selain memiliki cita rasa yang tinggi terhadap ilmu pengetahuan dan riset, juga rutin pergi ke perpustakaan membicarakan segala termasuk kebangsaan.
Justru yang menganggumkan adalah moral para pemimpin-pemimpin tersebut terjaga seperti halnya karya-karya ilmuwan yang lestari yang tetap menjadi landasan umat. Kita mungkin lupa, bahwa pemimpin yang tak dekat dengan aksara mungkin tidak akan mampu mengekalkan sepatah kata pun.
Tetapi kita juga harus bertanya pada pemimpin yang beraksara tapi tuna aksara moral, apakah mereka akan di sebut sebagai pemimpin yang teladan? Akan tetapi, mendapatkan pemimpin yang benar-benar peduli terhadap keaksaraan dan keberaksaraan sungguh sangat memberikan harapan yang cerah, sejauh mereka meyakini bahwa ilmu pengetahuan dapat menjadi obat penawar bagi kerusakan moral pada sendi-sendi berbangsa. (irs)

Di muat di Koran Harian Tribun Timur

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *