Republik Bebas Berpikir

Judul diatas merupakan pesan berharga dari Bung Hatta. Pesan yang memberikan lonceng peringatan sepanjang kita masih memaknainya. Republik Bebas berpikir itu adalah rumah akademik bernama Universitas. Disana kita bebas berkreasi dan berinovasi untuk Tri Darma Perguruan tinggi, dan lebih dari itu adalah simbol kemajuan bangsa. Karena itu bagi Cak Nur “Universitas itu miniatur bangsa”. Sebab itu kampus seharusnya menjadi kiblat SDM yang unggul dalam menghasilkan output untuk kemajuan bangsa.

Bila universitas itu sendiri merupakan simbol kemajuan, maka ia pun harus “dilindungi”, dalam berbagai dinamika. Sejarah mencatat bahwa universitas atau yang biasa kita istilahkan kampus telah menjadi pengusung peradaban dunia. Salah satu kebanggan ialah terciptanya kemajuan disegala aspek, dan yang terpenting dari semua itu ilmuwan yang berpredikat guru-guru besar senantiasa berkarya tanpa pamrih.

Para pengajar sibuk meneliti, mencari buku-buku yang menjadi referensi penelitian dan bahan ajar. Pimpinan kampus terus-menerus bekerja untuk almamater, para mahasiswa berbondong-bondong menuju perpustakaan mencari buku, seolah-olah mendengar bisikan Charles “Universitas terbaik hari ini adalah kumpulan buku. Ketergantungan pada buku seperti menhirup udara dalam kampus.

Benarkah itu semua ? Satu peristiwa yang paling menarik dalam dunia kampus adalah perebutan simpati kampus dengan mengundang pembicara dalam berbagai podium atau diskusi ilmiah yang membahas tentang kebangsaan. Tidak hanya diantara kampus tetapi juga dalam lembaga-lembaga intra dan ekstra mahasiswa yang berlomba-lomba menghadirkan pembicara diberbagai bidang seperti sosial, politik, agama, budaya, dan sebagainya. Hal ini tentu menggembirakan, sebab mendiskusikan sebuah kondisi kebangsaan dalam kampus berarti siap mengulitinya dengan pisau akademik.

Beberapa waktu yang lalu, dunia kampus sontak dalam kabar penolakan tokoh atau calon presiden menjadi pembicara pada kuliah umum atau diskusi dalam kampus. Penolakan ini lahir dari sebuah alasan adanya politisasi kampus, mengingat bahwa dalam waktu dekat momen akbar akan dihelat bernama Pilpres. Penolakan ini didalangi oleh mahasiswa-mahasiswa sebuah perguruan tinggi yang ternama di negeri ini. Disisi lain, sebagian mahasiswa kampus tersebut menunggu kuliah umum tokoh dan calon presiden tersebut pada akhirnya batal.

Kekhawatiran politisasi memang perlu ada, tetapi semestinya momen itu justru dapat di manfaatkan (dijadikan) sebagai upaya “menguji” persoalan tentang kebangsaan dan juga mengoreksi apa yang diwacanakan. Lagi pula kampus yang didalamnya merupakan kumpulan orang-orang intelektual lebih mengedepankan pikiran kritisnya untuk menilai sesuatu dalam menyimpulkan sesuatu. Jika diindikasikan politisasi kampus, Ini kedengarannya seperti kampanye pileg “ambil uangnya jangan pilih orangnya”. Lalu apa yang kita takutkan ? Bukankah kampus adalah bebas nilai, ketika mereka telah duduk dipodium kuliah -menyeluruh- umum maka sesungguhnya mereka dituntut “independen” dan berbicara llmiah.

Saat terjadi pelarangan diskusi buku di semarang beberapa bulan lalu, Gubernur Semarang menyarankan untuk dilakukan didalam kampus dan banyak yang mendukung hal itu termasuk ormas yang melarang. Hal itu menandakan bahwa kampus masih dinilai sebagai tempat yang bebas memperbicangkan sesuatu. Sekarang dengan melarang siapapun masuk kekampus dengan alasan apapun, tentu kembali mempertanyakan kampus sebagai tempat bebas berpikir.  (irs)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *