Menyemai Kepustakawanan Islam : Mandiri dalam Integrasi ?

Satu identitas yang seakan-akan terpisah dengan mahasiswa JIP di UIN Alauddin Makassar adalah kepustakawanan Islam. Setidaknya hal ini dapat dilihat dari pengetahuan mahasiswa tentang kepustakawanan islam yang tergolong masih baru. Sebab penulis sendiri (sebagai alumni) merasa jauh dengan kepustakawanan Islam yang sesungguhnya perlu di kembangkan. Indikatornya mungkin belum berlaku pada mahasiswa dibeberapa angkatan yang baru, terutama 3 tahun terakhir. Namun bukan berarti tidak ada responden yang ditelusuri, sebab dibeberapa kesempatan penulis mencoba membuka ruang diskusi tentang hal itu, akan tetapi seperti yang diduga, mahasiswa JIP cenderung apatis atau memang sama sekali tidak tahu.

Perhatian penulis terhadap kepustakawanan Islam sesungguhnya telah jauh dimulai ketika pertama kali mengetahui peradaban Islam pernah dalam masa kejayaannya yang ditandai dengan kehadiran perpustakaan. Akan tetapi, setelah berada di Program Pascasarjana Perpustakaan dan Informasi Islam semakin berhasrat untuk menelusuri dan merenungkan kepustakawanan Islam yang kajiannya nyaris tidak terdengar di JIP UIN Alauddin Makassar. Memang tidak disangka bahwa kelak program pascasarjana Ilmu Perpustakaan yang akan dibuka bernama Perpustakaan dan Informasi Islam bukan Ilmu Perpustakaan dan Informasi Islam.

Nama tentu bukan tanpa maksud dan makna, olehnya jika merujuk pada nama konsentrasi sekarang ini maka disinyalir bahwa kajian kita cenderung berfokus pada objek perpustakaan dan informasi islam itu sendiri. Namun diluar itu, kita kurang mengerti apakah penyelenggara program ini sengaja atau memang tidak tahu, namun mengatakan kewajaran untuk konsentrasi yang baru dibuka sebagai alasannya sungguh hal yang perlu dievaluasi. Sebab bagi penulis, perbedaan antara Perpustakaan dan Informasi dengan Ilmu Perpustakaan dan Informasi Islam sangatlah jelas.

Sejauh ini memang apa yang ada dalam kurikulum konsentrasi Perpustakaan dan Informasi belum menunjukkan landasan keilmuan konstentrasi ini yang seharusnya dapat dikuatkan. Selain itu, berbeda dengan kajian lainnya seperti hukum Islam atau Sejarah Kebudayaan Islam yang memang didalamnya terdapat integrasi antara mata kuliah umum dengan mata kuliah konsentrasi. Sebagai contoh mata kuliah seperti bahasa inggris perlu dipertimbangkan menjadi English for librarianship, atau filsafat ilmu setidaknya menyajikan sub pembahasan filsafat ilmu perpustakaan dan informasi islam atau tersaji dalam mata kuliah yang berdiri sendiri serta integrasi pada matakuliah lainnya. Mesti otoritas penyaji dan pengampu mata kuliah belum memungkinkan untuk itu, tetapi justru melalui forum itulah konstruksi atau kerangka keilmuan harus di debatkan, dibahas dan dibentuk secara bersama.

Nama konsentrasi ini berbeda dengan jurusan ilmu perpustakaan pada program sarjana (S1). Sehingga wajar ketika beberapa alumni yang melanjutkan studi cenderung merasa asing dengan sebutan konsentrasi perpustakaan dan informasi Islam. Hal ini dimungkinkan bahwa pada S1 Ilmu Perpustakaan materi tentang Perpustakaan dan Informasi Islam sangat minim atau bahkan tidak pernah didapatkan. Kata yang terakhir pada konsentrasi Perpustakaan dan Informasi Islam inilah yang juga kemudian semakin memberikan spirit sekaligus landasan untuk melihat sejauh mana kepustakawanan Islam diketahui oleh mahasiswa JIP UIN Alauddin Makassar (setidaknya pribadi penulis).

Belakangan barulah ada beberapa dosen yang mengulas tentang kepustakawanan Islam, setidaknya dimulai dengan Klasifikasi Islam, dan dalam mata kuliah sejarah Perpustakaan yang sub pembahasannya terdapat sejarah perpustakaan Islam. Tentu saja ini belum berarti kepustakawanan Islam telah siap menjadi bekal bagi mahasiswa perpustakaan.

Disatu kesempatan, ketika penulis mengadakan seminar perpustakaan di Enrekang, pertemuan salah seorang dosen JIP di awali dengan buku yang diacungkan dengan judul “Perpustakaan Islam” yang ditulis oleh Agus Rifai Pustakawan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dikemudian hari saya memesan buku tersebut. Penulis merasa ketinggalan dengan bacaan-bacaan ini, salah satu alasannya bacaan umum lebih dominan didapatkan ketimbang bacaan mengenai kajian ini. Belum lagi bahwa hampir dapat dikatakan mahasiswa JIP kering dengan buku-buku tentang perpustakaan, kearsipan, dokumentasi dan informasi. Namun 2 tahun terakhir, salah seorang dosen JIP yang lain sedikit membantu mengurangi kedahagaan sumber-sumber kajian itu dengan menyediakan (baca : menjual) buku-buku seperti itu. Sebab selama ini buku-buku kajian keilmuan JIP koleksinya juga sangat minim ditemukan di perpustakaan pusat UIN Alauddin dan Perpustakaan FAH maupun di beberapa perpustakaan sekitar Kota Makassar.

Disela-sela menuangkan tulisan ini, penulis menemukan satu referensi yang mengkaji tentang penyebaran informasi Islam di dunia Arab. Adalah J. Pedersen dalam karyanya yang berjudul Fajar Intelektualisme Islam :Buku dan Sejarah Penyebaran Informasi di Dunia Arab yang mengulas tentang perbukuan dan perpustakaan islam. Didalamnya dapat kita memahami mengapa dunia Islam begitu semangat terhadap perbukuan dan perpustakaan. Rujukan yang ditampilkan J. Pedersen dapat membantu menelusuri sumber-sumber lain yang relevan, seperti pula dalam buku karya Agus Rifai diatas.

Dari kedua referensi itu, dapat kita pahami bahwa kepustakawanan Islam tidak dapat dipisahkan dengan peradaban Islam. Sebagai agama yang memiliki tradisi teks yang kuat, Islam menjadikan ilmu pengetahuan sebagai aspek yang penting bagi kehidupan umat manusia. Hal ini dapat dibuktikan dengan kejayaan Islam yang termasyur pada masa Dinasti Abbasiyah. Kemajuan Islam dalam ilmu pengetahuan merupakan bagian yang tak terpisahkan dengan keberadaan perpustakaan dan pustakawan. Meski awalnya perpustakaan didirikan secara terbatas, namun kemudian pemanfaatnya dibuka secara umum. Khalifah Ar-Rasyid telah memulai pemerintahan dan masyarakatnya menjadi lebih bijaksana dan arif melalui pengembangan ilmu pengetahuan. Puncaknya, ketika kekhalifaan diteruskan oleh anak Ar-Rasyid yakni Al-Makmun yang semakin menumbuhkan semangat ilmu pengetahuan, disamping itu perpustakaan semakin bertambah. Tidak sedikit muslim yang bekerja diperpustakaan pada saat itu menjadi ilmuwan-ilmuwan yang menguasai ilmu-ilmu islam dan bidang umum lainnya serta melakukan penyalinan naskah sebagai upaya menambah koleksi perpustakaan.

Paparan singkat diatas, mengajak kita untuk merefleksikan bahwa peran pustakawan dan perpustakaan dalam sejarah peradaban Islam sangat menentukan kemajuan Ilmu pengetahuan dalam dunia Islam. Pustakawan Islam di masa itu selain menjadi pengelola perpustakaan yang mahir, juga adalah para ahli dibidang agama dan bidang umum. Diantaranya ada yang sastrawan, sejarawan, bahkan dikenal sebagai ilmuwan terkemuka.

Jika di telesuri lebih jauh, sesungguhnya semangat ilmu pengetahuan dalam umat Islam didasari oleh Islam itu sendiri. Kitab Suci Al-Quran yang menjadi pedoman sekaligus nafas umat Islam dalam mengarungi kehidupan sangat mempengaruhi mereka. Sebab dalam Al-Quran, selain sebagai bacaan, memang perintah pertama yang diturunkan ialah perintah membaca atau Iqra. Sangat wajar jika pustakawan Islam perlu memiliki ideology yang berlandaskan pada Islam atau filosofis Iqra. Sebab membaca merupakan kemampuan dasar yang hendaknya dimiliki oleh umat manusia (terlebih kepada umat islam) jika ingin memiliki ilmu pengetahuan. Untuk itulah pelestarian ilmu pengetahuan sangat penting agar mata rantai peradaban Islam tidak terputus. Sehingga peran pustakawan sangat urgen dalam menjaga dan menyebarluaskan mahakarya ilmuwan Islam yang masih dilestarikan di perpustakaan.

Harus di sadari bahwa Negara Indonesia memiliki penduduk yang mayoritas Islam. Jadi segala profesi di dominasi oleh umat Islam, tidak terkecuali profesi pustakawan. Meskipun belum ada penelitian tentang seberapa banyak pustakawan yang beragama Islam, tetapi kita setidaknya dapat menaksirnya dari banyaknya perguran tinggi Islam yang menyelengggarakan pendidikan (jurusan) ilmu perpustakaan dan Informasi. Bahkan tidak menutup kemungkinan perguruan tinggi negeri (umum) yang menyelenggarakan pendidikan perpustakaan juga didominasi oleh calon pustakawan yang beragama Islam. Meskipun ini bukanlah pendukung yang kuat untuk menegaskan dominasi pustakawan Islam, sebab ukuran kuantitas itu tidaklah terlalu penting jika semangat Islam dan kepustakawanan Islam tidak dimiliki oleh pustakawan (muslim).

Sementara di Indonesia, pustakawan (pada umumnya) masih berkutat pada persoalan klasik yang sering terjadi dalam internal perpustakaan. Kurangnya partisipasi aktif dari pustakawan untuk memaksimalkan peran perpustakaan sebenarnya juga harus di evaluasi. Ditambah lagi, rendahnya minat baca masyarakat sekitar (yang mayoritas umat Islam) yang selama ini selalu menjadi kambing hitam. Ini juga terjadi dalam dunia kampus, dimana mahasiswa sangat sedikit yang memanfaatkan perpustakaan. Padahal siswa dan mahasiswa (Islam) yang notabene bergelut dengan buku seharusnya menjadikan perpustakaan sebagai tempat belajar. Jika perpustakaan kampus/sekolah merupakan jantung institusi, maka sudah seharusnya pustakawan menjadi jantung dari perpustakaan. Itu artinya pustakawan adalah faktor penentu dari dalam eksistensi perpustakaan.

Telah dijelaskan sebelumnya bahwa Islam sangat menganjurkan umatnya untuk senantiasa menuntuk ilmu pengetahuan melalui membaca. Maka dalam konteks kepustakawanan Islam, hendaknya semangat islam dan ilmu pengetahuan ini menjadi bagian yang padu dalam diri (identitas) pustakawan (muslim). Sejatinya semua umat islam dalam berbagai profesi juga perlu menanamkan hal ini. Namun pustakawan Islam sebagai agen (“nabi”) informasi dan kepustakaan sangat perlu menguasai ilmu pengetahuan disamping memegang prinsip nilai-nilai keislaman, bukan hanya kemampuan teknis tetapi juga keterampilan sosial, budaya, politik, agama (khususnya Islam) dan lain-lain.

Disinilah kita perlu merumuskan kepustakawanan Islam itu sebagai sebuah ideologi dan nafas perjuangan pustakawan Islam dimasa mendatang. Namun bukan mengartikan Islamisasi (pengislaman) Ilmu Perpustakaan atau Kepustakawanan, tetapi bagaimana melakukan pengilmuan kepustakawanan Islam. Sebab pengilmuan kepustakawanan Islam inilah yang hendaknya dinamakan sebagai nama konsentrasi Ilmu Perpustakaan dan Informasi Islam pada program pascasarjana. Sementata program S1 Ilmu Perpustakaan menyajikan keilmuan kepustakawanan secara umum harus berintegrasi pada identitas fakultas dan universitas yang notabene kampus Islam. Maka para penyelenggara ilmu perpustakaan dan Informasi, khususnya pada PTAIN (UIN, IAIN, dan STAIN) dan Universitas Islam Lainnya perlu menanamkan konsep (dari aspek filosofis) kepustakawanan Islam baik kepada mahasiswa perpustakaan sebagai generasi pustakawan muslim kelak melalui kurikulum dan karya-karya ilmiah.

Terlebih pada kampus Islam seperti UIN Alauddin Makassar, yang memang ingin melahirkan alumni yang mampu mengintegrasikan ilmu-ilmu Islam dan imu-ilmu umum. Sejak perubahan status dari IAIN menjadi UIN pada tahun 2005, integrasi keilmuan dan keislaman menjadi diskusi utama sebagai respon dari masalah dikotomi keilmuan selama ini. Hal ini juga dapat dirumuskan pada fakultas sebagai payung yang menaungi JIP dengan mengintegrasikan keilmuan fakultas yakni ilmu-ilmu ke-Adab-an dengan ilmu-ilmu Budaya-Humaniora yang didalamnya terdapat beberapa jurusan seperti Sejarah Kebudayaan Islam, Bahasa dan Sastra Arab dan Inggris. Sebagaimana yang menjadi tema atau pembahasan pada forum Asosiasi Dosen Ilmu-ilmu Adab (ADIA) yang dilangsungkan di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta pada tahun 2011.

