Dalam tradisi menulis, sebuah karya terabadikan melalui buku. Buku sejatinya bukan benda yang memiliki nilai materi seperti emas. Meski kadang buku bisa melebihi harga sebuah emas, namun juga bisa lebih murah bahkan tak bernilai bagi seseorang. Buku adalah “pakaian” untuk sebuah pemikiran atau ide manusia untuk senantiasa dilestarikan demi menjaga peradaban-pengetahuan dan upaya dari hantaman kelupaan dan “kehilangan” penulisnya.
Ketika pemikiran manusia telah terbingkai dengan bahan materi (tercetak) maka selanjutnya akan menjadi komoditas. Tiada yang menampik bahwa semuanya membutuhkan biaya penerbitan. Tetapi benarkah seorang penulis menerbitkan karyanya hanya untuk dihargai, ataukah oleh Pramudya Ananta Toer, menulis bekerja untuk keabadian ? Banyak alasan manusia untuk tetap hidup dan bertahan melalui tulisan, mungkin itu adalah bagian dari kecintaannya pada dunia literasi (keberaksaraan) atau juga untuk berbagi pengetahuan bahkan sebuah misi perubahan. Tidak salah jika buku merupakan wahana mengekspresikan itu semua. Dan tentunya itu harus dihargai, meski itu dominan melalui royalti, tetapi mungkin saja ada penulis tidak mengharapkan semacam itu.
Fenomena buku bajakan yang sedari dulu marak di Indonesia, khususnya di kalangan intelektual telah menjadi bagian yang tak terpisahkan. Adalah sebuah kenyataan bahwa terasa mahalnya buku, menjadi alasan masyarakat khususunya para pelajar dan mahasiswa membeli buku bajakan yang murah sebagai pilihan alternatif. Berbagai alasan terdengar, ada pula yang mengatakan, buku yang dicari tidak cetak lagi atau sangat jarang didapatkan hingga cetakannya hanya ada diluar negeri.
Seperti diketahui, mahasiswa merupakan salah satu kelompok masyarakat yang dominan membeli buku bajakan. Harian kompas (4/4/2014) melaporkan, mahasiswa membeli buku bajakan karena lebih murah daripada aslinya terutama buku ilmu pengetahuan. Lebih Ironinnya lagi jika pembajakan dilakukan karena perpustakaan kampus atau perpustakaan umum tidak mampu memfasilitasi buku-buku yang dibutuhkan mahasiswa. Pembajakan buku dalam berbagai alasan jelas melanggar konstitusi yang telah diatur dalam Undang-undang Hak Cipta Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Kekayaan Intelektual (HKI). Sebenarnya pembajakan hak cipta bukan saja terjadi pada buku tercetak, bahkan juga marak terjadi melalui teknologi informasi yang berbasis digital.
Harian Kompas dalam Tajuk Rencana: Dilema Pembajakan Buku (4/5/2014), menegaskann bahwa tanpa keberpihakan negara, masyarakat terpaksa akan terus membeli buku bajakan. Tentu keberpihakan pemerintah yang seharusnya dinanti ialah terjangkaunya harga buku bagi masyarakat, sehingga buku bukan lagi barang yang menjadi pembeda identitas antara “yang mampu” dan “yang tidak mampu”. Patut diperhatikan, maraknya buku bajakan juga menyiratkan bahwa kurangnya perhatian pemerintah terhadap kondisi perbukuan diIndonesia. Selain itu keberpihakan negara, semestinya bukan hanya meringankan pajak dan memberikan subsidi untuk memproduksi kertas dan buku tetapi juga membangun dan memberdayakan perpustakaan dipelosok-pelosok negeri ini, agar seluruh elemen masyarakat terutama kelas menengah ke bawah dapat mengakses bacaan (informasi) dengan cuma-cuma. Pokoknya, keberpihakan pemerintah harus beriorentasi kepada masyarakat.
Dalam setiap buku, telah disiapkan satu halaman khusus informasi tentang hak cipta yang dilindungi undang-undang. Olehnya itu, seharusnya ketegasan pemerintah terhadap perlindungan hak cipta dibuktikan dengan menggulung oknum-oknum yang telah nyata melakukan pembajakan buku, apalagi hal ini merupakan tindak pidana yang telah ditetapkan hukumannya dengan ancaman maksimal kurungan 5 tahun dan denda 500 juta (Pasal 27 ayat 2). Apalah artinya sebuah peringatan dalam setiap buku jika ternyata tidak ada pengawasan dan sanksi sebagai efek jera.
Selain itu pihak penerbit harusnya ikut bertanggung jawab sebagai konsekuensi menerbitkan buku. Sebagaimana penerbit kemudian menerangkan, dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit. Sungguh mengherankan mengapa larangan seperti itu hanya menjadi peringatan tak berpenjaga. Maka wajarlah terjadi pembajakan di pasaran sebab otoritas perbukuan kurang mengontrol dan proteksi. Namun anehnya terkadang pernyataan tersebut kadang membuat bingung masyarakat ketika pemerintah dan penerbit tertentu membiarkan pelarangan dan pemberangusan buku dengan membakar buku terbitannya. Kita lantas bertanya dari manakah izin tertulis mengurangi atau melenyapkan buku terbitan. Sementara pernyataan, isi diluar tanggung jawab percetakan penerbit tertentu menjadi rancu adanya. Meski isi menjadi tanggungjawab penulis namun keberpihakan penerbit mestinya ada, dalam hal alasan menerbitkan isi (subjek) naskah. Padahal penerimaan naskah telah melalui berbagai kriteria dari penerbit, apalagi bagi penerbit telah mendapatkan izin pemerintah yang juga punya aturan.
Lebih lanjut dalam Harian Kompas, mengajukan agar ada keberpihakan pemerintah berupa ajakan moral yang berbentuk rekayasa sosial agar masyarakat gemar membaca buku asli (original). Hal ini tentu perlu didukung oleh penerbit dan penulis serta masyarakat melalui kesadaran menghargai karya orang lain. Hendaknya rekayasa sosial ini, bukan strategi yang hanya beriorientasi meraup laba bagi penerbit dan penulis, tetapi dimaknai sebagai sebuah upaya menciptakan iklim dan tradisi perbukuan yang sehat dengan kesadaran kolektif.
Hari ini tepat pada 23 April 2014 merupakan momen World Book Day yang sekiranya membawa kita untuk menghargai buku dan hak cipta. Bagi masyarakat yang mengaku kalangan intelektual yang senatiasa belajar dan menuntut ilmu, meski beragam keluh dan merasa berat membeli buku asli (original) dipasaran. Patut merenungkan pesan Pramudya Ananta Toer, “seorang terpelajar harus juga belajar berlaku adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi perbuatan”. (irs)