Sebuah Buku, terbit dengan mengorbankan banyak Hal. Kisah dibalik kehadirannya di hiasi beragam dinamika, baik suka dan duka. Itu sebabnya mengapa disetiap halaman awal buku, penulisnya berterima kasih kepada orang-orang yang terlibat dan memberikan inspirasi baik langsung maupun tidak, bahkan kepada Tuhan. Kadang penerbitannya menunggu waktu yang bertahun-tahun, seperti buku (Penghancuran Buku dari Masa ke Masa) yang diteliti oleh Fernando Baez selama 12 tahun pengembaraannya dalam merekam peristiwa sejarah didalam bukunya. Demikian halnya, Kitab Suci Umat Islam tidak sekaligus diturunkan, tidak seperti hujan deras yang membasahi seluruh daratan. Tetapi Al-Qur’an secara berangsur-angsur hadir dan punya sebab turunnya pada konteks sosial Islam dimasa tersebut. Sejatinya bagi umat Islam, Kitab Al-Qur’an merupakan pedoman atau petunjuk hidupnya, semangat dan nafas perjuangannya.
Hampir setiap umat beragama memiliki petunjuk dalam beragama, dan kesemuanya itu di mediakan melalui kitab suci. Bahkan seorang atheis yang mengandalkan kemampuan akal dan inderawinya memiliki sumber rujukan (media-buku) untuk menegaskan keatheisannya. Dan bukankah keberadaan atheis adalah dialektika dari agama yang ada. Tentu saja, kita mengenal beberapa tokoh atheis seperti Benito Mussolini atau Ugo Foscolo yang tidak lepas dari aktivitas menulis sebagai media percakapannya dan perenungannya.
Namun bagi Islam, kitab Al-Qur’an bukan hanya bacaan biasa, tetapi sebagai bagian dari iman, amal dan ilmu atau petunjuk hidup yang damai. Sebab itulah, perintah pertama Al-Quran menganjurkan untuk membaca (teks dan konteks) dan senantiasa atas nama pencipta. Disinilah Iqra menyampaikan kepada kita untuk memantapkan hidup dengan ilmu pengetahuan melalui membaca.
Tradisi islam yang begitu khas dengan perbukuan ditunjukkan dengan kejayaan Islam pada Ilmu Pengetahuan di masa Kekhalifaan Abbasiyah. Khalifah Harun Ar-Rasyid dan penerusnya Al-Ma’mun telah memberikan konstribusi yang luar biasa terhadap peradaban dunia dan Islam. Ini berbeda dengan zaman kekhalifaan Islam sebelumnya yang lebih cenderung kepada ekspansi wilayah. Tetapi tentunya kekhalifaan sebelum Harun Ar-Rasyid dan Al-Ma’mun telah memberikan ruang yang luas bagi kaum muslim untuk menyebarkan mahakaryanya di berbagai wilayah. Bukti-bukti itu masih tersebar di berbagai jejak melalui perpustakaan, seperti di Andalusia, Granada beberapa kota lainnya, walau telah banyak yang hancur.
Islam sebagai agama rasional tentu terbuka pada ilmu pengetahuan, sebab faktanya banyak penemuan yang dihasilkan melalui IPTEK juga dijelaskan dalam Al-Qur’an. Al-Qur’an berbeda dengan kitab-kitab dan buku-buku lainnya, selain karena Al-Qur’an merupakan wahyu Ilahi, tetapi juga kandungannya yang tidak luput (adaptif) dan selaras dengan kompleksitas kehidupan manusia hingga akhir zaman, bahkan tak satupun kontennya berubah.
Berbeda dengan buku dari karya ilmuwan yang relatif digoyahkan oleh derasnya perkembangan ilmu pengetahuan. Teori-teori yang dicipta manusia melalui rasio tidak dapat menjamin akan selaras dengan kondisi dan kajiannya dimasa mendatang. Bahkan bagi Isacc Asimov (1920-1992) Ahli Biokimia mengatakan aspek kehidupan yang paling menyedihkan saat ini adalah sains menambah lebih cepat daripada masyarakat menambah kearifan. Hal yang menarik pada The Golden Age of Islam, ilmuwan muslim adalah ahli ilmu islam dan ilmu umum sekaligus. Suatu Integrasi yang kemudian meredup dalam Islam saat ini, tak terkecuali ilmuwan Islam di Indonesia. Seperti dikotomi yang nyata dan intelektual yang korup dalam berbangsa, sebab seperti yang dikata oleh Maria dan Ahmad (Kompas, 17/7/2014) ruang publik menjadi ruang kontestasi pengetahuan. Dan mereka yang gemar bersolek pengetahuan belum tentu bertindak. Tampilannya seperti sajak Rendra, apalah artinya berpikir jika terlepas dari kehidupan.
Sebab itu juga, buku tidak mungkin menyimpan keabadian “pengetahuan-manusia”, jikapun bertahan, keutuhannya terkikis (kata dan maknanya bergeser) oleh dinamika keberlangsungannya. Kita mungkin masih mendengar Pramudya Ananta Toer yang pernah berseru “menulis adalah bekerja untuk keabadian”, tetapi ketika kita yang mengetahuinya semua hilang dan buku-buku (perpustakaan) hancur maka Pram tidak akan abadi lagi, hilanglah jejaknya. Atau Pram hilang di negeri lain yang tak punya buku tentang Pram dan “buta aksara atau illiterasi” bagi masyarakat yang malas membaca di era Informasi. Mustahil rasanya jika Nabi Muhammad juga akan hilang, apalagi Tuhan, sebab itulah kematian kita semua dan seluruh alam semesta. Manusia hilang dan mematikan keabadian (yang telah mati) sesungguhnya saat ini banyak dilakukan oleh kita yang tidak lagi membuka halaman-halaman buku. Maka ketika manusia islam tidak lagi membuka Al-Qur’an dan mengamalkannya, sesungguhnya dia telah mematikan “Tuhan”. Kemanusiaanya pun bisa saja turut mati. Tetapi apakah Tuhan seperti manusia yang ingin bekerja untuk keabadian ? Pada akhirnya, yang abadi atau keabadian itu adalah “Yang Abadi”. Selayaknyalah kita berterima kasih kepada Allah karena masih ada kesempatan untuk membaca kitab-Nya. Dan Tuhan telah mengucapkan terima kasihnya melalui Iqra’ sebagai “penulis-pencipta”. (irs)