Smart City dan Perpustakaan

Terobosan yang diluncurkan oleh Pemkot Makassar melalui program Smart City mendapat sambutan yang cukup beragam. Smart City tersebut lebih menekankan pada pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi dalam menopang sistem pemerintahan dan pendidikan, misalnya e-goverment dan digital library. Yang terakhir, Pemkot Makassar akan bekerjasama dengan Microsoft dalam menerapkan digital library atau perpustakaan digital (Fajar, 29 Mei 2014). Dikatakan bahwa kerjasama tersebut untuk mengedukasi guru dan siswa tentang Teknologi Informasi. Sistem tersebut diharapkan mampu meningkatkan kualitas pendidikan Makassar. Program Smart City ini juga didukung oleh PT. Telkom dengan perluasan jaringan internet wifi seperti yang mereka fokuskan di sekolah-sekolah. Namun disaat yang sama, kurikulum yang baru tidak lagi memberi ruang bagi guru TIK mengajarkan siswa tentang pemanfataan Teknologi Informasi dan Komunikasi dengan menghapus mata pelajaran tersebut. Padahal melalui program seperti ini, guru TIK lebih berperan mengarahkan sesama guru dan siswa untuk menggunakan TIK dengan sehat dan mendukung percepatan dibidang informatika maupun pembelajaran menelusuri informasi.

Belakangan ini, akses internet yang semakin luas mulai memasuki sekolah-sekolah dan kampus-kampus. Disudut-sudut kota seperti warkop, café, indekos, mal, bandara dan ruang kota lainnya juga terlihat menyediakan fasilitas koneksi internet. Belum lagi perangkat-perangkat TIK seperti handphone, gadgate, smartphone, notebook atau laptop yang semakin menjamur ditengah-tengah masyarakat, sejauh ini cukup didominasi oleh kalangan pelajar, mahasiswa, dan pengajar. Rancangan digital library tersebut tentu sangat menggembirakan bagi segmen masyarakat informasi. Namun tentu digital library bukan barang yang baru bagi masyarakat, apalagi dilingkungan akademik. Sejauh ini, telah banyak institusi yang membangun digital library, terutama di institusi perpustakaan, kampus dan sekolah. Tetapi harus dipahami bahwa sebuah lembaga perpustakaan (manual) yang menerapkan pepustakaan digital tidak berarti memberikan informasi secara full-text, sebab sejauh ini masih sekedar memberikan informasi berupa petunjuk umum atau pokok subjek tentang sebuah koleksi yang dimiliki perpustakaan (manual), misalnya dalam makassarlib.net (yang menghubungkan beberapa perpustakaan yang tergabung).Meski begitu, kita tidak dapat menapikkan juga terdapat digital library yang dikelola secara mandiri dengan bacaan gratis dan bisa diunduh atau berbayar. Akan tetapi jika menganggap keberadaan digital library akan menggulung peran perpustakaan manual, tentu menjadi perdebatan yang masih panjang untuk dibahas dalam forum ini sekaligus dapat menepis wacana seperti itu.

Untuk mewujudkan program Smart City tersebut, tentunya perlu didukung oleh semua elemen masyarakat kota Makassar. Sehingga program ini benar-benar bisa berjalan sesuai harapan. Yang tak kalah pentingnya ialah pemerintah harus melakukan sosialisasi dan memberikan pemahaman atas fungsi digital library serta kelebihannya sebagai media untuk mencerdaskan masyarakat. Peran ini tentunya dibawah tanggungjawab institusi pemerintah yang fokus pada dunia perpustakaan dan informasi yaitu Badan Perpustakaan, Arsip dan Pengolahan Data Kota Makassar.

Dari kacamata kepustakawanan, sisi lain Smart City adalah representasi dari Library City. Bahkan langkah maju, ditunjukkan Walikota Makassar yang berjanji akan mengupayakan perpustakaan untuk rakyat (taman baca) disetiap lorong yang ada di Makassar. Ini disampaikan sebagai apresiasi prestasi dan sebagai kelanjutan program unggulan yang dicetuskan oleh IAS sejak 5 Juni 2005 yakni Gerakan Makassar Gemar Membaca. Wahyudi Muhcsin selaku Manajer Program GMGM yang telah ditanganinya selama 9 tahun ini, mengharapkan kedepannya setiap posyandu, puskesmas, dan kantor lurah memiliki taman baca (Upeks, 30 Mei 2014).

Dengan adanya rencana perpustakaan untuk rakyat (taman baca) di setiap lorong, pemerintah perlu menyiapkan dengan matang manajemen pengelolaan taman baca, mulai dari tenaga pengelola, fasilitas, koleksi, dan lain-lain agar tercapai tujuan yang maksimal. Tentu saja ini harus dikerjasamakan dengan baik bersama Badan Perpustakaan dan Arsip Kota Makassar, maupun forum pegiat taman baca, mahasiswa perpustakaan, lembaga gerakan gemar membaca dan pihak lain yang terkait. Sebab faktanya selama ini masyarakat kurang mengetahui keberadaan taman baca yang secara formal didirikan dan biayai oleh pemerintah. Sementara kesempatan masyarakat untuk memanfaatkan taman baca sangat terbatas, hal ini dikarenakan taman baca kebanyakan berada dikantor kelurahan atau kantor kecamatan, sehingga pelayanannya juga mengikuti waktu kantor yang ditumpanginya. Sehingga sangat penting memikirkan letak dan layanan yang strategis, bagaikan membayangkan sebuah taman baca di Anjungan Pantai losari dengan layanan full-time. Berbeda dengan taman baca (perpustakaan berbasis komunitas) yang dikelola secara mandiri oleh individu dan komunitas, mereka lebih humanis, flexibel dan terbuka.

Disisi lain, seringkali kita melihat Taman Baca tersendat dalam hal fundraising dan tenaga pengelola, sehingga terkadang taman baca tidak mampu survive dan konsistensinya kabur. Padahal taman baca seharusnya menjadi lembaga yang meningkatkan pembinaan dan pendidikan masyarakat sekitar. Bahkan taman baca merupakan ujung tombak pendidikan non-formal melalui program pemberdayaaan dan pengembangan masyarakat serta sebagai wadah inspirasi dan kreativitas dan rekreasi bagi masyarakat.

Kedua program diatas, jelas tidak baru, namun menariknya perpustakaan digital (digital library) dan perpustakaan rakyat (taman baca) merupakan potensi/program yang sangat perlu mendapat perhatian lebih agar terwujud “smart city” yang sesungguhnya. Mampukah kita menjadikan Makassar sebagai smart city is library city ? (irs)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *