Militansi Pustakawan dan Library Wars

5 tahun lagi, perpustakaan berada dalam ancaman perang. Sensor terhadap buku-buku yang dianggap mengancam kekerasan, diskriminasi, dan moral rakyat segera akan dilenyapkan. Undang-undang pada 1988 telah memutuskan untuk mengunkung kebebasan berekspresi dan barang cetakan oleh pemerintah atas desakan sebagian masyarakat. Pengunaan bahasa kotor didalam buku dianggap berdampak negatif terhadap generasi muda. Alasan ini jelas melanggar HAM dan menindas pemikiran.

Era itu bernama “Seika”. Tahun 1989, UU Media Imrovement berlaku. Dan perang akan segera dimulai. Suatu hari, disebuah toko para gerombolan bersenjata dan berpakaian ala polisi, tiba-tiba menghanguskan seluruh isi perpustakaan. Akses e-book dan media online ikut diblokir di internet.  Seluruh buku di toko buku yang tercap sensor kemudian diangkut untuk dihanguskan. Ini adalah kisah dalam film Jepang “Library Wars” yang diangkat dari novel “Toshokan Sensor” oleh Hiro Arikawa (diterbitkan Februari 2006).

Tahun 2004, setelah 16 tahun sensor berkeliaran, dibentuklah Library Defence Force (LDF) yang melindungi perpustakaan dan menentang sensor. Di dalam film ini dikisahkan seorang gadis yang tersanjung atas bantuan LDF. Ketika ia hendak membeli buku di sebuah toko buku, polisi melakukan penggrebekan buku sensor yang akan diangkut untuk dibakar. Secara kebetulan, buku yang akan dibelinya merupakan buku sensor. Ia lantas menyembunyikan dibelakang punggungnya. Namun petugas curiga dan kemudian terjadi tarik menarik diantara keduanya. Disaat itulah, seorang pria petugas LDF membelanya dengan memperlihatkan identitas LDF. “Buku ini dalam perlindungan sensor oleh LDF”, ujarnya.

Terkesan oleh peristiwa itu, gadis kemudian mendaftarkan diri sebagai anggota LDF. Kecintaannya terhadap buku dan ingin melindungi perpustakaan menjadi alasannya seperti yang dilakukan penolongnya. Namun tak disangka, selama mengikuti latihan militer LDF, ternyata peristiwa di toko buku itu telah membuatnya jatuh cinta terhadap pria yang menolongnya dan mencari siapa pahlawannya itu. Hingga memasuki tahun 2019 (tahun ke 31 Era Seika) akhirnya terjadi penyerangan terhadap LDF yang berusaha mempertahankan perpustakaan dari serbuan MBC militer pemerintah. Dan perang yang sengit itu telah meluluhlantahkan bangunan dan menewaskan beberapa orang diantara kedua kelompok itu. Akhirnya LDF mampu meredam serangan dan memukul mundur MBC.

Kisah pelarangan buku juga pernah terjadi di Indonesia, terutama pada era orde baru. Melalui kekuatan militer dan kejaksaan Agung, pelarangan dan pembakaran buku di lakukan. Dalihnya untuk stabilitas bangsa dari pengaruh ideology yang didiskreditkan/diharamkan setelah tuduhan mengarah kepada PKI sebagai dalang peristiwa Garakan 30 September. Ormas masyarakat dan berbagai penentangnya ikut menentang paham yang mengajarkan komunisme, marxisme, dan leninisme serta sosialisme.

Peristiwa seperti ini juga pernah terjadi sebelum Indonesia merdeka dan dibawa pemerintahan orde lama yang melarang cetakan kontra-revolusioner. Namun memang yang menyita perhatian dimulai pada era orde baru hingga tergantikan dengan era reformasi. Reformasi yang di kira tak lagi melarang buku, justru muncul beberapa kali, seakan-akan mengusir udara kebebasan berpikir/berpendapat dan menciderai demokrasi. Setelah UU Pelarangan di cabut sepenuhnya pada tahun 2010, akan tetapi kini giliran ormas keagamaan dan pancasila membubarkan diskusi buku tentang Tan Malaka (Februari 2014), seorang pahlawan nasional yang dicapnya kiri/komunisme

Menyimak sejarah pelarangan buku di Indonesia, ada yang terasa sangat berbeda didalam film yang diceritakan Library Wars yaitu peran pustakawan (dan perpustakaan) dalam menentang sensor melalui LDF. Menariknya Perpustakaan yang dilindungi merupakan perpustakaan yang menyatakan diri bebas undang-undang. Penegasannya ialah perpustakaan bebas mengumpulkan bahan pustaka, menyebarluaskan informasi (bahan pustaka), menjamin keamanan pemustaka, dan menentang sensor yang tidak benar.

Hal ini sangat berbeda di Indonesia, dimana ketika orde lama hingga reformasi perpustakaan sebagai instansi Negara tunduk pada peraturan pemerintah mengenai koleksi yang dianggap terlarang atau kontroversial. Kalaupun di koleksi, penggunaanya terbatas dan hanya bisa dibaca pada ruang tertentu bahkan mencatat identitas pemustakanya. Lihat saja pasal 12 bab IV UU No 43 tahun 2007 tentang koleksi perpustakaan, jelas perpustakaan harus tunduk pada peraturan ini.

Sebenarnya tidak ada lagi batasan dalam akuisisi bahan pustaka di perpustakaan, apalagi di Perguruan Tinggi sebagai wadah riset mahasiswa. Tetapi masih sering terjadi di perpustakaan sekolah dan perpustakaan umum dengan alasan tertentu. Meskipun prinsip selektor (pustakawan) dalam mengadakan bahan pustaka bersandar pada keterbukaan informasi, akan tetapi peran pustakawan masih sebatas pada isu didalam internalnya. Bahkan jika ditarik kebelakang, hampir nyaris tidak pernah terdengar protes para pustakawan (dan perpustakaan) terhadap sensor atau pelarangan buku baik dilakukan secara institusi maupun ikatan profesi. Justru itu di teriakan oleh pihak lain, seperti para penulis dan ormas-ormas anti-sensor. Lantas dimanakah para pustakawan bilamana terjadi pembubaran diskusi buku dan pembakaran buku.

Sebab itulah, pustakawan patut mencontoh LDF dalam film diatas. Terlepas apakah ia fiksi, tetapi gambaran yang disampaikan sangat jelas bahwa pustakawan (dan perpustakaan) harus mampu menjadi pelindung sensor terhadap buku sekaligus pelestari. Pustakawan tidak hanya berjuang untuk melawan sensor tetapi juga membela keadilan. Ketika perpustakaan tidak merespon, sesungguhnya tanpa disadari para penyensor dan anti-buku telah menyerang pustakawan dan menghancurkan perpustakaan. (irs)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *