Membaca kritikan Ilham Kadir (alumnus UMI) dalam tulisannya “Hilangnya Adab dikampus Peradaban” (Tribun Timur, 27/6/2014), yang kemudian ditanggapi oleh Dr. Firdaus Muhammad (Dosen FDK UIN Alauddin) dalam tulisannya “Menjaga Adab Di Kampus Peradaban” (Tribun Timur, 1/7/2014). Keduanya kemudian mengingatkan saya untuk menulis persoalan tentang Adab di kampus peradaban.
Pada 2010, tahun pertama sivitas akademika menginjakkan kaki di kampus baru yang jauh dari hingar bingar Kota Makassar. Sebelumnya, proses perpindahan ke kampus 1 ke kampus baru yang kini dinamakan kampus 2 mengisahkan gelombang protes dari sebagian mahasiswa sejak itu. Berbagai tanggapan dan jawaban oleh pimpinan atas pertanyaan mahasiswa. Hingga janji fasilitas yang memadai disetiap fakultas baik sarana maupun prasarana menjadi jaminan hijrah ke samata kabupaten Gowa. Proses hijrah ini juga menandai adanya sebuah harapan perubahan yang lebih baik. Dari bangunannya telah nampak jelas terjadi perubahan, akan tetapi persoalan kronis hari ini ialah mengenai lahan di belakang gedung fakultas Adab dan Humaniora.
Beberapa bulan setelah menempati gedung baru, peristiwa yang mengejutkan bagi sivitas akademika fakultas Adab dan Humaniora ketika terjadi pemboikotan gedung oleh oknum atau warga yang mengklaim sebagai pemilik tanah. Praktis saat itu, aktivitas belajar-mengajar terhenti bahkan seorang mahasiswa yang akan melangsungkan ujian meja akhirnya dialihkan ke mesjid. Pintu gedung di gembok, tangga di palang dengan bambu dan kayu serta orang-orang yang bukan mahasiswa di kampus ini datang cukup ramai. Kejadian itu menunda beberapa hari perkuliahan, setelah itu gedung kembali di fungsikan. Namun beberapa bulan kemudian, pemboikotan kembali dilakukan oleh oknum yang mengklaim diri sebagai pemilik tanah. Alhasil, kembali aktivitas perkuliahan terhenti. Kabarnya, setengah dari gedung fakultas Adab tersebut dinyatakan sebagai lahan yang disengketakan.
Saat itu, salah satu upaya yang dilakukan mahasiswa melalui BEM Fakultas Adab dan Humaniora (FAH) yaitu dengan mendatangi pimpinan kampus (WR II) untuk menyelesaikan sengketa dan meminta segera memberhentikan pemboikotan. Demikian pula dengan Dekan FAH dan dosen-dosen juga secara tegas meminta kejelasan sengketa lahan agar diselesaikan secepatnya karena telah menganggu suasana kenyamanan dan mengancam keamanan kampus. Setelah menyampaikan keluhan tersebut, beberapa jam kemudian polisi menertibkan oknum dan benda-benda yang dijadikan palang. Tetapi, disaat masih belum ada kejelasan tentang kepemilikan diantara kedua pihak (kampus dan yang mengaku sebagai pemilik tanah), pohon-pohon yang ada di lahan sengketa tersebut di tebang oleh orang yang mengklaim sebagai pemilik lahan itu. Pohon-pohon yang dulunya menjadi tempat teduh berdiskusi mahasiswa kini rata dengan tanah. Sangat disayangkan bahwa tidak adanya langkah yang tegas dari pihak kepolisian dan juga upaya maksimal dari pimpinan kampus.
Hingga memasuki tahun ke 4, bangunan indekos pada lahan itu mulai bermunculan. Bahkan hanya 3 meter dari tembok fakultas Adab dan Humaniora. Jika berada di lantai 2, 3 dan 4 bisa disaksikan jejeran rangka bangunan yang tinggal di atapi. Tanpa pagar atau pembatas, jelas keindahan, kenyaman dan rasa keamanan kampus akan terganggu. Meski masih banyak yang mempertanyakan sengketa lahan tersebut, namun pembangunan indekos dan kantin menandakan bahwa lahan ini bukan milik kampus.
Batas atau pembatas kampus memang sangat penting untuk memisahkan aktivitas warga sekitar dan aktivitas masyarakat kampus. Sebab, faktanya dapat kita saksikan, tepat di samping fakultas Adab terdapat banyak warga yang berbaur dengan mahasiswa. Bukan berarti mahasiswa dibatasi untuk dekat dengan masyarakat dan sebaliknya, akan tetapi beberapa peristiwa negatif yang pernah dialami mahasiswa menjadi alasan. Adanya batas yang jelas merupakan langkah untuk mengantisipasi segala kemungkinan. Seperti penyerangan kepada mahasiswa oleh oknum yang berasal dari bukan mahasiswa jelas tidak dapat dikesampingkan. Belum lagi maraknya pencurian motor yang terjadi, harus menjadi kewaspadaan kampus dari pihak-pihak luar yang memanfaatkan kesempatan. Banyak hal lain yang menjadi praduga bilamana indekos dan batas kampus tidak disikapi dengan langkah yang cepat dan tepat. Bayangkan jika kampus tidak memiliki tapal batas dengan kampung (pemukiman), maka lingkungan akademik akan terpengaruh, terlebih lagi soal keamanan dan kenyamanan belajar.
Tahun ini, momen pemilihan Rektor UIN Alauddin diharapkan mampu menghasilkan pemimpin yang dapat memecahkan masalah yang semakin kompleks dikampus ini. Menariknya dari 7 bakal calon rektor, ada tiga guru besar merupakan alumni fakultas Adab dan Humaniora yaitu Prof Mardan, M.Ag, Prof Phil Kamaruddin Amin, MA, dan Prof Andi Faisal Bakti, PhD. Tanpa bermaksud membandingkan dengan kepemimpinan sebelumnya dan calon rektor lainnya, sedapat mungkin pemimpin yang baru mampu menciptakan kenyaman dan kemananan lingkungan akademik. Tentu perhatian tersebut harus diiringi dengan upaya yang nyata. Sangat ironi rasanya, jika sebuah kampus yang memiliki bangunan cukup mewah dan mendambakan predikat world class university tetapi masih memiliki persoalan dilingkungan sekitarnya. Hampir saja Adab hilang dikampus peradaban, maka untuk menjaganya dan seluruh wilayah kampus maka pimpinan harus mengantisipasi hal demikian. Jika tidak, Adab akan benar-benar hilang. Hilangnya bukan hanya gedung tetapi juga memungkinkan hilangnya “peradaban” bahkan keadaban yang dicita-citakan. (irs)