Sepakbola dan Pemilihan Presiden

Demam bola melanda penjuru dunia, tak terkecuali di Indonesia. Hampir dapat dipastikan, sepakbola telah menjadi tontonan global. Mulai dari anak-anak, orang dewasa bahkan orang tua larut dalam penyambutan pesta sepakbola terakbar sejagat. Piala dunia telah menjadi magnet mayoritas penghuni bumi ini. Sepakbola memang olahraga yang paling populer dan digemari, baik dikalangan miskin, kaya, wanita dan pria. Seakan-akan tidak mengenal lagi batasan untuk menjadi pemain bola dan juga penikmat bola. Sepakbola bukan hanya sekedar olahraga yang membutuhkan kekuatan fisik dari pemain atau kejelihan pelatih dalam mengatur strategi bermain, tetapi diluar itu, sepakbola telah menjadi hiburan bagi para penikmatnya, menjadi modal meraup laba bagi pemodal, menjadi media politik dan pertarungan harga diri bagi sebuah tim atau Negara.

Di saat menanti World Cup 2014, rakyat Indonesia juga disuguhkan pertarungan politik calon presiden dan wakil presiden. Bak sebuah pertandingan, kita akan menantikan siapa yang akan menjadi pemenangnya. Tentu keterlibatan kita menjadi penting sebagai penentu untuk terlaksana dan suksesnya pagelaran itu. Dapat dibayangkan jika pertandingan berlangsung tanpa penonton, tidak akan ada riak, teriakan, fanatisme, yel-yel atau lagu motivasi. Setiap supporter tentu tidak ingin tim kebanggannya kalah, maka mereka akan berusaha menjadi pemain ke 12 dikala pertandingan berlangsung. Tidak peduli apakah mereka berada pada posisi away, apalagi menjadi posisi home, tetapi sudah pasti laga home lebih berbeda dengan away seperti pilihan geopolitik mereka. Kesetiaan mereka tidak diragukan, bahkan mereka tidak dibayar untuk mendukung tim kesayangannya. Atribut dukungan di buat sekreatif mungkin agar terlihat menarik dan keren. Itu semua karena kecintaan pada sebuah tim Sepakbola. Saat tim mereka bertanding, mereka damai dan tertib hingga selesai. Seperti itukah pemilihan presiden nantinya ?

Andai kata supporter semacam itu adalah rakyat kita yang akan mendukung calon pemimpin bangsa ini (yang akan berebut kursi kekuasaan) dapat menunjukkan kesetiaan dan kedamaian. Andaikata pelatih adalah pimpinan partai-partai hasil koalisi ini mau menerapkan strategi permainan indah untuk kemenangan dan juga kekalahan. Tetapi ternyata didalam dunia politik segala cara bisa dilakukan demi kemenangan, seperti halnya menjadi pemenang dalam pertandingan sepakbola. Kampanye hitam dilancarkan untuk menyerang calon presiden, seperti rasisme penonton yang tidak berkemanusiaan terhadap pemain. Serangannya kadang seperti lemparan massa hooligan yang begitu fanatik, mencari-cari sisi gelap dari manusia sebagai bola liar yang hendak digulirkan. Sungguh mengerikan jika fair play antar pemain dan tim tidak merangkul penontonya. Kelompok suporter saling bermusuhan, wasit dibabat pemain dan penontonnya. Pemain miskin yang tak punya biaya berobat karena gaji terhambat, bagaikan habis berkeringat lalu terbuang, mungkin itu sama dengan mereka yang dicalonkan sebagai presiden tetapi tersia-siakan pada akhirnya. Inilah yang sering kita saksikan dalam sepakbola Indonesia. Kalau begitu, bukankah sepakbola di Indonesia tidak jauh berbeda dengan proses menuju pemilihan calon presiden Indonesia ?

Menariknya, sepakbola dijadikan instrumen untuk menggalang dukungan politik melalui acara-acara nonton bareng. Tetapi benar bahwa supporter sepakbola tidak sama dengan supporter politik. Sebab supporter politik bersuara lebih untuk kepentingan politiknya. Walau tentu saja dalam sepakbola, dibalik layar ada yang menjadi pemain politik dan pebisnis. Sangatlah wajar ketika Franklin Foer dalam bukunya Memahami Dunia Lewat Sepakbola mengatakan bahwa dalam sepakbola terdapat pertarungan politik, bisnis, budaya bahkan agama. Sejarah menunjukkan bagaimana pembantaian Muslim Bosnia, korupsi di Dunia Ketiga, Zionisme, anti-semit, konflik agama, maupun sentimen rasial berkaitan dengan sepakbola di masa lampau. Bagaimana protes-protes dilancarkan melalui aksi para hooligan berperan penting menjadi jalur perjuangan atau pertentangan. Bahkan melalui sepakbola konsep Nasionalisme diberbagai Negara dilahirkan seperti falsafah El Barca. Bisa saja hiburan sepakbola telah mengiring kita untuk menjadi golput pada pemilihan nantinya, sebab pemain dipanggung politik kita lagi gaduh dan kurang menyenangkan.

Debat presiden dan wakil presiden dijadikan sebagai ukuran kemampuan untuk memimpin kompleksitas Indonesia. Pakaian dijadikan sebagai ukuran karakter dan nomor urut di maknai dengan berbagai keberuntungan. Itu semua kita saksikan dilayar kaca dan surat kabar yang tidak lagi independen dan berimbang. Belum lagi angka perhitungan lembaga survey kredibel membuat bingun dan kita bagaikan manusia yang seolah-olah disulap dalam angka-angka kumulatif. Seperti prediksi hasil pertandingan sepakbola dan dibelakang itu ada yang “berjudi” demi kesenangannya.

Memang bola itu bundar, segala hal bisa terjadi. Demikian juga dengan politik, segalanya bisa terjadi. Selama wasit belum meniup peluit tanda berakhirnya pertandingan, kita masih punya waktu untuk menimbang pilihan kita. Selama itu pula dikantong wasit masih ada kartu kuning dan merah. Tetapi, Bukankah kita hanyalah penonton sepakbola ?   (irs)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *