UPAYA PUSTAKAWAN DALAM BERDIPLOMASI
By Irsan
Latar Belakang
Pustakawan dewasa ini harus bertransformasi kearah yang lebih baik. Salah satu yang tidak boleh di nafikkan ialah peran sosial pustakawan. Jika melihat kondisi saat ini, pustakawan sepertinya hanya menjadi tenaga teknis yang terkadang mengabaikan kompetensi sosial.
Jika selama ini pustakawan hanya dianggap sebagai penjaga buku, maka seharusnya saat ini pustakawan harus mau dan mampu menepis kemudian meluruskan persepsi semacam itu. Jelas citra itu merupakan tanggungjawab yang harus di emban oleh pustakawan. Langkah yang perlu dilakukan oleh pustakawan ialah menjawab dinamika itu dengan mempersiapkan diri dan menguasai keterampilan sosial. Sehingga pelayanan perpustakaan kepada pemustaka dan masyarakat lebih memberikan konstribusi yang maksimal.
Melihat aktivitas pustakawan disekeliling kita, sebagai contoh yang terjadi di beberapa perpustakaan perguruan tinggi di Makassar, cenderung kita melihat apatisme pustakawan pada persoalan kepustakawanan dan isu-isu keterbukaan informasi. Apalagi jika sudah menyangkut tentang penorobosan ruang kerja perpustakaan oleh kebijakan pada instansi tertentu. Tidak sedikit keluh kesah yang di sampaikan perihal persoalan tersebut, namun tidak seperti perhatian dan tuntutan yang lebih besar pada soal tunjangan dan gaji pustakawan yang selama ini sering di keluhkan. Jalan diplomasi tentunya salah satu jalan yang harus di upayakan oleh pustakawan agar mampu membuat hegemoni dalam penentuan dan pengambilan kebijakan yang dapat pro terhadap kepentingan pustakawan.
Acuan judul sebelumnya yakni “upaya pustakawan dalam berdiplomasi untuk mempengaruhi, mengarahkan dan memimpin orang lain” yang diberikan oleh dosen pengampu mata kuliah ini ditafisrkan oleh penulis sebagai interaksi pustakawan terhadap pihak lain secara luas. Untuk itu, bukan hanya pemustaka dan orang-orang yang berada dalam internal perpustakaan tetapi juga pihak lain yang berada pada eksternal perpustakaan. Namun harus dipahami pula bahwa adanya kesan perbedaan antara “mempengaruhi, mengarahkan dan memimpin” pada judul menjadi suatu bagian-bagian yang harus dijelaskan masing-masing. Tentu bagi penulis setuju ketiga kata tersebut memiliki perbedaan definisi masing-masing, akan tetapi ketiga kata itu merupakan satu persamaan dan berlaku pada satu istilah yang akan kami akan gunakan yaitu hegemoni. Konsep tentang diplomasi yang melahirkan hegemoni akan di sampaikan pada pembahasan.
Rumusan Masalah
Berdasarkan apa yang telah dipaparkan diatas, maka penulis merumuskan masalah pada fokus tentang upaya pustakawan dalam berdiplomasi ?
PEMBAHASAN
Pengertian Diplomasi dalam Konteks Kepustakawanan
Diplomasi merupakan seni dan keterampilan dalam bernegoisasi. Menurut Chamber’s Century Dictionary, diplomasi adalah seni berunding, khususnya tentang perjanjian diantara Negara-negara; keahlian politik (Yuningnurasri). Seorang yang melakukan diplomasi disebut dengan diplomat. Istilah ini sering digunakan dalam pertemuan internasional antar Negara dalam membicarakan sesuatu. Biasanya diplomat adalah orang yang ditunjuk untuk melakukan negoisasi pada pihak (Negara) lain atas nama lembaga yang dibawanya. Sebagian besar tokoh diplomasi, mendefenisikannya sebagai hubungan internasional dalam membahas kebijakan/kepentingan tertentu.
Sedangkan dalam KEMEMPAN No 174/1997, diplomasi adalah kegiatan mewakili Negara dan pemerintah, melakukan pendekatan, berunding (negoisasi), pemantauan dan pelaporan (observing and reporting) mengenai hubungan dan politik luar negeri, meningkatkan promosi luar negeri, menyelesaikan masalah kekonsuleran dan keprotokoleran. Diplomasi hanya dapat dilakukan jika mendapatkan izin dari lembaga yang diwakili untuk memperjuangkan dan menjalankan kepentingannya. Menurut Kautlya (dalam Yuningnurasri) ada empat tujuan diplomasi yaitu perolehan (acquisition), pemeliharaan (preservation), penambahan (augmentation) dan pembagian yang adil (proper distribution). Kautlya menyimpulkan bahwa tujuan dari diplomasi ialah “pengamanan kepentingan Negara sendiri”.