Ditambah bahwa visi JIP adalah Mandiri dalam Integrasi. Visi tersebut perlu dimaknai sebagai upaya jurusan dalam membentuk mahasiswa yang mampu menguasai keilmuannya sendiri dengan berintegrasi pada fakultasnya. Sehingga potensi alumni perpustakaan disamping menjadi pustakawan juga berpotensi menjadi ahli bahasa, sastrawan, sejarawan dan budayawan. Sebab kemandirian itu tidak lagi mengelakkan kajian bidang lainnya dengan mengatakan hanya ahli pada bidang kepustakawanan. Apalagi ketiga bidang tersebut bukanlah kajian yang mengutamakan keterampilan teknis seperti pustakawan. Potensi ini dapat di maksimalkan mahasiswa (calon pustakawan) yang memang dekat dengan buku-buku dan perpustakaan.

Peran mahasiswa melalui HMJ/BEM-J Ilmu Perpustakaan pada lingkup PTAIN se Indonesia juga perlu mewadahi forum untuk membahas hal ini secara serius. Demikian halnya dengan alumni perpustakaan, peran Ikatan alumni dapat mewadahi pengembangan wacana dan keterampilan alumninya. Sehingga dimanapun berada alumni perpustakaan mampu menunjukkan identitas kepustakawanan Islam. Bahkan perpustakaan dilingkungan UIN Alauddin Makassar baik UPT Perpustakaan Pusat dan Perpustakaan Fakultas Sejajaran UIN Alauddin perlu bekerjasama dengan JIP dan mahasiswa untuk menjadikan laboratorium dalam mengembangkan potensi-potensi kepustakawanam Islam. Yang paling ideal tentunya memberdayakan alumni sendiri sebagai kebanggaan akan lulusan yang dihasilkan. Sebab sangat ironi ketika di fakultas dan universitas sendiri, perpustakaan tidak dikelola alumni sendiri. Demikian pula kerjasama yang dilakukan oleh UIN Alauddin seperti Kerjasama Perpustakaan BI (yang teken MoU dilangsungkan pada 2011 di BI Makassar) dan perpustakaan lainnya yang menjadi bagian dari upaya memberikan ruang kepada mahasiswa melakukan Praktik Kuliah Lapangan (PKL). Namun bukan berarti output dari penanaman kepustakawanan Islam membatasi ruang kerja alumni hanya pada perpustakaan pada institusi/lembaga Islam, tetapi juga semua jenis perpustakaan yang ada. Sebab Kepustakawanan Islam merupakan semangat (pandangan hidup) yang universal seperti halnya agama Islam, terutama Islam pada konteks Indonesia.

 

Lebih jauh sejumlah harapan dinanti pada mahasiswa dan alumni JIP. Diantaranya, jika ahli kitab suci adalah para pemuka-pemuka agama, maka sudah saatnyalah JIP UIN Alauddin menciptakan ahli pustaka yang bukan hanya professional dalam keterampilan teknis, tetapi ahli pustaka yang menguasai subjek pustaka untuk dapat menjadi pemuka-pemuka pustaka, bahkan tidak menutup kemungkinan juga sebagai pemuka agama islam dan pustaka (islam dan umum), sebagaimana integrasi dan output lulusan universitas yang dikemukakan diatas. Kedepannya, mungkin kita akan menemukan pustakawan maupun alumni Ilmu perpustakaan berada dimimbar-mimbar ilmiah dan ceramah seperti diskusi atau bedah buku sebab pustakawan memang adalah “ahli pustaka”, bukan sekedar “pekerja/pegiat pustaka”. Semoga

Penulis adalah Mahasiswa Perpustakaan dan Informasi Islam

Bacaan

Alpharsihie. Indonesiakomplit : Just Another WordPress.com Weblog. http://indonesiakomplit.wordpress.com/2010/03/19/resensibukuislamsebagaiilmu/

Irhash A. Shamad. Integrasi Keilmuan Humaniora dan Keislaman : Beberapa Permasalahan Mendasar. Fiba’s site. adabpadang.blogspot.com/2011/12/makalah-disampaikan-oleh-dekan-fakultas.html?m=1

Pedersen. 1996. Fajar Intelektualisme Islam :Buku dan Sejarah Penyebaran Informasi di Dunia Arab. Bandung : Penerbit Mizan.

Rifai, Agus. 2011. Perpustakaan Islam : Konsep, Sejarah, dan Konstribusinya dalam Membangun Peradaban Islam Masa Klasik. Jakarta : Rajawali Press.

Kuntowijoyo. 2007. Islam Sebagai Ilmu : Epistomologi, Metodologi dan Etika. Tiara Wacana

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *