Sejak kecil sepakbola telah menjadi kegemaranku. Sebab memang dikampung kami sepakbola menjadi olahraga satu-satunya bagi kaum laki-laki. Sejak menginjakkan kaki di bangku sekolah, waktu istirahat dihabiskan dengan bermain sepakbola. Demikian juga ketika SMP dan SMA, hampir setiap sorenya kuhabiskan waktu untuk olahraga ini. Jelas sekali bahwa sepakbola mempengaruhi anak muda di kampung itu, menjadikannya terlihat keren, kuat dan punya mental. Setiap malamn dihabiskan hanya untuk menyaksikan tim favoritnya apalagi pertandingan besar sekelas Piala Dunia atau Liga Champion Eropa. Tidak ingin ketinggalan berita, waktu liputan pertandingan di televisi dicatat dan diingat baik-baik agar tak terlewatkan. Puncaknya ketika SMA, saya dan kawan sekampungku itu rela mengeluarkan uang jajan demi membeli majalah sepakbola mingguan dan koran lokal yang dimasa itu kadang-kadang terlambat sehari bahkan berhari-hari setelah terbit. Hal ini wajar, sebab kampung ini berada jauh dari kota kabupaten, apalagi dikota ini akses dari kota Makassar harus ditempuh selama 5 jam perjalanan.
Rasanya menjadi ketinggalan berita jika tidak melakukan itu semua. Dipagi hari, kelas telah diributkan oleh cerita-cerita sepakbola dan setiap dari mereka tidak ingin kalah dalam menyampaikan informasi terbaru dan pandangannya. Mereka juga punya sumber berita yang berbeda-beda dikala itu, apalagi saat ini dengan maraknya perangkat TI untuk mengakses informasi. Berbeda dengan murid yang lainnya, yang malamnya dihabiskan dengan belajar dan belajar. Kami mungkin masih beruntung karena masih bisa bermain bola sambil belajar (membaca tentang sepakbola). Justru dunia sepakbola, sebenarnya menjadikan kami melek informasi atau literat, setidak-tidaknya literasi sepakbola. Bahkan kami melihat luasnya dunia dan memahami sisi lain dari sepakbola melalui bacaan itu. Hingga suatu ketika, tidak ada lagi cerita tentang itu dan 3 kardus majalah dan koran menjadi kertas pembungkus kacang sebagai usaha orangtua untuk biaya kuliahku.
Disudut kota ini, sebuah taman bacaan yang berada tepat depan kampus kami, perbicangan sepakbola hampir kudengar setiap harinya. Ditambah pengelolanya memang juga tidak pernah ketinggalan informasi, bahkan awal perbicangan sering dimulai darinya. Ditaman baca itu pulalah dia menggantungkan hidupnya. Taman bacaan ini baginya selain memang dibangun untuk usaha juga ingin meningkatkan minat baca masyarakat. Koleksinya hanya ada dua macam yaitu Majalah dan Koran, tetapi cukup beragam mulai dari Koran Tempo, Kompas, Fajar, Tribun Timur, Sindo, Majalah Bola, dan lainnya. Menariknya, semuanya dapat di baca hanya dengan bermodal seribu rupiah dan setiap Koran terdapat bebeberapa eksmplar, sehingga sangat jarang ada yang antri untuk membaca. Namun, disaat banyaknya sumber-sumber informasi sepakbola yang bisa di telusuri, kehidupanku agak bergeser dari dunia ini. Tidak ada lagi waktu untuk bermain bola dilapangan, padahal semula berangkat kekota ini kucari kampus yang memiliki lapangan sepakbola. Playstation bukan lagi menjadi hiburanku, tetapi masih ada saja kesempatan sekali duakali untuk bermain. Prinsip bermainku, tetap pada memilih tim andalan walau dalam game itu powernya lemah. Kuanggap itu cermin diriku, sehingga kekalahan tidak lantas membuatku kecewa sebab memang kemenangan harus ditempuh dari prinsip bermain.
Meski setiap pagi kuberada ditaman baca itu, kolom sepakbola pada setiap koran kini hanya menjadi pemantauan sekilas pada sebuah tim idolaku yang bernama Liverpool, Lazio dan Atletico Madrid. Hanya melihat skor dan klasemen yang ditorehkan tim tersebut, setelah itu kubuka lembaran lain yang terfokus pada dunia politik dan budaya.
Suatu ketika kawan sekampungku bertemu ditaman baca itu, tidak tampak banyak perubahan darinya, dia kemudian bertanya “Apa kabar saudara, bagaimana Atletico Madrid tadi malam, menangki diy, saya ketiduran tadi subuh bela ?” Pertanyaan itu segera menggerakkan tanganku untuk membuka halaman bola, tetapi tidak kutemukan berita tentang itu, saya kemudian menyadari bahwa ternyata koran ini dicetak dimalam hari. Karena tak mampu kujawab pertanyaannya, kembali dia bertanya setelah membuka cover halaman depan sebuah Koran, Prabowo mau datang diy kampanye di Makassar ? Pertanyaan yang membutuhkan hanya dua jawaban pasti ya atau tidak, tetapi kulanjutkan dengan pembahasan yang cukup panjang, hingga pada akhirnya teleponnya berdering dan kuhentikan pembicaraanku. Setelah teleponnya terputus, saat dia beranjak, dia sempat mengajak bermain sepakbola tetapi aku tidak punya waktu sebab segera akan pergi melihat pertunjukan teater Orang Kasar oleh kawan-kawan KisSA.
Pertanyaan tadi mengantarkanku pada pikiran bahwa sepakbola mungkin telah banyak mengubah dunia, tetapi kitalah yang menjadi penentu perubahan itu. Para pemain bola mungkin telah puas dengan dukungan supporter atau penonton, dan para penonton ini telah menjadi literat sepakbola dan mengenal sisi lain dari sepakbola dan “dunia lain”. Saya teringat bahwa korupsi dana fasilitas olahraga, kisruh politik PSSI, perang antar supporter, pemukulan wasit, dan orang-orang yang menggantungkan hidup dengan berjualan souvenir bola di stadion kota ini, semuanya mengenalkan padaku pada sisi lain dan “dunia lain” dari sepakbola. Dan saya kemudian teringat bahwa buku pertama yang pernah kubaca sampai habis, adalah karya Arief Natakusumah “Drama Itu Bernama Sepakbola”. (irs)