“Selama manusia menulis buku, selama itu pula musuh-musuh mereka akan menghancurkannya”, inilah yang menjadi “komedi” pahit yang diutarakan oleh Utne Reader dalam mengomentari karya Fernando Baez,Penghancuran Buku dari Masa ke Masa.
Musuh alami buku adalah serangga-serangga dan debu-debu yang melahap buku-buku. Sementara musuh yang tidak alami itu selalu menampakkan “seragam” pembela kebenaran. Tanpa pikir dan mau tahu siapa dan bagaimana yang dimusuhi. Sementara instrumen penghancurannya dengan dalih keresahan masyarakat dan stabilitas. Menggunakan kebebasan untuk membatasi kebebasan berdiskusi tentang sebuah buku. Tentang sebuah pemikiran yang merupakan anugerah Tuhan.
Demokrasi yang kemudian diagung-agungkan dan didefinisikan sebagai kebebasan berpendapat/berpikir dalam ruang diskusi memungkinkan muncul kritik dan koreksi yang tajam saat ini. Jadi, apa sebenarnya yang dimaksud dengan demokrasi di negara Pancasila ini ? Jika demokrasi tidak dapat membawa pada situasi yang adil, maka kita tidak butuh apa pun dari demokrasi”, kritik Hendra Nurtjhahjo dalam bukunya Filsafat Demokrasi. Baiknya kita kembali mendengar Fernando Baez tentang Mitos Apokaliptis bahwa bahkan masyarakat yang menjunjung tinggi nilai demokratis pun bisa bersikap total dalam melakukan pembubaran atau pelarangan diskusi untuk memperkuat penolakan totalitas identitas lain.
Melihat serangkain aksi pembubaran diskusi buku yang terjadi beberapa bulan lalu, kembali pelarangan buku dan kebebasan berdiskusi ditentang oleh ormas keagamaan dan pancasilais. Sasarannya ialah pembubaran diskusi buku “Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia” jilid 4 karya Harry A. Poeze yang diadakan Yayasan Pustaka Obor pada Jumat (7/2/2014) di Perpustakaan C20 Surabaya oleh Front Pembela Islam (FPI). Sebelumnya kegiatan yang sama berjalan lancar di kampus Universitas Negeri Surabaya dan UNAIR Surabaya. Refleksi Tan Malaka dalam buku tersebut memuat perjuangan seorang tokoh Pahlawan Nasional yang dianggap “kontroversial”. Tokoh yang berjasa membawa bangsa menuju Merdeka 100% sekaligus ditentang oleh sebuah alasan pengalaman masa lampau. Ironinya, Tan Malaka justru disebut sebagai pahlawannya PKI-Komunisme oleh FPI. Sepertinya tragedi sejarah masa lalu belum hilang dari ingatan masyarakat. Dan untuk kesekian kalinya Harry Poeze berkebangsaan Belanda menelan kepedihan sebagai penulis buku dan sekaligus pembicara dalam diskusi buku tersebut. Nasib serupa juga terjadi di Gerobak Art Kos Semarang pada 17 Februari 2014, Pemuda Pancasila Kota Semarang keberatan dengan diskusi buku yang sama dengan mengirim surat keberatan (foto suratnya didapatkan merdeka.com) beberapa hari sebelum acara berlangsung ke Kepala Polrestabes Semarang. Banyak media (khususnya online) menyorot pelarangan itu, hingga akhirnya diskusi tersebut dialihkan dan di selenggarakan di kampus UNDIP Semarang.
Bentuk pembubaran diskusi buku tersebut mengingatkan kita pada rezim pelarangan buku yang begitu santer dalam sejarahnya. Pelarangan buku kerap hanya bagian dari pertentangan politik dan semacam peringatan kepada masyarakat agar tidak keluar dari rel politik (Elsam, Menentang Peradaban Pelarangan Buku di Indonesia). Kontrol diskusi tersebut bukan hanya dibidang politik tetapi juga ideologi dan keagamaan dengan alasan demi “stabilitas” ummat dan bangsa. Pembubaran dikusi buku yang bertema kiri ini menandakan sebagai hal yang mengancam sesuatu. Pembubaran diskusi buku juga mengindikasikan bentuk lain dari “penghancuran buku dan pemusnahan ingatan”. John Milton dalam Aeropagiticia berpendapat bahwa yang dihancurkan dalam sebuah buku adalah sebuah rasio. Rasio yang sejatinya berasal dari “Pencipta” di tentang oleh ormas yang berdogma dan bersila. Dan berdiskusi yang menjadi hak asasi manusia yang dijamin konstitusi –yang diakui secara internasional- dibungkam demi upaya menghapus memori dan menghapus gagasan dari suatu kebudayaan.
Diskusi Buku di bubarkan bukan karena memusuhi objek diskusi dan buku serta penulisnya, melainkan pada hegemoni atau nilai-subyek yang berpotensi mengancam “musuh”. Pelarangan buku dan berdiskusi bukan hal yang baru, sebab telah dimulai dari era kolonialisme hingga sekarang. Jika dulu pelakonnya adalah pemegang kebijakan/kontrol negara dan masyarakat adalah penontonnya (dan juga sering menjadi penyebab pelarangan atas desakannya), maka untuk kasus diatas menjadi sebaliknya. Kelompok masyarakat yang mengatasnamakan diri sebagai ormas penjaga “stabilitas” yang menjadi pelaku, dan pemerintah dan aparat penegak hukum menjadi penonton atau bahkan mengamini.
Melarang sebuah diskusi jelas menghancurkan sebuah kebudayaan. Jika kebudayaan tidak lagi mendapat tempat, maka kita mau jadi manusia seperti apa dan siapa. Akankah manusia terus menjadi musuh buku yang tidak alami ? (irs)
Dimuat di Kolom Literasi Tempo Makassar 17 Mei 2014