Dalam sejarah manusia, diplomasi sebenarnya sudah dilakukan sejak manusia melakukan hubungan dengan manusia lain. Namun pada perkembangan diplomasi menjadi kegiatan yang spesifik pada hubungan antar Negara dan dilakukan secara resmi dalam hubungan internasional sebuah Negara.
Memang sejauh ini, ketika berbicara tentang diplomasi, maka persepsi masyarakat tidak dapat dilepaskan dengan hubungan international (bahkan dalam berbagai literatur). Meskipun demikian, istilah diplomasi pada dasarnya mengandung pengertian yaitu sebagai perundingan. Diplomasi juga dapat dipahami sebagai suatu proses komunikasi yang diatur (Constantinou, 1996:25, dalam Salim Alfahrisy).
Dalam kaitannya dengan bahasan diplomasi pada konteks kepustakawanan, maka istilah diplomasi yang berkembang secara sfesifik pada definisi hubungan internasional perlu dirumuskan secara berbeda (dalam ruang lingkupnya) ketika membahasnya didalam konteks kepustakawanan. Jika merujuk pada KEMEMPAN No 147/1997 yang lebih sfesifik pada hubungan international, maka diplomasi dalam konteks kepustakawanan, dilihat sebagai kegiatan (pustakawan) yang mewakili lembaga perpustakaan (dan profesinya) dalam melakukan pendekatan, berunding, pemantauan dan pelaporan mengenai hubungan dan “politik” pada lembaga lain, meningkatkan promosi perpustakaan, menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan perpustakaan dan keprotokoleran. Sementara diplomasi sebagai suatu proses komunikasi yang diatur ialah interaksi antara pustakawan dan pihak lain. Olehnya, diplomasi dalam konteks perpustakaan,hubungan pustakawan dalam berunding dengan para pemustaka, pemerintah maupun lembaga/pihak lainnya yang terkait.
Sehingga pustakawan sebagai “diplomat” harus mampu mewakili perpustakaan dalam memenuhi kebijakan/kepentingan perpustakaan tersebut. Kegiatan tersebut tentunya dilakukan sesuai dengan prinsip etika profesi pustakawan. Sebab harus dipahami pula bahwa unsur yang paling penting dan sekaligus menjadi inti dari diplomasi ialah diplomatnya, dalam hal ini pustakawannya.
Upaya Pustakawan Dalam Berdiplomasi
Dalam memerankan peran sosial pustakawan (baik secara profesi maupun lembaga), untuk mencapai sebuah tujuan diperlukan keterampilan sosial dalam berinteraksi dengan manusia atau kelompok lainnya. Menurut Tipplet, dkk., (2013:10) dalam Fiqru Mafar, kompetensi sosial adalah kemampuan untuk bekerjasama dan berurusan dengan orang lain atas dasar perpaduan kemampuan untuk bekerjasama dan berkomunikas. Salah satu keterampilan yang penting dimiliki pustakawan ialah kemampuan berdiplomasi.
Keterampilan berdiplomasi merupakan bagian dari komunikasi interpersonal yang penting untuk dimiliki seorang pustakawan dalam melayani pemustaka maupun sesama pustakawan dan pihak lain. Apalagi para pustakawan telah mengungkapkan kebutuhan besar mereka selama ini lebih kepada kemampuan dan pengetahuan dalam keterampilan manajemen dan hubungan interpersonal (Allen). Kemampuan melakukan komunikasi melalui diplomasi merupakan salah satu instrumen keberhasilan dalam melakukan kerjasama secara positif dengan pihak lain. Diplomasi juga menekankan pada komunikasi antar persona secara persuasi, maksudnya ialah mencoba membujuk atau bernegoisasi orang lain agar berubah dan mempengaruhinya pada sikap, kepercayaan dan perilaku tertentu (Pawit M. Yusuf, 2009: 108).
Jika melihat realita saat ini, pustakawan lebih cenderung pada kesibukan (keterampilan) teknis yang menjadi tugas pokoknya. Akhirnya, pustakawan lebih memperhatikan dan mengembangkan keterampilan teknis tanpa mau mengasah kemampuan berkomunikasi (berdiplomasi) terhadap orang lain. Fenomena diatas rupanya belum disadari oleh sebagian pustakawan. Kondisi ini dipengaruhi oleh kurangnya rasa percaya diri sebagai pustakawan. Namun tentu saja, masih banyak pustakawan yang punya kemampuan berdiplomasi yang baik. Keberhasilan diplomasi ini bisa dilihat jika para pemustaka merasakan layanan yang prima. Sementara dalam hubungan kerjasama kepada pihak lain baik secara personal maupun lembaga , keberhasilannya dapat dilihat apabila terjalin kerjasama yang saling menguntungkan dan berjangka panjang serta mengamankan kebiajakn/kepentingan perpustakaan.
Upaya pustakawan dalam berdiplomasi dapat dilakukan dalam berbagai aktivitas dalam kaitannya dengan layanan perpustakaan. Contohnya, hubungan kerjasama antar perpustakaan perguran tinggi yang berada di sekitar Kota Makasssar dalam rangka sebagai wadah penelitian dan pendidikan. Diplomasi juga dilakukan ketika pustakawan melakukan promosi atau sosialisasi kepada masyarakat pemakai dan potensial serta mampu mempengaruhi dan mengarahkannya mencintai perpustakaan. Adapun kegiatan lain yang berada diluar lingkup waktu dan ruang perpustakaan bisa dilaksanakan, seperti menjalin kerjasama (diplomasi) secara personal kepada pegiat taman baca, pecinta buku dan masyarakat setempat.
Selain itu, adanya berbagai streotipe negatif terhadap pustakawan dan perpustakaan, menjadi alasan untuk dapat melakukan diplomasi kepada masyarakat dan pihak-pihak yang memandang sebelah mata profesi pustakawan dan perpustakaan. Seperti penempatan pegawai bermasalah di perpustakaan yang dilakukan oleh sekolah-sekolah dan daerah tertentu harus menjadi perhatian yang serius oleh pustakawan maupun lembaga perpustakaan. Diplomasi yang dilakukan oleh pustakawan dapat mewakili lembaga perpustakaan dan organisasi profesi bernama Ikatan Pustakawan Indonesia (IPI) untuk merundingkan persoalan yang terjadi pada dunia kepustakawanan. Bahkan keterlibatan pustakawan secara politis dalam kasus-kasus dan kebijakan perpustakaan (kepustakawanan) perlu direspon melalui jalan diplomasi. Sebab selama ini pustakawan Indonesia sepertinya lebih cenderung ingin melakukan diplomasi di banding turun langsung melakukan agitasi atau demonstrasi. Berbeda dengan profesi guru ataupun buruh yang sering melakukan aksi terhadap kebijakan yang tidak memihak kepada mereka.
Kasus seperti diatas sebenarnya bisa diantisipasi oleh pustakawan, apabila pustakawan mampu berdiplomasi kepada kepala sekolah, kepala dinas pendidikan, kepala daerah, dan pemerintah pusat serta instansi lainnya (yang memiliki perpustakaan) tentang peri pentingnya peran pustakawan pada instansi tersebut, terutama pada sekolah dan perguruan tinggi dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Sehingga ungkapan perpustakaan sebagai jantung sekolah/PT tidak lagi sekedar kalimat omong kosong tetapi dapat dipahami dan dimaknai. Ketika ini telah tercapai peran pustakawan semakin urgen dalam memacu semangat pemustaka/masyarakat berkunjung di perpustakaan.
Diplomasi kian mendesak untuk dilakukan pustakawan, sebab kenyataan ini dapat dilihat dari citra pustakawan, dimana pustakawan masih dinilai sebagai profesi yang kurang dihargai. Gaji pustakawan dan pemenuhan fasilitas kelengkapan perpustakaan perlu di suarakan. Sementara untuk didesa-desa, pustakawan sebisa mungkin mengawal pembentukan perpustakaan dari anggaran yang minim di desa. Seperti halnya pada sekolah yang mengandalkan dana BOS sebagai biaya-biaya pada pos perpustakaan.
Diplomasi Sebagai Jalan Hegemoni Kepustakawanan
Telah di kemukakan sebelumnya bahwa terdapat berbagai persoalan yang masih menyelimuti kepustakawan Indonesia. Salah satu diantaranya ialah penempatan pegawai bermasalah atau mutasi kepala perpustakaan tanpa pertimbangan profesionalisme. Akibatnya profesi pustakawan di dominasi oleh pihak lain yang memiliki kewenangan tinggi pada institusi tertentu. Padahal jaminan perpustakaan sebagai lembaga untuk mencapai tujuan Negara dalam mencerdaskan kehidupan bangsa telah dijelaskan secara konstitusi. Adanya UU No 43 tahun 2007 tentang pengangkatan kepala perpustakaan menegaskan bahwa perpustakaan dikelola secara profesional. Dengan begitu pustakawan harus menegaskan diri sebagai tenaga professional dalam bidang perpustakaan dan informasi. Ketegasan dan upaya dalam menyampaikan segala persoalan dapat dilakukan dengan jalan diplomasi, selagi untuk mempertahankan kepentingan perpustakaan dan kepustakawanan.
Diplomasi sebagai bentuk pengamanan kepentingan, tidak dapat dipisahkan dari hegemoni sebagai salah satu tujuan diplomasi. Tentu hegemoni yang dihasilkan melalui diplomasi atau diplomasi untuk hegemoni dalam kepustakawanan bermuara pada menguasai, mendominasi, mempengaruhi pihak lain. Sebab hegemoni kepustakawanan atas profesionalisme dan kepentingan Negara menjadi domain yang jelas dalam eksistensi perpustakaan dan pustakawan. Bagi Blasius Sudarsono dalam makalahnya, hegemoni juga dapat dikaitkan dengan kemauan dan kemampuan pustakawan. Kemauan diartikan sebagai semangat dan panggilan hidup, sementara kemampuan ialah unsur profesionalisme pustakawan. Pandangan Blasius diatas, memberikan terang bahwa dari kemauan membentuk prinsip dan sekaligus ideologi kepustakawanan. Ideologi kepustakawanan yang dimiliki oleh pustakawan dapat menjadi instrumen dalam menampilkan hegemoni kepustakawanan. Bagi pustakawan, dominasi itu melingkupi ruang perpustakaan dan kehidupan sosialnya yang tentunya demi tercapainya pengaruh untuk memanfaatkan sumber-sumber kepustakaan dan informasi.
Persoalan tentang bagaimana hegemoni kepustakawanan beroperasi dalam mewujudkan cita-cita tersebut memang masih jauh dari harapan. Seperti yang dikemukakan sebelumnya, pustakawan masih lebih didominasi. Hegemoni kepustakawanan berangkat dari upaya menguasai dan menanamkan pengaruh melalui berbagai perangkat dan media yang dimiliki atau didominasi. Dengan begitu, masyarakat yang serba materalistik (konsumtif), hedonis dan apatis dapat dikuasai melalui pertarungan ideologi yang di pengaruhi oleh kepustakawan. Semangat kepustakawanan ini pada akhirnya menggiring opini masyarakat pada pentingnya perpustakaan dan membaca dalam kehidupan manusia.
DAFTAR BACAAN
Allen Lawrence A. and Barbara Conroy. Social Interaction Skills. Urbana-Champaign : Graduate Schollof Library and Information Science, University of Illionis. http://ideals.illionis.edu/handle/2142/6597 (di akses 9 Juli 2014)
Blasius Sudarsono. 2012. Hegemoni Kepustakawanan Indonesia: Profesionalisme dan Kepentingan Negara. Makalah Seminar Nasional Kongres Himpunan Mahasiswa Perpustakaan dan Informasi Islam (HMPII) IV. Jakarta : IMASIP UI. Dapat di akses juga di http://imasipedia.com/makalah-dan-ppt-seminar-nasional-kongres-nasional-hmpii-iv/
Fiqru Mafar. 2011. Perpustakaan di Mata Masyarakat. Editor Labibah Zain, cet 1. Yogyakarta : Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga, Perpustakaan Kota Yogyakarta dan Blogfam.com
Mumutaro. Pengertian Diplomasi. Mumutaro Official Page. Thestudentdying.blogspot.com/2013/01/pengertian-diplomasi.html?m=1 (di akses 9 Juli 2014
Pawit M. Yusup. 2009. Ilmu Informasi, Komunikasi dan Kepustakaan. Jakarta : Bumi Aksara
Salim Alfahrisy. Pengertian Defenisi Diplomasi. Informasi Media. Mediainformasiill.blogspot.com/2012/04/pengertian-diplomasi.html?m=1 (di akses 9 Juli 2014
Yuningnurasri. Pengertian,Tujuan,Metode,dan Instrumen Diplomasi. Rangkaian Mutiara Pemikiran. Yuningnurasri.blogspot.com/2013/02/pengertian-tujuan-metode-instrumen.html?m=1 (di akses 9 Juli 2014)